GuruKampusOpiniPesantrenSekolah

Kurikulum ala Bapak

Advertisements

Oleh: Dr. KH. Rijal Mumazziq Z., Rektor  Universitas Al-Falah Assunniyah Jember

Pendidikan Anti Gengsi

Saya masih kelas IV MI saat diminta oleh bapak jualan es lilin. Konsepnya, bawa beberapa puluh es lilin bikinan sendiri, ditaruh di termos, dibawa ke kelas, dan saat istirahat saya nunggui calon pembeli. Harganya kalau nggak salah masih Rp 50/pcs. Lupa-lupa ingat, wong ini tahun 1994. Dari situ saya dapat laba. Setor ke bapak sendiri. Berapa yang laku dihitung presentasenya. Uang jajan memang sudah dijatah, adapun laba jualan es adalah hasil kerja seorang bocil. Dari situ saya bisa beli mainan.

Walaupun secara materi dibilang cukup, bapak nggak mau anak-anaknya manja. Beliau dan ibu bikin racikan es lilin. Adapun yang bagian mewadahi dan “mbunteli” adalah mbak-mbak santri yang biasanya mengerjakannya usai ngaji sambil nonton tivi di rumah. Mbak mbak santri yang membantu bikin es ini tidak diupah rupiah, melainkan diberi jatah makan di rumah dan kalau ramadan juga dapat sangu buat lebaran di rumah.

Kalau es lilin sudah jadi, ada beberapa penjual yang mengambil ke rumah. Sisanya, diantar bapak ke berbagai kios. Dengan menaiki sepeda ontel, termos ditaruh di setir kanan dan kiri. Sedangkan saya dibonceng di belakang, sambil bawa satu termos kecil. Semua diantar bapak di warung sekitar pondok.

Setiap sore, saya pula yang mengambil termos es. Ada sisa atau tidak, saya yang diberi tugas menghitung keuangannya. Termasuk laba yang saya dapatkan. Dari situ saya dapat upah. Jadi per hari dapat dua kali jatah duit. Dari saya jualan sendiri di kelas. Satu lagi dari hasil mengantar dan mengambil termos di beberapa warung di sekitar pondok.

Selain es, beberapa kali saya jualan stiker, gambar-gambar superhero, juga mercon lidi. Pelanggannya ya teman-teman sekelas, antara lain Cak Rosyid Efendi Cak M Shodiq Jbr dan Cak Fik Fik.

Apakah kami kekurangan materi? InsyaAllah cukup. Bapak ngajar di beberapa kampus, juga punya beberapa petak sawah yang digarap orang lain. Tapi saya memahami di kemudian hari. Ini adalah bagian penempaan mental sejak dini, agar tidak gengsi, tidak “menjual” nasab, tidak terlalu tinggi menilai kualitas diri, dan bisa cari fulus dengan bahagia.

Di sisi lain, Mbah Kakung adalah salah satu pendiri PCNU Kencong, juga bagian dari Laskar Sabilillah pada era revolusi kemerdekaan. Juga merintis pondok pada 1932 dan bertahan hingga kini. Usia 92 tahun sebuah pesantren bagi kami sudah luar biasa. Jadi bisa dibilang, keluarga kami terpandang. Namun, bapak telah melabuhkan pilihan agar kami tidak mengandalkan nasab, bergantung “keramat gandul”, atau dalam istilah Gus Yahya Cholil Staquf, “….tidak menjual nisan leluhur”.

Di kemudian hari, saya paham, bapak tidak mau kami gengsian. Atau dalam istilah Arek Suroboyo, “pekethak pekethek”, alias “Kemencuk”.

Dalam bahasa yang lebih keras, bapak bilang, “Anake wong pinter bakal goblok lek males sinau. Anake wong goblok yo iso dadi alim lek sregep sinau. Anake wong sugeh bakal kere lek males, anake wong kere bakal sukses lek kerjo sregep.” (Anak orang pintar bakal goblok jika malas belajar. Anak orang goblok bisa menjadi orang alim jika rajin belajar. Anak orang kaya bakal miskin jika bermalas-malasan, anak orang miskin bakal sukses jika rajin bekerja).

Menempa mentalitas berwirausaha, memupuk mental sebagai petarung kehidupan, menumbuhkan jiwa kemandirian agar tidak bergantung nama leluhur. Kerja dengan otak, tangan dan kaki sendiri. Bukan ongkang-ongkang. Juga agar tidak gampang malu dan pilih-pilih melakoni sebuah pekerjaan. Kerja halal, langsung dijalani, tanpa pikir panjang.

Dalam frasa singkat, saya menyebut pola pendidikan ini sebagai “Pendidikan Anti Gengsi”. Sebuah pola didik yang ditanam puluhan tahun silam, dan saya unduh hasilnya saat ini.

Matursuwun bapak. Semoga Gusti Allah senantiasa menerangi kubur panjenengan.

Foto Bapak dan Ibu

Upaya Menanamkan Kecintaan kepada Kiai Kampung

Kalau bertamu ke kiai-kiai yang masyhur atau saat kedatangan beliau-beliau, bapak saya, almarhum Pak H Saifuddin Mujtaba, dengan “lancang” biasanya minta agar minuman sisa beliau tidak dihabiskan. Disisakan, lalu saya diminta menghabiskan.

Yang masih saya ingat, waktu itu di rumah kami kedatangan KH. Djauhari Zawawi dan KH. Abd Chayyi, Kencong; KH. Yasin Yusuf Blitar; dalam rangka haflah imtihan, bapak minta agar beliau-beliau menyisakan minuman teh di gelas dan saya diminta menghabiskannya. Pernah pula bapak kerawuhan KH. A. Sadid Jauhari, waktu itu saya mau main sepakbola, sekira 1994, langsung dipanggil dan diminta menghabiskan sisa minuman Yai Sadid.

Di pertengahan 90-an ini pula, saya sering diminta bapak sowan ke beberapa santrinya mbahkung. Salah satunya Pak Syamsuddin, guru ngaji di desa kami yang sangat telaten ngajari anak-anak mengaji. Pak Syamsudin ini tipikal kiai kampung yang khumul. Kalau berjumpa dengan anak didiknya di jalan–biasanya habis kulakan minyak tanah– pasti beliau menyapa duluan. Mengucapkan salam. Rupanya ini lelaku beliau memberi teladan kepada anak-anak, mengucapkan salam terlebih dulu dan santun dalam perilaku.

Yang paling ingat, 2008, pada malam takbiran, saya diajak bapak sowan KH. A. Muchith Muzadi di ndalem beliau, di samping Masjid Sunan Kalijaga depan UNEJ. Menjelang pulang, bapak nyuwun izin agar anaknya menghabiskan sisa minuman Yai Muchith. Kemudian minta doa.

Waktu MI dan MTs, saya mendapatkan jadwal keliling. Kemana? Membagi zakat dan bingkisan untuk guru ngaji di desa. Zakat uang ditaruh di dalam amplop kecil. Dikasih tulisan “Zakat Saifuddin untuk Pak A”, misalnya. Kemudian menggunakan sepeda federal saya ke ndalem para guru ngaji kampung ini. Khususnya, santri-santrinya kakek saya yang kondisi ekonominya kurang beruntung. Oleh bapak dipeseni: jangan langsung pulang setelah menyampaikan amplop, tapi bertamu dulu, bincang-bincang dan minta didoakan beliau-beliau. Kalau bingkisan lebaran, walaupun isinya nggak banyak, saya diminta mengantar ke santri-santrinya almarhum Mbah Putri saya. Sama ibu dikasih catatan, ini bingkisan untuk Bu A, Bu B, Bu C dll.

Bapak juga meminta saya sowan ke gurunya, seorang kiai kampung di Kencong. Kepada beliau, saya diminta kulakan amalan. Sebagian besar saya catat, walaupun tidak mengamalkannya lantaran sifat malas hehehe.

Kini, di usia 40 dan berputra 3, saya semakin sadar pentingnya menanamkan kecintaan kepada ahli ilmu, baik yang mastur maupun yang masyhur, kepada buah hati.

Apa yang dilakukan oleh bapak, kini coba saya duplikasikan. Memperkenalkan anak-anak dengan para guru saya, baik yang tipe kiai kampung maupun kepada para kiai yang “menasional”. Para penjaga ilmu syariat dasar di kampung-kampung, para pemikul wahyu yang bertebaran di pelosok, dan para ahli ilmu yang tidak tenar dan tidak viral, yang berkat munajat beliau di tengah malam, Allah menunda balak-Nya dan mengucurkan rahmat dan keberkahan.

Mengajak anak-anak sowan kepada para guru kita, siapapun beliau, adalah tindakan kecil. Tapi dampaknya bisa diunduh puluhan tahun lagi.

Dengan segala keterbatasan, kekurangan dan kelebihannya, seorang guru wajib dihormati. Bahkan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata, aku adalah hamba (budak) dari orang yang telah mengajariku walaupun hanya satu huruf. Ungkapan mulia dari pribadi yang luar biasa.

Demikian vitalnya posisi seorang guru, para ulama juga membuat istilah, Al ‘Ilmu ruhun tunfakh, la masailu tunsakh. Artinya, ilmu ini adalah ruh yang ditiupkan (oleh guru yang berrantai sanad ke dalam jiwa murid), bukan semata kumpulan masalah yang ditulis (di buku). Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama senantiasa bersyukur memiliki seorang guru yang membimbing jiwanya dan memahat karakter pribadinya.

Seorang mahaguru ulama Nusantara, Syekh Mahfudz Attarmasi, memiliki Tsabat (kodifikasi sanad/matarantai intelektual) berjudul “Kifayah Al-Mustafid li Ma Ala min al-Asanid”. Tsabat (yang berarti hujjah), kita tahu, adalah sebuah buku yang memuat matarantai intelektual penulisnya. Bagi ulama wilayah Timur, ini disebut “Tsabat”, di Barat (ahlul maghrib) disebut sebagai “Fahras”.

Dalam buku tipis yang diverifikasi oleh ‘Allamah al-Muhaddits Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, ulama keturunan Minangkabau, ini tertulis semua matarantai intelektual Syaikh Mahfudz. Nama para guru yang mengajarinya sebuah kitab, nama gurunya para guru, terus bersambung ke atas, hingga ke penulis kitab.

Dengan cara ini, Syekh Mahfudz bukan hanya mencatat nama guru mulia yang telah mengajarinya sebuah kitab maupun cabang ilmu, namun juga membuktikan apabila matarantai keilmuan itu sangat penting dalam kajian keilmuan Islam. Sebagaimana para pembuat keris di Jawa dan pembuat pedang di Jepang, jika diurut ke atas mereka memiliki guru/master tempatnya belajar teknik metalurgi. Tidak ujug-ujug membuat produk. Bisa gagal dan fatal akibatnya.

Di sinilah pentingnya sebuah matarantai keilmuan. Pentingnya memilih seorang guru yang bukan hanya memahami jalinan kasih sayang guru-murid (silaturrahim), melainkan pula pertautan jiwa (silaturruh). Andaikata tidak ada matarantai keilmuan, setiap orang merasa berhak bicara apapun tanpa mengetahui kualitas dirinya. Tentu, ini sangat berbahaya dan harus diakui telah sekarang menjadi trend di dunia “dakwah” di Indonesia.

Tradisi mencatat nama guru beserta silsilah keilmuan juga tetap dipegang teguh seorang Begawan fiqh Indonesia, KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz. Sanad keilmuan penggagas Fiqh Sosial itu tertera dalam kitab karangannya, “Faidh al-Hija fi Syarh Nail al-Raja fi Manzhumah Safinah al-Naja”. Dengan cara ini pula Kiai Sahal mendidik para santrinya agar senantiasa berpegang teguh pada rel keilmuan yang telah terwariskan secara turun temurun dari para salafus saleh dan teruji dinamika zaman.

Dari berbagai pembesar yang telah saya sebut di atas, mereka memiliki satu ciri yang sama, yaitu kerendahan hatinya mengabadikan nama para guru yang telah menempa jiwanya. Mereka tahu, di antara ciri orang yang tidak tahu diri adalah mereka yang melupakan jasa para gurunya.

Boleh saja anda mengagumi ulama-ulama besar, dalam maupun luar negeri, dengan berbagai reputasi keilmuan dan capaian keramatnya, tapi jangan pernah melupakan para guru ngaji langgar, guru yang telah mengajari kita alifbata, shalat, dan mendaras al-Qur’an.
Mereka ini yang menyebabkan turunnya rahmat Allah, mencegah Allah menurunkan balak-Nya, lantaran dari khidmah dan keikhlasannya, generasi Islam terus dididik.

Mungkin, dengan cara membahagiakan para guru ngaji ini, kelak Allah mentakdirkan anak cucu kita menjadi seorang alim yang amil.

Foto  Saya dan Mbh Yusuf

 

Menumbuhkan Kemampuan Komunikasi Publik

Oke. Lanjut tulisan sebelumnya ya. Setelah dewasa dan punya anak, juga belajar parenting, saya baru paham tujuan-tujuan bapak menyuruh saya begini begitu, yang sudah saya kupas di bagian 1 dan 2 tulisan sebelumnya berjudul “Kurikulum ala Bapak”.

Kali ini, saya teringat saat bapak meminta saya menemui tamu-tamunya. Yang saya ingat, sejak kelas IV MI, bapak selalu meminta saya tampil di ruang tamu. Maksudnya, ketika ada tamu, saya yang membukakan pintu dan mempersilahkan masuk.

Selepas itu saya diminta menemui tamu, mengajak ngobrol sejenak, walaupun tentu saja tamu tersebut lebih tua dari usia saya. Ketika ngobrol, bapak masih di ruangan tengah, semacam menunggu obrolan basa-basi rampung.

Ternyata di kemudian hari saya sadar, ini metode yang ditanamkan agar anaknya percaya diri menghadapi orang asing. Melatih agar komunikasi publik bisa berjalan sejak dini. Juga menginstal pembiasaan hormat kepada tamu dengan obrolan pembuka.

Ketika bapak menemui tamu, saya diminta ke belakang, mengambil minuman teh/kopi yang dibuatkan ibu. Perempuan yang melahirkan saya ini kemudian menata di atas nampan, sambil meminta saya membawanya ke ruang tamu. Beliau juga berpesan, nanti kalau membawa nampan berisi teh/kopi, jangan sampai posisinya sejajar dengan dada atau di bawah mulut. Hendaknya dijunjung setara dengan mata. Mengapa? Biar lebih sopan dan tidak terkena nafas kita. Ibu juga mengajari agar ketika menaruh gelas beserta lepeknya, kupingan gelas ditaruh di sebelah kanan sejajar dengan tangan tamu biar memudahkannya mengambilnya.

Di usia MI dan MTs pula, saat lebaran, saya dan adik (almarhum Qoidud Duwal) diberi catatan di kertas berisi para kiai kampung yang harus kami sowani. Di atas kertas, bapak mencatat nama-nama guru yang harus saya sowani: Mbah Yusuf, Kiai Hannan, Pak Syamsudin, Pak Muhyi, Pak Saijo, Pak Amin dan seterusnya.

Beliau-beliau merupakan guru di pesantren kami dan juga bagian dari murid-murid mbahkakung saya. Untuk para guru yang ekonominya di bawah standar, saya dan adik dititipi amplop bertuliskan “Zakat Maal dari Saifuddin Mujtaba untuk Pak A”. Kami berkeliling berboncengan naik sepeda federal. Jika guru tersebut ekonominya stabil, bukan uang zakat maal yang dititipkan, melainkan gula pasir beberapa kilo, kopi bubuk, teh, mie instan dan bungkusan plastik berisi minyak kelapa.

Di setiap catatan nama, akan dicoret jika sudah disowani. Sebelum sowan dikasih pesan: wajib ngobrol dengan beliau-beliau dan minta doa. Rupanya, ini kurikulum dasar yang ditanamkan bapak agar senantiasa mencintai para guru, sekaligus juga melatih kemampuan komunikasi lisan dan unggah ungguh (etika berperilaku) dengan siapapun yang lebih tua. Intinya: latihan percaya diri ngomong dengan siapapun. Bapak juga bilang: kalau menjumpai para guru, ketika beliau berbicara wajib menatap mata beliau. Nggak boleh “ndingkluk”. Juga dilarang tolah-toleh.

Selesai? Belum. Di usia MI dan MTs, bapak meminta saya aktif dalam kegiatan khitobah/muhadlarah/latihan pidato di pesantren kami, PP. Mabdaul Maarif Jombang Jember. Bapak bikin narasi yang ditulis tangan, baik teks Arab maupun latin terjemahnya, saya diminta berkali-kali latihan membaca. Bapak mengawasi sambil menyodorkan gagang sapu dan memperlakukannya seolah-olah mikropon. Termasuk menyuruh agar selain membaca, juga memandang ke depan, seolah-olah ada hadirin. Jika suara kurang lantang, bapak meminta agar lebih keras lagi.

Apakah bapak mubaligh? Bukan. Sama sekali bukan. Beliau kalau ngajar santri dan mahasiswa lancar, sangat lancar. Hanya, kalau diminta pidato umum sering menolak. Bahkan beberapa kali ibu cerita kalau bapak sering gugup jika diminta ceramah umum. Khutbah Jumat pun sering menolak. Kalau dipaksa baru mau, itu pun pakai teks. Saya tahu betul beliau latihan berkali-kali sebelum tampil.

Ketika saya mondok di Ponorogo, beliau juga nitip pesan agar melatih diri dengan ikut acara latihan pidato di pondok. Saat kuliah di Surabaya, bapak juga pesan agar anaknya aktif di PMII, IPNU, dan BEM agar kemampuan public speaking semakin baik.

Bapak, yang wafat pada 14 Februari 2015, pernah nitip pesan: Lek ngisi acara diskusi, seminar utowo pengajian, ora usah mikir bayaran. Budalo ae. Mengko mesti ono rezeki min haitsu la yahtasib. Wis diitung karo Gusti Allah(Kalau mengisi acara diskusi, seminar atau pengajian, jangan pernah mikir bayaran. Berangkat saja. Pasti nanti ada rezeki yang tidak terduga dari Allah).”

Keterangan foto: rijal. 10 tahun. Bagian penerima tamu.
Untuk bapak H. Saifuddin Mujtaba, ibu Hj. Umi Nadziroh Syafawi, dan adik Qoidudduwal. Lahumul fatihah

2 komentar pada “Kurikulum ala Bapak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *