Sekolah

Peran Orang Indonesia di Front Eropa

Advertisements

Pada tanggal 15 Mei 1940, Belanda menyerah kepada Jerman, mengakhiri era kolonialisme mereka di Hindia Belanda. Peristiwa ini tidak hanya mengganggu hubungan antara Belanda dengan wilayah jajahannya, tetapi juga berdampak signifikan bagi mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda.

Setelah Jerman menduduki Belanda, komunikasi antara mahasiswa Indonesia di Belanda dengan keluarga mereka di Hindia Belanda terputus karena jalur pos terganggu. Sebagian dari mereka akhirnya bergabung dengan gerakan bawah tanah yang menentang pendudukan Jerman.

Anggota Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda termasuk di antara mereka yang terlibat dalam gerakan perlawanan. Mereka sering mendapat perlindungan dari kelompok komunis Belanda, sehingga PI sering kali dianggap sebagai kelompok kiri dan menjadi target kelompok fasis. Parlindoengan Loebis, Ketua PI pada saat itu, bahkan dijebloskan ke kamp konsentrasi oleh Nazi.

Gerakan Perlawanan

Dalam tulisan “Orang-orang Indonesia dan Gerakan Perlawanan di Nederland” karya Jayeng Pratomo, dijelaskan bahwa anggota PI aktif melawan tentara fasis Jerman dengan menggunakan mesin stensil dan senjata api. Pada Juni 1941, keempat pimpinan PI tersebut di Leiden diburu oleh Sicherheitsdienst (badan intelijen Nazi), yang mengakibatkan dua di antaranya ditangkap.

R.M. Sidartawan dan Parlindungan Lubis, dua dari keempat pimpinan tersebut, ditangkap dan menghadapi nasib yang tragis. Sidartawan meninggal dunia di kamp konsentrasi Dachau, sementara Parlindoengan Loebis ditahan di kamp Schoorl, Amersfoort, sebelum akhirnya dipindahkan ke Buchenwald.

Keberanian dan keteguhan anggota PI lainnya juga tercermin dalam kisah Moen Soendaroe, yang tertangkap pada Januari 1943 dan kemudian mengalami penderitaan di berbagai kamp konsentrasi hingga akhirnya meninggal pada Februari 1945 karena penyakit disentri dan kelaparan.

Para anggota PI hidup di bawah ancaman konstan dari Gestapo dan SS, sering kali menggunakan nama samaran untuk melindungi identitas mereka. Mereka menerbitkan buletin ilegal seperti “Fuiten” untuk menyebarkan informasi dari Sekutu, meskipun ini berisiko tinggi karena bisa berujung pada penggerebekan oleh Jerman.

Kisah Tragis Irawan Soejono

Kisah tragis juga menimpa Irawan Soejono, seorang mahasiswa muda yang tewas ditembak oleh pasukan SS ketika ia berusaha melarikan diri dengan mesin stensil untuk mencetak penerbitan ilegal.

Selain mahasiswa dan anggota PI, ada juga perwira militer seperti Victor Makatita dan Eduard Alexander Latuperisa yang aktif dalam gerakan perlawanan. Victor, yang sempat bersembunyi di Den Haag sebelum ditangkap dan dieksekusi, serta Eduard, yang tewas pada 1943 setelah ditahan oleh Jerman karena terlibat dalam sabotase dan spionase melalui Orde Dienst (OD).

Masih ada pula cerita perjuangan dan ketahanan Mas Soemitro, seorang sersan Jawa dalam KNIL, yang bersembunyi dan bergabung dengan gerakan bawah tanah setelah Jerman menyerukan militer Belanda untuk melaporkan diri. Namun, tidak semua cerita di front Eropa berakhir tragis. Andi Abdul Azis dan Abdul Halim Perdanakusuma adalah dua dari sedikit orang Indonesia yang selamat dari perang. Andi bergabung dengan Angkatan Darat Belanda dan kemudian Angkatan Udara Inggris, sementara Halim menjadi navigator dalam pesawat Sekutu yang berpartisipasi dalam misi mengebom posisi tentara Jerman di Eropa.

Baca juga : Abu Syuja’: Tokoh Sentral dalam Fikih Syafi’i & Kitab Matan Taqrib

Setelah perang usai, Halim kembali ke Indonesia dan berperan penting dalam pendirian Angkatan Udara Indonesia, sementara Andi Azis terlibat dalam pembangunan Angkatan Darat Indonesia dan pernah menjadi Ajudan Presiden Negara Indonesia Timur.

Dengan demikian, keterlibatan orang Indonesia di front Eropa selama Perang Dunia II mencerminkan tidak hanya perjuangan melawan penjajah Jerman, tetapi juga keberanian, ketahanan, dan kontribusi mereka dalam perjuangan global melawan fasis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *