Bambu Runtjing dan Brigade Tjitarum di Palagan Jawa Barat
Palagan di Jawa Barat pada masa revolusi kemerdekaan tidaklah hanya berpusat pada kisah heroik dari peristiwa Bandung Lautan Api. Selama dan pasca revolusi, Jawa Barat menjadi medan pertempuran yang kompleks, di mana berbagai kelompok bersenjata saling berhadapan dengan tujuan dan orientasi yang beragam.
Seperti di kota-kota lain di Jawa, laskar-laskar bersenjata bermunculan dengan berbagai perilaku dan motivasi. Ada yang bertempur dengan disiplin ideologis yang kuat, sementara yang lain beroperasi lebih seperti gerombolan kriminal. Namun, satu hal yang pasti, semuanya memiliki tekad yang kuat.
Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api, yang sering kali dianggap sebagai tonggak utama perlawanan rakyat Jawa Barat, hanya salah satu dari banyak pertempuran penting pada masa itu. Ketika Agresi Militer Belanda I meletus pada Juli-Agustus 1947, dan kemudian dilanjutkan dengan perundingan Renville pada Januari 1948 yang memaksa Siliwangi untuk hijrah ke Jawa Tengah, laskar-laskar di Jawa Barat tetap bertahan dan melanjutkan perjuangan.
Pada masa itu, pertempuran tidak hanya terjadi antara pasukan Belanda dan TNI, tetapi juga melibatkan pertempuran antara Belanda dengan laskar-laskar serta TNI dengan laskar-laskar lainnya. Saat Divisi Siliwangi mengalami kekalahan dalam Agresi Militer Belanda I, sejumlah laskar di Jawa Barat tetap bertahan dan terus melawan.
Menurut catatan Robert Cribb dalam bukunya “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949”, sejumlah laskar awalnya dipimpin oleh Soetan Akbar, yang berhasil meyakinkan Soedirman bahwa laskar-laskar di Jawa Barat masih efektif dalam perlawanan.
Bambu Runtjing
Kekalahan Divisi Siliwangi memberikan peluang bagi Soetan Akbar, yang berada di Yogyakarta saat itu. Didukung oleh sebuah kesatuan kecil yang masih memiliki persediaan logistik dari razia terhadap pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat, Soetan Akbar memimpin pasukan yang dikenal sebagai Divisi Gerilya Bambu Runtjing.
Melalui program khusus Radio Sungai Citarum dan pengiriman pesan kurir, Akbar memberikan instruksi umum kepada rekan-rekannya di Jawa Barat untuk terus mempertahankan perlawanan dan menginformasikan status mereka secara resmi. Selain itu, dia mengorganisir pasukannya di Jawa Barat ke dalam lima brigade, masing-masing terdiri dari Banten, Bogor, Jakarta, Priangan, dan Cirebon.
Menurut Harry A. Poeze dalam “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3”, pimpinan brigade tersebut adalah sebagai berikut: Brigade-A Banten dipimpin oleh Achmad Chatib, Brigade-B Bogor dipimpin oleh Waloejo dan Armansjah, Brigade-C dipimpin oleh Wahidin Nasution, Brigade-D di Priangan Timur dipimpin oleh Achmad Astrawinata, dan Brigade-E di Ciwaru, Cirebon dipimpin oleh Sastrosoewirjo dan Maulana. Soetan Akbar bersama kesatuan dari Jawa Tengah bergabung dengan Brigade-E ini.
Ciwaru, yang berada di pergunungan yang strategis, sulit dijangkau oleh pasukan Belanda, dan menjadi jalur vital antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, memainkan peran penting dalam pengadaan suplai dan senjata bagi Bambu Runtjing.
Keberadaan Bambu Runtjing berhasil mengkonsolidasikan sejumlah laskar di Jawa Barat, terutama Brigade-E, yang mendapatkan pengakuan luas dari rakyat karena keteguhan dan ketangguhannya dalam menghadapi musuh di garis depan. Namun, situasi berbalik ketika kekuatan baru dari Yogyakarta tiba dan mulai mempengaruhi dinamika internal Bambu Runtjing.
Menurut Nasution, pimpinan Divisi Siliwangi, laskar-laskar yang tergabung dalam Bambu Runtjing memiliki peran penting dalam perlawanan gerilya, tetapi juga terlibat dalam tindakan-tindakan yang merugikan, termasuk konflik internal, perampokan, penahanan, dan pertempuran antar laskar. Situasi ini menimbulkan ketegangan dengan TNI dan pemerintah.
Konflik Bambu Runtjing
Pada akhirnya, konflik antara Bambu Runtjing dengan TNI semakin memanas. Pada Januari 1948, Nasution memerintahkan pasukannya untuk menghabisi Soetan Akbar dan pengikutnya. Dalam serbuan itu, pemimpin Bambu Runtjing di Ciwaru berhasil ditangkap atau dibunuh, termasuk Sastrosoewirjo, Maulana, dan Soetan Akbar sendiri.
Bulan yang sama dengan pembersihan Bambu Runtjing di Ciwaru, perjanjian Renville mengharuskan Siliwangi untuk meninggalkan Jawa Barat, memungkinkan laskar-laskar untuk berkonsolidasi kembali. Beberapa laskar memilih bergabung dengan TNI, sementara yang lain memilih untuk tetap bertahan di Jawa Barat.
Wahidin Nasution, pimpinan Brigade-C Bambu Runtjing yang tidak hijrah, menekankan pentingnya persatuan kepada laskar-laskar lainnya. Bersama kawan-kawannya, ia mendirikan federasi bernama Divisi 17 Agustus, yang terdiri dari Bambu Runtjing, Hizbullah, dan Persiapan Lapangan. Namun, tekanan militer Belanda terhadap laskar-laskar di Jawa Barat semakin meningkat, mengarah pada pecahnya konsentrasi dan pembentukan unit-unit kecil yang sulit dikendalikan.
Secara paralel, Brigade Tjitarum juga menjadi kekuatan besar di Jawa Barat dalam perjuangan melawan Belanda. Dipimpin oleh Tjetje Subrata, Brigade Tjitarum aktif sejak April 1948 dan secara resmi terbentuk pada Agustus 1948 sebagai bagian dari Divisi Siliwangi.
Baca juga : Abu Syuja’: Tokoh Sentral dalam Fikih Syafi’i & Kitab Matan Taqrib
Menurut Harry A. Poeze dalam “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4”, setelah serangan Belanda pada Desember 1948, Brigade Tjitarum bergabung dengan Front Nasional Anti Imperialis (FNAI) pada April 1949. Meskipun bukan organisasi komunis, Brigade Tjitarum terlibat dalam FNAI yang mayoritas anggotanya adalah dari kelompok nasionalis.
Namun, perbedaan ideologi dan tekanan militer Belanda membuat Brigade Tjitarum terpaksa bubar pada akhirnya. Konflik dan dinamika internal antar kelompok perlawanan di Jawa Barat terus berlanjut hingga masa pasca-Konferensi Meja Bundar pada 1949, memperlihatkan kompleksitas dan ketegangan dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah sekilas tentang peran Bambu Runtjing dan Brigade Tjitarum dalam palagan revolusi di Jawa Barat, yang tidak hanya mencerminkan heroisme dalam menghadapi penjajah Belanda, tetapi juga kompleksitas politik dan ideologis di tengah-tengah dinamika perang kemerdekaan.