Resensi

Pendidikan dan Radikalisme (Bagian 1)

Advertisements

Oleh: Dr. Zaprulkhan, Dosen UIN Bangka Belitung

Ada apa dengan dunia pendidikan sehingga membuatnya begitu aktraktif bagi perekrut kelompok ekstremis? Apa yang membentuk pandangan para peserta didik ini? Dalam kondisi apa proses radikalisasi dan deradikalisasi di kalangan anak muda terpelajar ini terjadi?

Tiga pertanyaan besar itu, menjadi episentrum dalam buku terbaru Prof. Dr. Mun’im Sirry ini. Mun’im meneliti tujuh (7) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dinyatakan BNPT telah terpapar paham keagamaan atau ideologi radikal, yaitu IPB di Bogor (Jawa Barat), ITB di Bandung (Jawa Barat), ITS di Surabaya (Jawa Timur), UI di Depok (Jawa Barat), UNAIR di Surabaya (Jawa Timur), UNDIP di Semarang (Jawa Tengah), dan UB di Malang (Jawa Timur).

Metode Penelitian

Mun’im memulai penelitian dengan melakukan survei kuantitatif untuk memperoleh gambaran umum radikalisasi mahasiwa/i di kampus, melibatkan 100 mahasiswa/i dari masing-masing universitas yang disebut di atas. Jumlah total responden 700 mahasiswa/i, terdiri dari 69,6% mahasiswi dan 30,4% mahasiswa.

Setelah melakukan survey kuantitatif, wawancara mendalam (in-depth interviews) dilakukan dengan 10 (sepuluh) mahasiwa/i dari masing-masing kampus, sehingga jumlah totalnya 70 informan. Pengumpulan data kualitatif ini berlangsung selama tiga (3) bulan di tujuh (7) kota berbeda di mana kampus tersebut berada. Proyek penelitian ini dilakukan secara menyeluruh dari awal hingga selesai selama enam (6) bulan.

Setelah selesai pengumpulan dan analisis data di tingkat universitas, metode penelitian serupa juga dilakukan di duabelas (12) SMA pada tahun 2019 untuk meneliti dan memahami pandangan keragaman agama di kalangan pelajar SMA. Keduabelas SMA tersebut berlokasi di lima (5) kota di seluruh Jawa Timur: Surabaya, Malang, Kediri, Pasuruan, dan Pemekasan (Madura).

Provinsi Jawa Timur dipilih dengan pertimbangan basis penganut agama Islam yang terkenal, terutama asosiasinya dengan Nahdlatul Ulama atau NU (ormas Islam terbesar di Indonesia), dan juga karena penduduknya banyak dari penganut agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Keduabelas SMA yang dipilih termasuk yang negeri dan swasta, baik swasta umum maupun swasta Kristen atau Islam. Dari keduabelas SMA ini, 500 pelajar (kelas 10-12) dipilih sebagai responden, dengan 100 responden dari masing-masing kota.

Wawancara mendalam (in-depth interviews) dilakukan dengan 50 siswa/i dari dua belas (12) sekolah di seluruh lima (5) kota. Survei kuantitatif dan wawancara mendalam dilakukan langsung secara tatap muka. Siswa/i yang dipilih langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan jawaban mereka direkam, disalin, dianalisis, dan ditafsirkan. Dalam penelitian ini, Mun’im menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Sebab desain metode gabungan ini memberikan pemahaman lebih baik terhadap masalah penelitian daripada hanya menggunakan salah satunya.

Tujuan Penelitian

Studi dalam buku ini bertujuan untuk memahami intoleransi dan radikalisasi agama di kalangan remaja pelajar SMA dan kalangan muda terpeljar, yakni mahasiswa/i perguruan tinggi, dengan menilik beragam faktor yang memengaruhi sikap dan pandangan serta pertimbangan beragam konteks atau latar yang memungkinkan para pelajar SMA dan mahasiswa/i hingga mereka mengembangkan sikap dan pandangan intoleran dan radikal, baik di dalam maupun di luar lingkungan pendidikan, metode kuantitatif atau kualitatif saja tidak memadai untuk lebih memahami kompleksitas permasalahan ini. Karena itu Mun’im cenderung menggabungkan keduanya.

Para pembaca juga akan merasakan kesan kuat penggunaan beragam elemen pendekatan fenomenologis dalam buku ini yang diperkaya dengan grounded theory agar dapat menemukan sebuah teori untuk menjelaskan fenomena radikalisme.

Isi Buku

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berfokus pada asal-muasal intoleransi agama di kalangan pelajar SMA. Tiga bab bagian pertama buku ini meneliti beragam cara bagaimana kalangan pelajar SMA Indonesia menanggapi dan memandang keragaman di tengah-tengah maraknya arus konservatisme agama. Pertanyaan-pertanyaan seperti, apa yang mendorong dan membentuk persepsi mereka terhadap orang lain, otoritas apa yang memandu mereka saat mencari dan menentukan pilihan tradisi mereka, dan bagaimana mereka menyeimbangkan keyakinan agama mereka dengan kenyataan sosial yang mereka hadapi.

Bagian kedua menilik bagaimana dan kenapa radikalisasi menjadi permasalahan yang terus tumbuh dan berkembang di kampus-kampus universitas. Apakah ini karena tingginya tingkat keterlibatan individu-individu dalam jaringan kelompok radikal di kampus-kampus?

Satu asumsi perlu dinyatakan dari awal, bahwa kampus-kampus perguruan tinggi telah menjadi pusat penting, tempat pemicu atau kelahiran radikalisasi. Tiga bab membahas asumsi ini lebih dalam lagi dengan meneliti bagaimana radikalisasi cenderung mengalami sekian banyak transformasi luar biasa dari awal kelahirannya, termasuk deradikalisasi diri atau proses penetralan dari paham radikalisme itu sendiri.

Bagian terakhir membandingkan sejauh mana pelajar SMA dan mahasiswa/i perguruan tinggi telah terpapar paham radikalis di dunia maya dan terjerumusnya mereka dalam ujaran kebencian.

Karena luasnya cakupan buku ini, saya akan membagi resensi ini dalam tiga bagian agar masing-masing resensi tidak terlalu panjang. Mari kita masuk pada bagian satu.

Intoleransi Agama di Lingkungan Sekolah

Dalam bagian satu ini, Mun’im membahas tiga bab yaitu (1) remaja dan toleransi setengah hati; (2) pengaruh jejaring sosial terhadap toleransi agama; (3) rapuhnya keadaban di lingkungan sekolah. Dalam sub bagian remaja dan toleransi setengah hati, Mun’im mendiskusikan mengenai toleransi beragama, melawan radikalisme ekstrem, dan sekilas tentang kepemimpinan non-Muslim.

Mengenai toleransi agama, sebagian besar hasil temuan di lapangan bersifat positif. Ketika diajukan pertanyaan apakah pelajar nyaman berteman dengan orang yang beda keyakinan agama, etnik, dan ideologi politik, sebagian besar pelajar merespons: nyaman. Di atas 50% pelajar merespons bahwa mereka nyaman berteman dengan orang yang berbeda agama, etnik, dan ideologi politik.

Begitu juga ketika disuguhi pertanyaan apakah pelajar setuju dengan perlakuan toleran terhadap orang yang berbeda latar belakang, sebagian besar pelajar menjawab sangat setuju. Lebih dari 50% pelajar menjawab sangat setuju. Demikian pula dengan persoalan melawan radikalisme ekstrem, sebagian besar pelajar sangat tidak setuju dengan eksistensi ISIS, aksi bom bunuh diri di rumah ibadah agama lain dan berdirinya negara khilafah.

Namun hasil riset menjadi berbeda ketika berkenaan dengan kepemimpinan non-muslim. Misalnya, sebagian besar pelajar keberatan dengan warga non-muslim untuk menjadi presiden, wakil presiden, gubernur dan walikota. Lebih dari 50% pelajar merasa keberatan dengan kepemimpinan non-muslim.

Persoalan ini, dibahas secara luas oleh Mun’im dalam bab 2 dibawah topik pengaruh jejaring sosial terhadap toleransi agama. Dengan menggunakan teori jejaring sosial, Mun’im menemukan bahwa rigidnya pandangan pelajar SMA tentang ucapan selamat Natal tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal semata. Secara umum, sikap rigiditas mereka dipengaruhi oleh orang tua mereka di rumah, para guru di sekolah, dan ustadz di luar lingkungan sekolah yang mereka anggap panutan dan pembimbing dalam menjalani kehidupan personal dan sosial mereka.

Toleransi Agama Setengah Hati

“Temuan penelitian saya,” tulis Mun’im, “menunjukkan bahwa ternyata kalangan remaja ini menerima gagasan toleransi agama dengan setengah hati. Sikap mendua ini sangat jelas terlihat dari gabungan dukungan kuat mereka terhadap toleransi agama dan koeksistensi kerukunan hidup bergama serta penolakan keras mereka terhadap radikalisasi, sekaligus sikap intoleransi tak tergoyahkan mereka kalau sudah menyentuh isu-isu sensitif hubungan antar agama dalam masyarakat. Seperti ucapan Selamat Natal dan kepemimpinan non-Muslim”.

Menurut Mun’im, apa yang kiranya hilang dalam toleransi setengah hati ini adalah rasa kepedulian (care) dan keramahtamahan (hospitality). Kepedulian biasanya berakar dari komitmen untuk terlibat langsung dalam keragaman dan peneriman tulus terhadap segala macam perbedaan sebagaimana adanya. Dalam pengertian ini, “kehadiran unsur kepedulian ditandai oleh ketidakhadiran sikap tidak peduli dan masa bodoh”. Namun secara bersamaan, konsep keramahtamahan mengacu pada sikap keterbukaan murni dan tak bersyarat untuk menerima yang liyan. Dalam istilah teologi, keramahtamahan di sini dipahami sebagai kemampuan untuk mengenali menyatukan kebenaran tradisi agama lain ke dalam tradisi agama seseorang. Dalam pandangan Catherine Cornille, pengakuan terhadap kebenaran agama orang lain menghendaki sebentuk kerendahan hati dalam memandang kebenaran tradisi agama orang lain, suatu komitmen terhadap tradisi agama sendiri untuk melatih sikap dan praktik keramahtamahan, suatu rasa keterhubungan antar agama, dan pemahaman sejati tentang yang liyan.

Fakta sebagian besar pelajar SMA mengaku tidak ada masalah berteman dengan orang beda agama atau ras merupakan suatu pertanda positif. Sejalan dengan pandangan toleransi agama yang positif ini, kalangan remaja Indonesia ini melihat kekerasan radikalisme dan intoleransi agama berbahaya bagi semua lapisan masyarakat, karena hanya akan menciptakan perpecahan, bukannya persatuan.

Namun masalahnya, ada narasi-narasi agama tertentu yang diyakini kaum remaja ini sehingga mereka tidak mungkin bisa bersikap toleransi sepenuh hati, penuh peduli, dan ramah tamah. Ini terlihat jelas dari dua bukti kasus yang dibahas secara detail dalam bab ini, yakni: ucapan Selamat Natal dan kepemimpina non-Muslim. Marak dan meluasnya intoleransi dalam kedua kasus ini lahir dari pengajaran agama yang konsevatif di sekolah-sekolah dan guru ngaji atau ustadz, serta orang tua mereka sendiri.

Pada titik inilah, Mun’im merekomendasikan agar Indonesia mengembangkan pendekatan pendidikan multikultural yang harus menyediakan ruang bagi pandangan-pandangan yang berbeda, termasuk padangan dan tafsir alternatif terhadap teks-teks keagamaan tertentu. Mengenai ucapan Selamat Natal, misalnya, para pelajar ini hanya bisa manut pada bimbingan dan arahan guru agama mereka yang tegas menyimpulkan bahwa masalah-masalah semacam itu dilarang dalam Al-Qur’an. Padahal tidak satu ayat Al-Qur’an pun menyatakan secara eksplisit mengenai itu, karena, baik sarjana klasik maupun modern memiliki beragam pandangan mengenai isu tersebut. Demikian pula halnya dengan masalah kepemimpinan non-muslim yang terus menjadi bahan diskusi di kalangan sarjana muslim.

Kalau kita menengok sejarah partisipasi warga non-muslim dalam pemerintahan Islam awal, kita akan temukan sejumlah kasus menarik penunjukkan warga non-muslim yang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan kekhalifahan Islam. Dan bisa dikatakan bahwa penunjukan warga non-muslim di posisi penting dalam pemerintahan tersebut sudah menjadi tradisi kebijakan pemerintahan yang sudah lama mapan.

Berdasarkan hasil penelitian Mun’im, kiranya jelas bahwa upaya serius perlu dilakuan untuk mendukung dan menggalakkan toleransi sepenuh hati, termasuk dengan cara implementasi kurikulum pendidikan yang mencerminkan perspektif teologi multikultural, tanpa mengabaikan dimensi praktik sikap kepedulian dan keramahtamahan.

Mun’im juga mengusulkan—secara bersamaan—perlu didorong dan ditingkatkan pertemuan-pertemuan antar pemeluk agama dan kelompok yang berbeda. Mengapa demikian? Dengan berpijak pada contact theory dari Gordon Allport sebagai kerangka teori, Mun’im menunjukkan bahwa perjumpaan dengan pemeluk agama yang berbeda bisa menumbuhkan sikap terbuka, toleran, dan inklusif. Meskipun contact theory tampak sudah menjadi klasik, tapi tetap memiliki relevansi dan aktualitas tersendiri.

Allport mengembangkan contact theory ini berdasarkan hipotesisnya bahwa dengan makin seringnya terjadi hubungan antar beda kelompok; termasuk antar-kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok dominan dan terpinggirkan, maka makin cepat pula prasangka mereda dan membuahkan hasil-hasill sosial yang positif. Teori Allport secara luas telah digunakan dalam hubungan antar-kelompok ras, gender, disabilitas, dan etnik, serta orang dewasa dan anak-anak.

Dengan alasan inilah, Mun’im menegaskan bahwa kalangan pelajar mesti sepenuh hati bersikap toleran, saling menghargai, berkumpul bersama, dan bergaul dengan siapa saja adalah penting. Segregasi dan minimnya pertemuan antar beda kelompok adalah sumber, asal-muasal kejahiliyahan atau ketidakpedulian (ignorance) dan hal ini menjadi ladang subur tempat berkembang biaknya pandangan stereotip yang merendahkan orang lain dan sikap permushan antar ras dan agama. Pandangan bias dan stereotip akan berkurang ketika anggota kedua kelompok yang bermusuhan saling bertemu, menjadi dekat dan akrab, dan terlibat dalam semacam kerja sama.

Penelitian Mun’im memperlihatkan pengalaman interaksi dengan pemeluk beda agama berdampak luar biasa pada budaya keterbukaan dan sikap inklusif. Beberapa anak muda yang bersikap terbuka dan berteman dengan non-muslim bukan karena diperkenalkan pada ajaran atau pandangan inklusif, melainkan karena pengalaman keseharian mereka yang sudah terbiasa berhubungan dengan teman beda agama.

Disini cukup kiranya dikatakan bahwa interaksi relasional di kalangan orang beragam agama yang berbeda membantu meningkatkan pengetahuan mereka dan membentuk sikap kewarganegaraan, tindakan, dan identitas diri kaum muda yang inklusif. Meminjam bahasa Emmanuel Levinas, kalangan pelajar perlu melakukan perjumpaan wajah dengan orang-orang yang berbeda keyakinan agama agar mereka dapat bertanggung jawab secara universal dengan mengerjakan tindakan-tindakan etis yang mau menerima, mengasihi, berbagi, bahkan berkorban terhadap pihak lain.

Bab 3

Sedangkan bab 3 di bawah topik rapuhnya keadaban di lingkungan sekolah, Mun’im meneliti kelaziman perundungan dan perilaku tidak pantas lainnya di kalangan pelajar SMA. Hasil temuan penelitian ini memperlihatkan sikap permusuhan terhadap individu-individu, kelompok-kelompok atau keyakinan-keyakinan beda agama. Berdasarkan penelitian kuantitatif dan wawancara mendalam, Mun’im menemukan dua jenis perilaku tak beradab yang cukup tinggi, misalnya yaitu intoleransi dan persekusi atau tindakan menganiaya.

Meskipun kedua kategori ini saling tumpang-tindih, yang pertama, intoleransi dianggap sebagai “tidak mentolerir orang lain yang tidak disukai” dan yang kedua, persekusi atau penganiayaan merujuk pada bentuk kekerasan yang bisa menyakiti atau membahayakan orang lain. Mun’im menegaskan: temuan penelitian saya ini menimbulkan keprihatinan kritis mengenai masa depan Indonesia apabila rapuhnya keadaban di kalangan remaja ini tidak ditangani secara serius.

Dengan adanya fakta kritis inilah, Mun’im mengimbau agar studi-studi terkait ini mesti dilakukan untuk lebih memahami variabel kontekstual yang memungkinkan dan mendorong perundungan ini terus meraja-lela di sekolah-sekolah, dan begitu pula sama pentingnya bahwa publik Indonesia mesti melihat ini sebagai suatu masalah sosial yang harus segera ditangani. Pihak sekolah harus berperan lebih meyakinkan lagi dalam mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai keadaban kepada peserta didik mereka. Toleransi dan menghormati orang lain harus tampil sebagai nilai-nilai kebaikan publik untuk melawan egosentrisme dan etnosentrisme. Sekolah harus menjadi tempat yang kondusif bagi praktik keadaban keseharian.

Pihak sekolah juga perlu mengajarkan peserta didik mereka bagaimana bernegoisasi dan menyelesaikan perbedaan secara damai. Dengan demikian, toleransi terhadap orang lain menjadi standar keadaban yang memungkinkan mereka yang berpandangan saling bertentangan bisa hidup damai. Ada hubungan erat antara toleransi dan keadaban meskipun keadaban jauh melampaui toleransi hingga mencakup peradaban maju, modernitas, dan tatanan dunia. Keadaban harus diajarkan dan dipelajari.

Para pakar dan sarjana telah menunjukkan bahwa perundungan berdampak buruk secara mental, psikologis, dan pendidikan. Seringkali, baik pihak korban dan pelakunya mengalami gangguan psikologis serius, bisa menyebabkan rendahnya kepercayaan diri, perasaan terasing, meningkatkan stres, dan kurangnya kepuasan dalam hidup. Beberapa studi berfokus pada dampak jangka panjang korban perundungan, misalnya, depresi, sikap agresif, meningkatnya pikiran-pikiran bunuh diri, dan perilaku anti-sosial di masa dewasa.

Akhirnya, Mun’im memungkasi dengan sebuah solusi yang edukatif dan sistemik-integratif: publik Indonesia harus mulai menaruh perhatian serius terhadap isu kritis ini dengan menerapkan kurikulum keadaban sebagai suatu mekanisme untuk menguatkan pengembangan karakter dan pembentukan moral, menciptakan inisiatif untuk meningkatkan keadaban di sekolah-sekolah, dan mengambil kebijakan dan langkah-langkah tepat untuk memajukan keadaban. Apabila semua langkah ini tidak diambil, maka kalangan generasi muda Indonesia akan terus tak beradab mulai dari lingkungan pendidikan tingkat dasar hingga menengah atas. Langkah selanjutnya adalah pendidikan tinggi, dimana masalah perilaku-perilaku semacam ini akan terus berlanjut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *