Opini

Kitab Suci Agama-agama

Advertisements

Penulis: Prof. Dr. Media Zainul Bahri, Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta

Sebagai Muslim, tentu saja kita beriman kepada keagungan Al-Qur’an. Selama berabad-abad Al-Quran telah menjadi referensi kaum Muslim membangun peradaban Islam di negeri-negeri Muslim, baik (peradaban) dalam pengertian harfiah maupun substansial. Sejak di madrasah dan pesantren kita diberitahu bahwa Al-Quran adalah satu-satunya mukjizat nabi Muhammad yang tertulis dan abadi sepanjang masa, untuk seluruh umat manusia.

Guru-guru kita mengajarkan bahwa mukjizat para nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad bersifat lokal-temporal dan sebagian besarnya bersifat material-empiris, misalnya membelah laut, menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, tidak terbakar api dll. Tetapi, begitu para nabi itu wafat, maka selesai pula mukjizatnya. Hal itu berbeda dengan Al-Quran.

Secara eksklusif, tentu kita meyakini Al-Quran sebagai mukjizat terbesar nabi Muhammad. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah Al-Quran adalah satu-satunya wahyu Allah sebagai mukjizat yang sampai hari ini, di planet bumi ini, terjaga dengan baik? Bagaimana dengan kitab-kitab suci agama-agama lain yang dulu diwahyukan kepada para nabi mereka, yang hari ini juga eksis bersama-sama kita? Apakah keberadaan mereka tidak dianggap? Sekali lagi, jika dihadapkan dengan kenyataan obyektif, apakah Al-Quran hanya satu-satunya sebagai “kitab suci tertulis” yang ada sampai saat ini? Mari kita lihat fakta obyektifnya.

Menurut Orang Hindu

Menurut Orang Hindu, kitab suci mereka, Weda (Veda) secara umum terbagi dua: Weda Sruti dan Weda Smrti. Sruti artinya “mendengar”: mendengar langsung dari Tuhan. Weda Sruti adalah sabda suci dari Tuhan yang maha kuasa yang “didengar langsung” oleh para Maharshi (maha resi) pilihan atau para nabi puluhan abad lalu sebelum Masehi. Wahyu yang didengar langsung oleh para maha resi segera mereka tulis dalam satu kitab yang kemudian disebut Weda Sruti.

Tetapi, Weda Sruti ini sulit dipahami maknanya, oleh orang biasa, karena berbentuk mantra dan syair. Karena itu, para maha resi membuat “tafsir” agar lebih mudah dipahami oleh umatnya. Tafsir-tafsir itu nanti terhimpun dalam Weda Smrti. Kata ‘Smrti’ atau ‘semerti’ atau ‘smriti’ berasal dari kata “smr” yang artinya ingat.

Weda Semerti adalah kitab suci yang ditulis oleh para maha resi berdasarkan ingatan atas wahyu yang mereka dengar, tetapi kemudian ditambahi tafsir-tafsir agar mudah dipahami. Karena berisi banyak tafsir, maka nilainya dianggap lebih rendah dari Weda Sruti. Artinya, jika terdapat pertentangan/kontradiksi isi kitab Semerti dengan Sruti, maka yang dianggap benar adalah isi dari kitab Weda Sruti.

Dari kitab suci Weda Sruti ini yang paling tinggi nilainya adalah Kitab Catur Weda: Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atarwa Weda. Kitab suci Weda ini adalah Kelompok Besar Pertama dari kitab suci orang Hindu. Kelompok besar kedua adalah kelompok kitab suci Nibanda, yang nilainya lebih rendah dari kitab suci Weda. Dari Weda dan Nibanda kemudian bercabang ke bawah menjadi banyak: Bhagawad Gita, Upanishad, Tantra, Brahma sutra dan lain-lain.

Jadi jelaslah bahwa Weda adalah “wahyu Tuhan” bukan buatan para resi/tokoh agama Hindu seperti yang sering dituduhkan orang-orang yang tidak paham. Negeri-negeri yang didiami mayoritas Hindu seperti India, kota-kota besar di Asia Selatan, dan pulau Bali tentu membangun peradaban mereka dan negerinya, sedikit banyak, berdasarkan kitab suci Weda dan tafsir-tafsirnya.

Menurut Orang Buddha

Menurut orang-orang Buddha, kitab suci mereka, Tripitaka atau Tipitaka, adalah ajaran Buddha Gautama selama ia menjadi Sang Buddha (45 tahun), dalam Bahasa Pali. Segera setelah Sang Hyang Buddha Maha Parinirvana (meninggal), 500 Bikkhu yang telah mencapai maqam “ma’rifat” (Arahat) berkumpul di salah satu lereng gunung Himalaya untuk mengumpulkan semua khutbah Sang Buddha.

Konsili pertama ini dipimpin oleh Ananda Maha Kasyapa (mungkin sudah kasyaf). Maha Kasyapa adalah murid Sang Buddha yang punya ingatan yang luar biasa, yang ikut mendampingi kemana saja Sang Buddha pergi mendakwahkan Dharma. Ananda Maha Kasyapa diminta oleh para Bikkhu yang hadir untuk mengulangi kembali khutbah-khutbah Buddha. “Demikianlah yang telah aku dengar”, kata Ananda.

Barulah pada tahun 80 SM (versi lain 100 SM), konsili Buddhis keempat yang diadakan di Sri Lanka dengan sponsor Raja Vattagamini Abbaya, Tripitaka untuk pertama kalinya ditulis (dikodifikasi). Tripitaka yang berarti “tiga keranjang” berisi: Sutta Pitaka (ajaran/ceramah), Vinaya Pitaka (aturan disiplin) dan Abhidhamma Pitaka (psikologi moral). Negeri-negeri dengan mayoritas Buddhis seperti Thailand, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Tibet, sebagian India, dan lain-lain, mereka membangun keadaban hidup mereka berdasarkan “world view” Tripitaka dan ulasan-ulasannya yang luas.

Mengapa disebut “tiga keranjang”? Dalam masyarakat India kuno, para pekerja bangunan biasa memindahkan material bangunan dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan keranjang. Mereka meletakkan keranjang “di atas kepala”, berjalan dalam jarak tertentu, mengalihkan ke orang selanjutnya, dan begitu ia mengulang-ulang proses tersebut.

Budaya Tulisan telah dikenal pada masa sang Budhha, namun ketika itu dianggap kurang handal dibanding ingatan manusia. Sebuah buku dapat membusuk akibat kelembaban musim hujan atau dimakan rayap, namun “memori/hapalan manusia” bertahan sepanjang ia hidup. Begitulah, para bhikkhu dan bhikhuni bertekad menghafalkan seluruh ajaran Sang Budhha dan menyampaikannya satu sama lain sebagaimana pekerja bangunan saling memindahkan materi dalam keranjang.

Menurut Orang Zoroaster

Salah satu agama tertua di Asia, bersama-sama dengan Hinduisme adalah agama Zoroaster. Para pemeluk agama ini, di masa Iran kuno, meyakini Zarathustra sebagai nabi yang mendapat wahyu dari Tuhan Ahura Mazda, dan kumpulan wahyu itu kemudian dikodifikasi menjadi kitab suci Avesta. Zarathustra diajari oleh Tuhan tentang Tuhan yang maha terang, yaitu Ahura Mazda yang harus disembah dan diikuti, dan melawan kekuatan gelap yang bisa menjerumuskan manusia, yakni Daevas (Ahriman). Hidup manusia adalah perjuangan atau tarik menarik antara kekuatan Ahura Mazda atau Daevas.

Zarathustra diberi wahyu tentang kebebasan manusia untuk memilih perbuatan baik atau buruk, tetapi manusia harus menyadari ada semacam ‘malaikat”: Spenta Mainyu (mencatat amal baik) dan Angra Mainyu (mencatat amal buruk). Kelak setelah mati, manusia harus melewati satu jembatan yang disebut “Civentu Peretu” (Chivanto Peretu) [yang dalam Islam biasa disebut jembatan shirotol mustakim]. Jika manusia bisa melewati jembatan itu dengan selamat, makai a akan sampai di sebuah kebun yang sangat indah, yang disebut Paradeza (Firdaus), dan hidup bahagia karena rahmat Ahura Mazda. Sebaliknya, jika manusia jatuh dari jembatan itu, ia akan dibakar dibawahnya bersama batu-batu. Tempat itu disebut Gehanama (Jahanam).

Semua ajaran Zarathustra ini kemudian ditulis menjadi kitab suci “Avesta” atau “Zend Avesta” pada sekitar abad ke-6 SM. Menurut para sarjana agama, banyak ajaran Zoroaster ini kemudian dilanjutkan oleh (mempengaruhi) Yahudi, Kristen dan Islam. Ketika ada tamu tokoh-tokoh Syiah Iran ke Fakultas Ushuluddin, saya bertanya tentang eksistensi agama Zoroaster sekarang di Iran. Mereka menjawab bahwa meskipun Zoroaster adalah agama minoritas di Iran, tetapi mereka cukup solid: memiliki rumah sakit, sekolah-sekolah dan layanan publik lainnya secara mandiri.

Menurut Orang Kristiani

Bagi umat Kristiani, di masa Yesus hidup belum ada kitab Perjanjian Baru. Setelah Ia tiada, muncul banyak kitab Injil, karena itu harus diseleksi melalui sebuah “kanon” (kanonisasi). Ada banyak ukuran/standar sebuah kitab Injil itu kanonik atau tidak, tetapi secara umum diyakini bahwa yang kanonik terutama adalah Injil “yang diilhamkan Allah”. Akhirnya “disepakati” 27 kitab dihimpun menjadi Perjanjian Baru (PB).

Dalam PB itu hanya empat Injil diyakini sebagai Injil yang sah: Markus yang ditulis sekitar tahun 70-an awal abad Masehi, Matius dan Lukas sekitar akhir 80-an, dan Yohanes pada akhir 90-an. Keempat Injil itu adalah “rekaman”, “gambaran” dan “penafsiran” tentang Yesus, masa kecilnya, khutbah-khutbah-Nya, Kerajaan Surga, penderitaan-Nya, kasih-Nya, perhatian utama-Nya kepada masyarakat kecil, lemah, miskin, tertindas, harapan akan pengadilan masa depan dan akhir dunia, dan lain-lain.

Keempat penulisnya: (1) Matius adalah mantan pegawai bea cukai yang dipanggil Yesus untuk menjadi muridnya. Maka ia menjadi salah satu dari dua belas Rasul-Nya; (2) Markus adalah pengikut Santo Petrus; (3) Lukas, seorang tabib, teman dekat dari Rasul Paulus, dan juga penulis Kisah Para Rasul; (4) Yohannes, murid Yesus, yang diyakini sebagai orang termuda dari kedua belas Rasul-Nya.

Dari empat itu, Matius dan Yohannes adalah murid langsung Yesus yang hidup berjumpa dengan-Nya. Sementara Markus dan Lukas mendengar kisah Yesus dari murid-murid Yesus yang lain. Tiga Injil: Markus, Matius dan Lukas disebut juga “Injil Sinoptik” (melihat bersama) karena kemiripan yang luar biasa satu sama lain. Secara umum, gambaran tentang Yesus yang ditulis oleh keempat penulis Injil adalah koheren dan konsisten.

Hal lain yang penting bagi kaum Kristiani adalah meskipun keempat Injil baru ditulis sejak 40 sampai 60 tahun setelah penyaliban Yesus (Injil Markus), tetapi mereka percaya bahwa proses penulisan keempat Injil itu adalah “diilhami Allah” atau “diembuskan Allah. Melalui para penulisnya, Allah menyampaikan firman-Nya untuk dituliskan. Jadi, para penulis ini adalah orang-orang yang dipilih Allah, bukan orang sembarangan. Allah menuntun keempat penulis dalam menuliskan firman-Nya, dituntun melalui Roh Kudus.

Meskipun ada beberapa pendapat soal ini, namun secara umum, orang-orang Kristen meyakini bahwa “bimbingan dan pengawasan Roh Kudus membuat para penulis Injil sempurna dalam menyampaikan kebenaran firman-Nya dan bebas dari kesalahan”. Jadi, meskipun ditulis oleh manusia puluhan tahun setelah “mangkat”nya Yesus, tetapi mereka “terjaga” atau “bebas dari kesalahan” alias ma’shum jika memakai istilah Islam.

Lebih ekstrem lagi, dikatakan sebenarnya pengarang Alkitab (didalamnya Injil) adalah Allah. Alkitab bukan semata firman Allah, tetapi Alkitab itulah firman Allah sendiri. Allah “meminjam” tangan dan pikiran para penulisnya untuk menuliskannya. Alkitab, yang secara garis besar berisi Perjanjian Lama dan Baru, itulah kini yang menjadi kitab suci dan pegangan kaum Kristiani.

Menurut Orang Yahudi

Kitab suci orang Yahudi adalah Tanakh: Taurat, Nevi’im (kisah nabi-nabi) dan Khetubim (doa dan sastra). Torah atau Taurat berisi lima kitab: Kejadian, Keluaran (eksodus), Imamat, Bilangan dan Ulangan. Lima ini kemudian termaktub dalam Perjanjian Lama dan menjadi bagian dari kitab suci orang Kristen. Jelas, bagi kaum Yahudi, ada banyak bagian dalam Tanakh dimana Tuhan berfirman langsung kepada nabi-nabi Israel dan nenek moyang mereka: Ibrahim, Ishak dan Ya’kub.

Misalnya, dalam Kitab Kejadian diceritakan Tuhan berfirman kepada Ibrahim: (1) “Pergilah dari negerimu, dari keluargamu dan dari rumah ayahmu ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”, (2) “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat,” (3) Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat”.

Kelak, Sarah yang mandul dan sudah sepuh ternyata hamil. Sarah melahirkan Ishak. Kepada Ishak ini, Allah berfirman lagi bahwa “…Aku akan menempati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu”. Jadi, janji Allah kepada Ibrahim ternyata diteruskan kepada Ishak dan keturunannya. Tetapi, kontinuitas Janji Allah kepada ketrurunan Ibrahim bukan suatu hadiah cuma-cuma, dalam arti karena Ishak putera Ibrahim sehingga otomatis menerima janji Allah, melainkan Ishak juga harus teguh dengan iman dan ketaatan kepada Allah sebagaimana ayahnya.

Dalam Kitab Kejadian diceritakan bahwa di suatu malam yang syahdu Tuhan menampakkan diri kepada Ishak dan berfirman “Akulah Allah ayahmu Abraham; jangan takut, sebab Aku menyertai engkau dan membuat banyak keturunanmu, karena Abraham hamba-Ku itu.” Ketika kembali terjadi kelaparan yang parah di Kanaan (kelaparan pertama pada masa Ibrahim dulu). Ishak dan keluarganya pergi ke Gerar, kota tempat Raja Palestina tinggal. Dari Gerar Ishak bersiap untuk mengungsi ke Mesir. Tetapi, Tuhan Allah kembali menampakkan diri kepada Ishak dan berfirman: “Jangan pergi ke Mesir, diamlah di negeri yang akan Kukatakan padamu. Tinggalah di negeri ini sebagai orang asing, maka Aku akan menyertai engkau dan memberkati engkau, sebab kepadamulah dan kepada keturunanmu akan Kuberikan seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu, dan Aku akan menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham. Aku akan membuat banyak keterunanmu seperti bintang di langit; Aku akan memberikan kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan sebab keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkah.” Maka, Ishak kemudian tetap tinggal di Gerar, taat kepada perintah-Nya.

Bagi kaum Yahudi, Tuhan tidak semata berfirman kepada nabi-nabi bangsa Israel, tetapi juga terus “berbicara” kepada mereka sepanjang masa jika mereka membaca kitab sucinya. Ternyata, bagi Muslim juga Allah terus “berbicara” kepada mereka jika membaca Al-Quran. Bagi kaum Kristiani, Hindu, Budhis, Baha’I dan seterusnya, Tuhan terus “berkomunikasi” dengan mereka selama mereka membaca kitab suci masing-masing.

Gambaran di atas, yang saya tulis agak panjang, menunjukkan bahwa Al-Quran ternyata bukan “satu-satunya” mukjizat Nabi yang ditulis, seperti yang selama ini kita dengar dari guru atau ulama kita. Weda, Avesta, Tanakh, Alkitab, Tripitaka telah “ditulis” jauh sebelum Al-Quran ”turun” di abad ke-7. Al-Quran dan semua kitab suci “pendahulunya” abadi sampai hari ini, dan sedikit banyak, telah menjadi referensi umat manusia membangun peradaban di negeri mereka masing-masing.

Klaim “universalitas” kitab suci, secara internal adalah absah, tetapi ia menjadi “partikular” ketika berjumpa dengan kitab-kitab suci yang lain. Semua pemilik kitab suci berharap kitab sucinya menjadi “petunjuk bagi umat manusia”. Ada yang Iya: otoritas kitab sucinya diakui oleh pemeluk lain. Tetapi, sebagian besar, mereka sudah “setia” dengan kebenaran “hanya satu-satunya” otentisitas dan otoritas kitab suci miliknya, milik masing-masing.

Jika ada keinginan kuat dan ada waktu, menurut saya, sikap terbaik adalah mau belajar “keunikan” dan “keistimewaan” kitab suci orang lain untuk “memperkaya” pemahaman kita terhadap kitab suci kita. Jika tidak, cukuplah bagi kita untuk “memeluk”, “mencium” dan “mendalami” kandungan kitab suci kita, tanpa perlu “merendahkan” kitab suci orang lain. Wallahu A’lam

2 komentar pada “Kitab Suci Agama-agama

  • mohamadyusufefendi

    Materi di atas memberikan gambaran tentang keunikan dan keistimewaan kitab suci dari berbagai agama, yaitu Islam, Buddha, Zoroaster, Kristen, dan Yahudi. Setiap agama memiliki kitab suci yang diyakini sebagai wahyu Tuhan dan menjadi pedoman hidup umatnya. Penekanan utama dari materi ini adalah pentingnya menghormati dan memahami keberagaman agama serta kitab suci masing-masing. Al-Qur’an, sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW, dibandingkan dengan kitab-kitab suci lainnya yang juga memiliki peran penting dalam membangun peradaban dan menjadi referensi moral bagi umatnya. Materi ini mengajak kita untuk memperkaya pemahaman kita terhadap keunikan kitab suci orang lain tanpa merendahkan kepercayaan mereka, dan tetap setia pada kebenaran dan otoritas kitab suci kita sendiri.

    Balas
  • Muhammad Sholeh

    Tulisan Prof Media mengajak kita untuk melihat keberadaan Al-Quran dalam konteks yang lebih luas, menempatkannya di antara kitab-kitab suci lainnya seperti Weda, Avesta, Tanakh, Alkitab, dan Tripitaka, yang semuanya telah “ditulis” sebelum Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa kitab-kitab suci tersebut, termasuk Al-Quran, memiliki peran penting dalam membentuk peradaban manusia dan memberikan petunjuk bagi umat mereka masing-masing. Prof Media juga menyoroti bahwa klaim “universalitas” kitab suci adalah valid dalam konteks internal agama masing-masing. Namun, ketika berhadapan dengan kitab suci lain, klaim tersebut menjadi “partikular” karena setiap agama memiliki pandangan dan keyakinan masing-masing tentang otoritas dan kebenaran kitab sucinya. Sebagian umat mungkin mengakui otoritas kitab suci lain, tetapi kebanyakan tetap setia pada keyakinan akan otentisitas dan otoritas kitab suci mereka sendiri. Kita diajak untuk bersikap terbuka dan menghargai “keunikan” dan “keistimewaan” kitab suci lain sebagai cara untuk memperkaya pemahaman kita terhadap kitab suci kita sendiri. Jika tidak memungkinkan, setidaknya kita harus memeluk, mencium, dan mendalami kandungan kitab suci kita tanpa merendahkan kitab suci orang lain. Pendekatan ini mengedepankan sikap saling menghormati dan toleransi antar umat beragama, yang penting dalam menjaga keharmonisan dan perdamaian di masyarakat.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *