Mbah Benu dan Sikap Kita atas Perbedaan Idul Fithri
Oleh KH. Marzuki Wahid, Rektor ISIF Cirebon
Dalam konteks keislaman, harus disadari bahwa ada banyak pemahaman, penafsiran, dan juga madzhab dalam keislaman. Mulai dari yang tekstual hingga yang liberal, semuanya ada dalam pemahaman keislaman kita.
Bagaimana sikap kita? Tentu kita harus berpegang pada apa yang kita yakini benar. Saya sebagai muqallid ahlissunnah wal jama’ah an-nahdliyyah meyakini bahwa awal bulan syawwal ditentukan dengan ru’yatil hilal (melihat bulan langsung).
صوموا لرأيته وأفطروا لرأيته
Penetapannya dilakukan oleh pemerintah (qodli) untuk menghilangkan perbedaan, sesuai dg kaidah:
حكم القاضي إلزام ويرفع الخلاف
Bagi kita, keputusan awal Syawal nunggu hasil sidang itsbat Kementerian Agama RI.
Bagaimana menyikapi mereka yang berbeda? Berlaku kaidah:
الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد
Jika itu hasil ijtihad, maka biarkan hasil ijtihad itu bersanding. Karena suatu ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad yang lain. Biarkan berjalan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
لنا منهجنا وأعمالنا ولكم منهجكم واعمالكم
Kasus Mbah Benu
Bagaimana dengan Mbah Benu telpon Allah langsung? Kita jangan memahami telp di sini adalah telp pake HP dan alat komunikasi lain.
Allah jelas bukan makhluk, ليس كمثله شيئ، maka sudah pasti tidak bisa ditelp dengan HP atau sejenisnya. Jika kita memahami ditelp pake HP, lalu menyalahkan Mbah Benu, maka sesungguhnya nalar kita juga salah. Sudah pasti Allah tidak bisa ditelp pake HP.
Dengan demikian, bahasa ditelp yang digunakan Mbah Benu adalah majazan, bukan haqiqatan. Mbah Benu mungkin melakukan kontak langsung dengan Allah SWT dengan lisan sebagaimana kita berdoa, berdzikir, atau dengan dengan hati sebagaimana kita istikharah dan berdzikir Dengan ikhtiar yang dia lakukan, lalu diperolehlah jawaban itu.
Jika pemahaman “telp” adalah seperti ini, lalu bukankah tidak ada beda dg yg selama kita lakukan dalam berdoa, berdzikir, istikharah dan lain-lain, lalu timbul keyakinan yang kita anggap benar sebagai suara atau jawaban dr Tuhan?
Perbedaan yang dilakukan oleh Mbah Benu, kita uji saja dalam metodologi ilmiah keislaman? Adakah metodologi ini dalam sejarah dan literatur keislaman kita? Jika ada, this is a fine! Jika tidak ada, apakah ini varian baru dari pemahaman keislaman? Mari kita uji, kita diskusi, kita tabayyun agar memperoleh informasi, data, pengetahuan yang sebenarnya dari Mbah Benu dan para pengikutnya. Bukankah ilmu itu dinamis dan berkembang?
Sikap Kita
Saya kira sikap ini yang perlu kita kembangkan, bukan mencaci, mencela, dan menyesatkan. Terlalu prematur dan bukan sikap bijak jika kita memosisikan Mbah Benu dengan berbagai posisi tersebut. Toh Mbah Benu dan para pengikutnya adalah ahlil qiblah, ahli shaum, muzakki, dan semua ajaran keislaman dilakukannya dengan taat.
Kalaupun NANTI setelah tabayyun dan diskusi, misalnya, ditemukan tidak ada landasan manhajiyyah dalam keislaman kita, maka adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan bil hikmah wal mau’idhatil hasanah dengan mereka. Lagi2, bukan dengan cara mencela, mencaci, dan menyesatkan mereka.
Jika sudah didakwahkan bil hikmah wal mau’idhatil hasanah masih belum berubah dan tidak mau berubah, ya sudah kembalikan kepada Allah, sebagaimana Nabi SAW mendoakan kaumnya:
اللهم أهد قومي فانهم لايعلمون
Dalam konteks kebangsaan, mereka tidak melakukan kesalahan secara hukum. Mbah Benu dan pengikutnya hanya melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya saja. Mereka tidak memaksakan keyakinannya kepada pihak lain. Bahwa ijtihadnya benar atau salah, itu bukan urusan negara dan masyarakat. Itu adalah urusan Tuhan. Biarkan mereka mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan nanti.
Kita tidak boleh mencela, memaki, mengolok-olok, dan merendahkan semua orang yang berbeda dg kita. Mereka adalah manusia. Mereka adalah warga negara Indonesia. Mereka adalah umat Islam juga. Tidak ada hak kita untuk merendahkan derajat dan martabat mereka.
Ini menurut saya.