Pak AR Pemimpin Muhammadiyah yang Gagal?
Oleh: Syaefudin Simon, Santri Pak AR
Adakah Kegagalan Pak AR (Abdul Rozaq Fachrudin) dalam memimpin Muhammadiyah? Tanya Dr. Khoiruddin Bashori, salah seorang penguji dalam promosi doktor Muh. Ikhwan Ahada (MIA) di UMY Yogya Selasa (13/6/023) lalu. Judul disertasi MIA adalah Oase Kepemimpinan K.H. A.R. Fachruddin Sebagai Servant Leader.
Judul disertasi ini menarik sehingga saya yang pernah kos di rumah Pak AR dan menulis buku Pak AR Sang Penyejuk saat kuliah di Yogya awal tahun 1980-an dengan bergairah datang ke UMY ingin menyaksikan langsung suasana ujian doktor MIA.
Suasana ujian tadi menarik. Banyak pimpinan Muhammadiyah hadir. Termasuk pimpinan pusatnya, Prof. Dr. Haedar Nashir. Promovandus sendiri adalah Ketua Pimpinan Wilayah Cabang (PWM) DIY.
Seperti dugaan saya, nyaris mustahil promovandus akan mengritik kekurangan kepemimpinan Pak AR di Muhammadiyah dalam disertasinya. Penyebabnya, pertama Pak AR adalah legenda Muhammadiyah yang nyaris ideal dan tanpa cela. Kedua, promovandus dikenal sebagai pengagum berat Pak AR. Ketiga, disertasi ini diajukan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di mana Pak AR jadi motor penggeraknya saat UMY didirikan. Keempat semua pengujinya adalah akademisi yang nota bene orang Muhammadiyah dan pengagum Pak AR.
Maka secara psikologis, mungkinkah promovandus yang ketua PWM DIY mampu menunjukkan kekurangan Pak AR dalam memimpin Muhammadiyah?
Seperti dikatakan seorang penguji, suasana sidang terbuka promosi doktor tersebut, nyaris berisi puja-puji terhadap sosok Pak AR. Sampai-sampai salah seorang penguji menyatakan, promovandus ini tengah membacakan hasil penelitian disertasi atau membacakan pujian terhadap Pak AR. Dan anehnya, para penguji dan audiens yang hadir bisa memakluminya. Maklum, yang dibahas adalah Pak AR, tokoh ideal di persyarikatan.
Memang sah-sah saja suasana ujian doktor seperti itu. Tapi dalam suatu sidang ilmiah, mestinya ada pendekatan alternatif untuk mencari kelemahan Pak AR. Meski sulit sekali pun.
Saya tak tahu apakah suasana sidang ujian doktor Hasto Kristiyanto, sekjen PDIP di Universitas Pertahanan, 6 Juni 2023 lalu, suasananya seperti itu — penuh pujian terhadap pemikiran Bung Karno. Judul disertasi Hasto adalah “Diskursus Pemikiran Sukarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara”. Saya membayangkan, secara psikologis Hasto pun tak akan berani mengungkapkan kelemahan pemikiran Bung Karno.
Itulah dilema “penulisan disertasi” bila obyek penelitiannya adalah pemikiran atau kebijakan seorang tokoh yang dikaguminya. Seperti Ikhwan Ahada (MIA) terhadap Pak AR dan Hasto Kristiyanto terhadap Bung Karno. Posisi mereka membuatnya sulit untuk mengekspose kekurangan atau kelemahan sosok tokoh yang ditelitinya.
MIA, misalnya, dalam disertasinya mengkaji kepemimpinan Pak AR dengan kacamata Robert K. Greenleaf. Menurut Greenleaf, pemimpin yang servant, kudu memiliki 9 karakter: (1) mendengarkan, (2) menerima orang lain dan empati, (3) punya kemampuan memprediksi, (4) persuasif, (5) konseptual, (6) menyembuhkan, (7) melayani, (8 berkomitmen, dan (9) membangun komunitas.
Semua karakteristik itu ada pada Pak AR, tulis MIA. Bahkan melebihi dari kriteria Greenleaf. Seperti hidup sederhana, enthengan (easy going), ikhlas, asketis, spiritual, zuhud, dan lillahi taala. Yang terakhir ini poin pentingnya, kepemimpinan Pak AR sandarannya hanya Allah semata. Tak ada yang lain.
Pak AR dalam suatu ceramahnya menyatakan, Allah itu Maha Pencemburu. Jika di hati manusia ada cinta lain selain cinta kepada Allah, maka DIA akan cemburu. Kalau Allah cemburu, tahu sendiri akibatnya.
Dengan demikian, memahami kepemimpinan Pak AR yang lebih pas terkait preferensi Allah Yang Maha Pencemburu tadi adalah dengan pendekatan cinta. Atau pendekatan sufistik. Hanya saja, pendekatan sufistik, tampaknya kurang favorit di Muhammadiyah.
Hal ini terjadi karena Muhammadiyah taglinenya modernis dan berkemajuan. Dua kata ini tampaknya kurang sinkron dengan dunia tasawuf. Di Muhammadiyah, misalnya, term kewalian nyaris tak tersentuh dalam diskursus persyarikatan. Padahal, tak sedikit orang Nahdhiyin menganggap Pak AR adalah walyullah. Sesepuh NU, almarhum Kyai Yusuf Hasyim, misalnya menganggap Pak AR adalah waliyullah. Begitu pula Gus Dur, menganggap Pak AR waliyullah.
Salah satu ciri waliyullah adalah mempunyai karomah. Dan Pak AR sejak masih muda sudah terlihat karomahnya. Waktu jadi guru di Palembang, ketika Pak AR berusia 20 an tahun, misalnya, pernah terjadi hal yg unik. Pak Sukriyanto, putra Pak AR, menceritakan bahwa ada seorang pria tiba-tiba minta maaf ke Pak AR. Ia mengaku telah memberi racun mematikan ke minumannya. Tapi Pak AR tak merasakan apa-apa. Pria tersebut akhirnya berlutut minta maaf kepada Pak AR karena ia menganggap beliau waliyullah.
Prof. Bambang Pranowo yang dekat dengan Pak AR, pernah bercerita, ada beberapa orang yang sakit minta disembuhkan dengan air yang didoakan Pak AR. Ternyata sembuh. Terakhir saya mendapat cerita dari Agus Purwantoro, teman sekamar waktu kos di rumah Pak AR yang kemudian jadi menantunya, bahwa ada pria datang ke rumah Pak AR mengucapkan terimakasih karena sewaktu berhaji di Mekah ditolong Pak AR. Pak AR bingung karena di tahun itu tak melaksanakan ibadah haji.
Nah, cerita-cerita di atas, di kalangan Nahdhiyin, menunjukkan kalau Pak AR punya karomah. Berarti Pak AR seorang waliyullah.
Sayang diskursus waliyullah ini tampaknya langka di Muhammadiyah. Pak AR yang sampai akhir hayatnya tidak punya rumah (padahal kalau mau pasti bisa jika melihat posisi Pak AR yang dekat dengan pusat kekuasaan saat itu) sulit dimengerti kecuali bila memahami Pak AR dari aspek kewalian atau tasawuf.
Dari perspektif itu pula, kenapa disertasi MIA menyatakan karakteristik Pak AR sebagai pimimpin melebihi kriteria Greenleaf. Padahal kalau konsep kepemimpinan Pak AR dikaji dengan pendekatan sufistik, maka akhlak Pak AR yang dipuji MIA adalah niscaya. Karena Pak AR adalah seorang sufi.
Kembali ke pertanyaan di atas, adakah kegagalan Pak AR dalam memimpin Muhammadiyah? Jawab MIA, ada. Pertama, Pak AR tidak bisa mewariskan gaya kepemimpinan ideal seperti dirinya kepada penerusnya. Yang kedua, sepanjang hidupnya Pak AR merokok.
Bagi saya, yang pertama oke. Memang sulit Pak AR mewariskan gaya kepemimpinannya terhadap penerus. Ini karena kondisi geopolitik kepemimpinan Pak AR sangat distinktif. Yaitu saat Pak Harto berkuasa. Nyaris tak ada tokoh Islam modernis yang bisa berkomunikasi dengan baik seperti Pak AR terhadap Pak Harto. Jadi gaya kepemimpinan Pak AR tak tergantikan dan sulit ditiru. Tapi itu bukan kegagalan. Karena kondisinya distinktif dan khas.
Sepertinya Langit sengaja memilih Pak AR untuk menjadi counter terhadap gaya kepemimpinan Pak Harto tanpa mencederai aspek kemanusiaan dan persahabatan dua manusia besar tersebut. Dan ini menjadi berkah untuk Muhammadiyah. Karena kedekatan Pak AR dekat dengan Pak Harto, Muhammadiyah banyak mendapat bantuan fisik dari pemerintah.
Kedua, bagaimana dengan rokok Pak AR? Saat itu Muhammadiyah belum mengharamkan rokok. Jadi ini pun bukan kegagalan Pak AR. Tepatnya, Pak AR yang guru ngajinya banyak dari kyai NU, mungkin terpengaruh pada tradisi kyai Nahdhiyin yang mayoritas perokok.
Saat itu, rokok adalah sarana pergaulan. Lagi pula majlis tarjih Muhammadiyah belum mengharamkan rokok. Jadi Pak AR dengan kebiasaan merokoknya tidak salah dan tidak melanggar fikih Muhammadiyah.