GuruOpini

Oe Kenzaburo: Mengatasi Krisis Keluarga dengan Menulis Novel

Advertisements

Oleh: Hamid Basyaib, Penulis Lepas

SUASANA tenang terasa di rumah sederhana Oe Kenzaburo di Tokyo. Pohon maple dan mawar merah memenuhi taman. Lukisan-lukisan karya isterinya, Yukari, menghiasi dinding-dinding. Ia bekerja di ruang tamu yang penuh buku; ia duduk di kursi untuk menulis dengan tangan di papan di atas lututnya.

Tapi ia tak sendirian. Di situ juga ada seorang pria berusia tiga puluh tahun lebih muda, yang duduk menyortir dan menyusun kembali koleksi CD-nya sambil mendengarkan musik. Bentuk kepalanya tak lazim, matanya kecil, dan senyumnya malu-malu. Ayahnya selalu mengawasi, bahkan ketika menulis. Ia selalu siap membantunya setiap saat, waspada terhadap serangan kejang. Dia Hikari, putra sulungnya.

Kelahiran Hikari pada 1963 adalah krisis terbesar dalam hidupnya. Ia dan Yukari merinding melihatnya, bayi dengan hernia kranial yang begitu besar sehingga ia tampak punya dua kepala. Tanpa operasi, anak itu akan mati. Dengan operasi, dia masih akan sangat cacat. Dilema itu begitu akut sehingga ia hanya bisa lari menjauh, mencari “horison lain”.

Horison itu, terasa agak aneh, adalah Hiroshima, dan sebuah konferensi yang menentang senjata nuklir. Di sana ia bertemu para korban ledakan atom dengan dilema yang sama seperti dirinya. Haruskah mereka berisiko memiliki anak, jika anak-anak itu mungkin lahir cacat?

Haruskah mereka bunuh diri, atau mencoba hidup dengan harapan? Ia bertanya terutama kepada dokter-dokter yang tidak mampu menjawab. Mereka bahkan tidak tahu apakah orang-orang yang telah dipastikan mengalami rasa sakit di semua bagian tubuhnya itu harus mereka rawat. Di sanalah ia menemukan jawabannya: ia harus membawa Hikari pulang.

Keputusan itu juga mengguncang tulisannya. Ia baru saja lulus dari Universitas Tokyo. Dengan aksen sebuah desa hutan yang jauh di barat daya, dan dengan telinga besar dan senyum burung hantu, ternyata ia bisa menjadi bintang; ia memenangkan penghargaan nasional untuk novel pendeknya “The Catch”, kisah persahabatan antara anak laki-laki Jepang dan tawanan perang Amerika berkulit hitam, “seorang tamu mulia dari langit”.

Tetapi sejak itu ia berjuang. Di Hiroshima, ia membuat dua keputusan: untuk menulis dan memperjuangkan orang-orang yang terbungkam, dan untuk menyuarakan hal-hal yang tak menyenangkan.

Ia menghadapi dilema tersendiri dengan menuliskannya, seperti yang selalu dilakukannya, dalam tiga cerita yang bercabang dari satu titik yang sama: seorang anak yang terluka. Di “A Personal Matter” dan “The Silent Cry”, orangtua si bayi pertama-tama meninggalkan anak itu, kemudian mengambilnya kembali.

Namun dalam “Aghwee the Sky Monster”, sang ayah membunuh si bayi dengan memberinya air gula, bukan susu, lalu dihantui oleh bayi yang berpakaian jubah putih rumah sakit. Hikari muncul dalam novel-novel itu dengan berbagai nama, termasuk namanya sendiri. Ayahnya menegaskan bahwa ini bukanlah eksploitasi, melainkan pengakuan terhadap arti anak yang tak berdaya itu baginya.

*****

Terlalu banyak suara yang tak terdengar di Jepang. Suara dari Hiroshima ia rekam dalam “Hiroshima Notes”, sebuah deskripsi pedas tentang efek perang nuklir. Ia menunjukkan bahwa orang-orang tersebut bukan hanya korban Amerika, tapi juga korban agresi Jepang di Asia.

Dalam esai dan artikelnya, ia berbicara untuk minoritas Korea, pekerja paksa, “wanita penghibur”, dan reparasi yang layak. Ia juga menyesali kemerosotan Jepang yang tunduk pada konsumerisme, menjadi “negeri boros yang bahagia”, tanpa ada suara yang mempersoalkan.

Tahun 1950an membawa harapan akan peran baru Jepang yang damai di dunia, ketika negara itu bisa berdiri bersama yang lemah. Namun Jepang masih melihat dirinya sebagai pusat kekuatan Asia daripada, seperti dirinya, memanfaatkan tempat di pinggiran.

Kebangkitan nasionalisme sangat merisaukannya. Sebagai anak sekolah di masa perang, ia telah berjanji untuk taat tanpa batas kepada Kaisar: jika diperintahkan, “Saya bersedia mati, Baginda. Saya akan merobek perut saya sampai mati.”

Ia kemudian terkejut. Ketika Jepang menyerah, barulah ia tahu Kaisar bukanlah sejenis burung putih mistis; suaranya adalah suara manusia. Ini segera melunturkan keyakinannya, tapi rasa hormat kepada Kaisar masih tersisa. Demokrasi perlu dipertahankan, dan ia melakukannya dengan penuh semangat pada tahun 1994, dengan menolak Penghargaan Budaya, karena pemberinya adalah Kaisar; ia hormat, tapi menolak otoritas Kaisar.

Sementara itu, prinsip perdamaian abadi, dukungan moral konstitusi Jepang pasca-perang, terancam oleh gagasan pertahanan-diri kolektif. Pada 2004, ia menjadi salah satu pendiri Asosiasi Pasal 9 guna menentang segala upaya untuk melemahkan pasal perdamaian dan memungkinkan penggunaan kekuatan.

Pada saat itu ia telah memprotes perang selama 40 tahun, baik di luar negeri maupun di Jepang. Ia dikenal karena aktivisme kecilnya, seperti halnya dengan bukunya, dan menikmatinya. Ia melihat pekerjaannya sebagai badut yang berbicara serius tentang kesedihan.

Namun, bukunya juga diserang oleh golongan kanan. Karyanya adalah novel-novel yang keras, tanpa belas kasihan, sangat dipengaruhi oleh pembacaannya terhadap Rabelais, Yeats, Dante, Auden, dan Orwell. Mereka terdistorsi oleh kebusukan, kegamblangan dan kebejatan, termasuk potret Jepang yang merasa dipermalukan secara seksual oleh Amerika Serikat.

Dunia mereka kasar. Dalam “The Silent Cry”, sang pahlawan separuh buta menggunakan matanya yang hilang sebagai penjaga, agar “senantiasa terlatih pada kegelapan di dalam tengkorakku, kegelapan yang penuh darah”. Tanpa iba, ia menggambarkan isteri alkoholiknya, yang “bibir atasnya berminyak oleh keringat”, bau mulut anjing yang bercucuran liur, mayat yang membusuk menjadi “bendungan kulit yang dijatuhi hukuman untuk pecah”.

Tapi buku itu juga mengangkat sang pahlawan dari kubangan keputusasaan ke momen rekonsiliasi yang penuh persaudaraan, dan akhirnya, “The Expectation.” Tema-tema harapan seperti inilah, yang beralih dari personal ke universal, yang membuat Oe Kenzaburo meraih Nobel pada 1994.

*****

Aksi penyempalannya sampai berbentuk membawa Hikari ke depan publik. Anak-anak yang mengalami kerusakan otak di Jepang biasanya dijauhkan. Namun, ikatan antara dia dan puteranya semakin erat.

Di masa kecilnya di hutan, dengan pikiran penuh petualangan Huckleberry Finn dan Nils Holgersson, bocah yang terbang bersama angsa liar, ia tidur di antara pohon-pohon, dan bermimpi mengerti bahasa burung. Ketika Hikari juga berada di hutan, pada usia enam tahun, ia mengucapkan kalimat pertamanya, mengenali seekor burung pipit air.

Di titik itulah sang “bayi monster” mulai mengenal burung dengan lagu mereka, memahami musik Mozart dan Bach, lalu mencipta lagunya sendiri. Dia memenuhi impian ayahnya; dan membuktikan bahwa musik menyembuhkan “suara jiwa yang menangis dan gelap”, seperti harapan ayahnya terhadap kata-kata.

Di ruang tamu di Tokyo, mereka bekerja di ruang yang sama. Terpisah, tapi saling sadar akan kehadiran masing-masing. Dan, seperti dikatakannya, mereka berdua selalu memandang ke arah yang sama. Nama Hikari berarti “cahaya”.***

Oe Kenzaburo wafat pada 3 Maret lalu dalam usia 88; obituari ini diterjemahkan dari The Economist, 16/3/2023.

One thought on “Oe Kenzaburo: Mengatasi Krisis Keluarga dengan Menulis Novel

  • VIIN PUJI LESTARI

    Artikel ini menggambarkan Oe Kenzaburo sebagai sosok yang luar biasa dalam menghadapi krisis pribadi dan sosial melalui tulisan-tulisannya. Kelahiran putranya, Hikari, yang menderita hernia kranial, menjadi titik balik dalam hidup Oe. Keputusan untuk merawat dan menerima Hikari, meskipun awalnya sulit, membuka jalan bagi Oe untuk menemukan makna dan tujuan dalam hidupnya. Ini tercermin dalam karya-karya sastra yang ia ciptakan, di mana Hikari sering muncul sebagai inspirasi dan simbol harapan.
    Artikel ini menunjukkan bahwa krisis pribadi seringkali memicu transformasi mendalam. Oe, yang awalnya merasa tidak berdaya menghadapi situasi putranya, menemukan kekuatan melalui pertemuan dengan para korban bom atom di Hiroshima. Keputusan untuk membawa Hikari pulang dan merawatnya mencerminkan keberanian dan keteguhan hati, dan pengalaman ini mempengaruhi karya-karyanya yang kerap kali mengeksplorasi tema-tema kesulitan, penderitaan, dan rekonsiliasi.
    Dalam karya-karyanya seperti “A Personal Matter” dan “The Silent Cry”, Oe menggali tema-tema yang mendalam tentang penderitaan, pengabaian, dan penerimaan. Penggunaan Hikari sebagai inspirasi untuk karakter-karakter dalam novelnya bukanlah eksploitasi, tetapi sebuah cara untuk mengakui dan menghormati dampak mendalam yang dimiliki Hikari terhadap hidupnya. Oe tidak menghindar dari kenyataan pahit yang dihadapi keluarganya, melainkan menggunakan kenyataan tersebut sebagai bahan untuk menciptakan karya sastra yang kuat dan bermakna.
    Artikel ini juga menyoroti kontribusi Oe dalam memperjuangkan hak-hak kaum minoritas dan korban perang. Dengan tulisannya, seperti “Hiroshima Notes”, ia memberikan suara kepada mereka yang terbungkam dan mengkritik ketidakadilan sosial serta politik yang terjadi di Jepang. Oe melihat penulisan sebagai alat untuk mendorong perubahan sosial dan menyuarakan ketidakadilan, mencerminkan komitmen moralnya terhadap demokrasi dan perdamaian.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *