Sekolah

Suku Aceh : Pelopor Pendirian Kerajaan Islam di Nusantara

Advertisements

Aceh, yang dikenal sebagai Kota Serambi Mekah, memiliki sejarah yang kaya dan merupakan tempat persinggahan penting bagi jamaah haji dari Nusantara sebelum berlayar menuju Mekkah, serta sebagai tempat kembalinya mereka setelah menunaikan ibadah haji. Sejak abad ke-12 hingga ke-14 Masehi, Aceh berperan sebagai gerbang masuknya Islam ke Indonesia, yang menjadikan mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan menjalankan aturan ajaran Islam secara konsisten.

Sejarah Bangsa Aceh

Sejarah bangsa Aceh mencatat perlawanan sengit terhadap kolonialisasi Belanda, yang mengakibatkan Perang Aceh yang berlangsung selama 30 tahun (1873-1904). Dulu terbagi dalam beberapa kerajaan kecil, Aceh kemudian bersatu di bawah Kesultanan Aceh Darussalam dan pernah memiliki status Daerah Istimewa, sebagaimana halnya dengan Yogyakarta.

Aceh memiliki suku Aceh sebagai suku terbesar yang mendiami hampir seluruh wilayahnya, mulai dari Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe, hingga Aceh Selatan. Mereka menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari dan berasal dari hasil akulturasi budaya dari berbagai penjelajah dunia seperti Arab, China, Eropa, Melayu, dan India, yang sering berlayar ke Nusantara untuk berdagang.

Suku Aceh dikenal sebagai pelopor pendirian Kerajaan Islam di Nusantara dan sebagai komunitas pertama yang memeluk agama Islam di Indonesia. Selain suku Aceh, terdapat juga suku-suku lain yang sekarang menjadi bagian integral dari budaya Aceh.

  1. Suku Gayo

Suku Gayo terkenal dengan produksi kopi Gayo yang memiliki aroma khas. Mereka kebanyakan bertani dan berkebun, dengan populasi mencapai sekitar 250.000 jiwa. Mayoritas suku Gayo tinggal di daerah dataran tinggi seperti Kabupaten Aceh Tengah (Takengon), Bener Meriah, dan Gayo Lues. Mereka juga terdapat di Aceh Tenggara dan Aceh Timur, sekitar Bukit Barisan, Danau Laut Tawar, Sungai Peureulak, dan Jamboayee. Mata pencaharian utama mereka adalah pertanian, dengan kerajinan seperti anyaman, tenun, keramik, dan sulaman khas Gayo.

  1. Suku Alas

Suku Alas dikenal sebagai penghasil padi terbesar di Aceh, dengan asal-usul sebagai pecahan dari suku Gayo yang bermigrasi. Mereka tersebar luas di Aceh Tenggara seperti di Babussalam, Bambel, Lawe Alas, dan Badar Lawe Sigala-gala. Daerah mereka, dikenal sebagai Tanah Alas atau Lembah Alas, tidak hanya subur untuk pertanian tetapi juga untuk perkebunan kopi, karet, dan kemiri. Masyarakat Alas juga terampil dalam peternakan dan kerajinan seperti pengumpulan kayu, rotan, damar, dan kemenyan.

  1. Suku Aneuk Jamee

Suku Aneuk Jamee, yang nama mereka berasal dari bahasa Aceh yang berarti “anak tamu” atau “pendatang”, berasal dari Minangkabau dan menetap di pesisir barat Aceh sejak abad ke-17. Mereka mendiami sepanjang pesisir dari Aceh Selatan hingga Aceh Barat Daya dan banyak menjadi nelayan serta bertani pala. Bahasa mereka, yang mirip dengan bahasa Minang, telah menjadi bahasa dominan di Kota Tapaktuan.

  1. Suku Melayu Tamiang

Suku Melayu Tamiang terkenal dengan pertanian sawit mereka dan mayoritas tinggal di Kabupaten Aceh Tamiang. Mereka memiliki dialek Melayu yang kental dan menetap di lembah Sungai Tamiang sejak abad-abad yang lalu setelah bermigrasi dari Sriwijaya yang sedang mengalami kemunduran. Suku ini terkenal karena berbagai kesamaan budaya dengan masyarakat Melayu lainnya.

  1. Suku Kluet

Suku Kluet, yang sebagian besar merupakan keturunan suku Batak dari Utara, mendiami daerah Kluet di Aceh Selatan. Mereka tersebar di Kluet Utara, Kluet Tengah, Kluet Selatan, dan Kluet Timur, dengan bahasa campuran dari bahasa Gayo dan Alas. Suku ini juga dikenal karena kesamaan budaya dengan suku Minangkabau.

Baca juga : Perjalanan Hidup dan Perjuangan Pangeran Diponegoro

Aceh, dengan keberagaman etnisnya yang kaya, telah memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia dan menjadi salah satu wilayah yang paling berpengaruh di Nusantara. Dengan budaya dan warisan Islam yang kuat, Aceh tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan dan budaya yang memikat bagi wisatawan dan ilmuwan sejarah dari seluruh dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *