Kurikulum ala Bapak (2)
Oleh: Dr. KH. Rijal Mumazziq Z., Rektor Universitas Al-Falah Assunniyah Jember
Membangun Kecintaan terhadap Literasi
Waktu masih bocah, sekira pertengahan 1990-an, saya dan adik (alm.) Qoidud Duwal sering diajak beliau jalan-jalan ke Jember. Di kawasan Johar Plaza, Jompo. Awalnya saya mengira diajak ke Matahari, pusat perbelanjaan yang berjaya di masanya. Dugaan meleset. Bapak malah mengajak saya menelusuri kawasan pasar loak di belakang mal kondang Jember itu.
Bapak meminta saya memilih majalah Bobo, Mentari Putera Harapan, dan komik. Saya pilih semuanya. Kalau komik jelas pilih Doraemon dan Kungfu Boy. Semua bekas, kondisi masih bagus, dan ini awal mula perkenalan saya dengan pasar loak dan buku bekas. Selain harga yang terjangkau, saat itu yang membuat saya suka adalah aroma. Ya, bau apek kertas lawas pada majalah dan komik yang berpadu dengan aroma benda loak lain: uang kertas kuno, logam, sepatu, sandal, kipas angin dan benda benda yang dipajang lesehan oleh penjualnya.
Biasanya bapak berdiri sambil membaca satu-dua buku di salah satu kios langganannya, dan saya dikasih uang, sambil disuruh keliling mencari sendiri majalah dan komik yang saya minati, sekaligus melatih kemampuan seorang bocil dalam tawar menawar.
Sekarang, saya baru tahu, ini adalah pendidikan lapangan yang melatih kecerdasan interpersonal dan intrapersonal bagi anak, versi Howard Gardner. Kini, saya berusaha mencontohnya. Mengajak cucu-cucunya ke Kampoeng Ilmu di Jl. Semarang, Surabaya. Salah satu sentra buku dan majalah bekas.
Bapak tidak pernah memaksa saya memilih buku agama. Yang kamu sukai dan ingin baca, belilah. Katanya. Oke, alih-alih memilih buku “panduan menjadi anak soleh”, saya waktu masih usia MI itu memilih Kungfu Boy, Dragon Ball, Pedang Tujuh Bintang, Mahabharata karya R.A. Kosasih dan versi Teguh Santosa, Tintin, serial Abunawas, komik sahabat Nabi dan komik biografi imam madzhab.
Adapun beberapa edisi Musashi karya Eiji Yoshikawa dan Bukek Siansu karya Asmaraman Kho Ping Ho saya beli di pasar loak belakang Johar Plaza ini sewaktu MTs. Ya, semua bekas!
Sekarang, saya baru ngeh, bapak ngajak keliling ke pasar buku seken ini semata menanamkan pola pikir, belilah yang kau sukai, baca, walaupun statusnya loak, tak masalah.
Saya menikmati betul proses pembelajaran berbasis lapangan dan pembentukan karakter dasar literatif ini.
Barulah saat MTs, bapak memperkenalkan saya dengan Majalah TEMPO dan AULA NU. Ketika TEMPO dibredel, 1994, bapak beralih ke GATRA. Ketika bapak wafat, saya menata ulang majalah-majalah lawas ini. Sebagian kena rayap.
Yang keren, bapak masih menyimpan terbitan perdana majalah AULA NU tahun 1978. Kalau tidak salah namanya BUWILNU Jatim alias Buletin Wilayah NU Jatim. Cetakan stensilan. Termasuk masih ada majalah kebanggaan NU ini lansiran 1980-an. Bapak langganan majalah AULA sejak era hingga wafatnya pada 2015. Benar benar pembaca fanatik.
Di tumpukan majalah lama, juga saya jumpai Majalah Pesantren terbitan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta yang legendaris itu. Juga Majalah Tebuireng tahun 1980-an yang isinya sangat bernas. Jurnal Ulumul Qur’an dan Prisma juga banyak, walaupun sebagian rusak kena hawa lembab. Majalah Amanah juga ada, tapi nggak banyak.
Bagaimana dengan bacaan lain?
Sekali lagi, bapak tidak pernah memaksa. Beliau hanya meletakkan koran Jawa Pos dan majalah AULA itu di ruang tamu, yang menjadi sajian bagi siapapun yang berkunjung. Tentu saja, ini menjadi awal mula bagi saya berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dikupas di media massa ini. Ketika jurnalis NU menerbitkan harian Duta Bangsa, tahun 1999, yang akhirnya pecah menjadi Harian Bangsa dan Duta Masyarakat, bapak berlangganan juga. Alasannya sederhana, jika warga NU tidak berlangganan dua koran ini, lalu siapa lagi? Oke fix. Alasan rasional.
Bapak juga mengenalkan saya dengan cerita para kiai-kiai NU, dan ketika saya menyodorkan naskah awal buku berjudul “Cermin Bening dari Pesantren: Potret Keteladanan Para Kiai”, pada Juli 2009, yang saya pakai sebagai mahar meminang istri, bapak senang, walapun seperti biasa, beliau bisa menahan diri untuk bersikap “biasa saja”. Sikap yang merupakan tipikal ortu generasi lawas, bukan? Hehehe
Oke, kembali ke bahasan saat usia MTs. Di level penempaan lain saat usia remaja ini, saya dipilihkan bapak kitab Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa, lantas diminta sorogan bakda magrib kepada pakde saya, KH. Achmad Zaini Syafawi, Pengasuh PP Mabdaul Ma’arif Jombang-Jember. Belum sampai khatam, bapak meminta saya melanjutkan sorogan tafsir al-Iklil fi Ma’anit Tanzil karya KH. Misbah Zainal Mustofa, tetap bakda magrib kepada Yai Ahmad Zaini.
Mungkin ini cara bapak saya menanamkan kecintaan terhadap karya para ulama Indonesia, yang berbahasa Jawa, sembari mengimbanginya dengan menyuruh saya ngaji Tafsir Jalalain, kepada pakde saya yang lain, KH. Nurul Huda Syafawi.
Bapak mencintai ilmu. Selain dibuktikan dengan kurang lebih 5000-an buku dan kitab yang diwariskan kepada saya, bapak mengajar di beberapa kampus: STAIFAS Kencong (kini Universitas al-Falah Assunniyah), IAIN Jember, Universitas Islam Jember, IAI al-Qodiri Jember; juga di STIH Jenderal Sudirman Lumajang, STAI Bustanul Ulum Krai Lumajang, Univ. Widya Gama Lumajang, dan STAI At-Taqwa Bondowoso.
Karena nggak punya sepeda motor dan mobil, bapak ngebis. Seringkali naik angkot. Tapi kedisiplinannya di atas rata-rata. Bagi saya, bapak mengajar bukan karena tugas atau kewajiban, melainkan panggilan jiwa. Sudah kecanduan, ya candu menebarkan ilmu. (Besok saya tulis betapa bapak saya ini keras kepala dalam keinginan mengajar).
Saya tidak bisa meniru semangat bapak dalam mengajar dan kedisiplinannya. Selalu tepat waktu dan nyaris tidak pernah absen. Saya hanya bisa meniru semangatnya dalam berkarya tulis dan berjualan buku. Ya, selain menulis buku dan menerjemahkan beberapa kitab, bapak juga berjualan buku. Bapak kulak buku ke Surabaya, dibawa ke Jember, dijual ke mahasiswa.
Biasanya ada mahasiswa yang menjadi agen penjualnya. Mahasiswa mengambil, menjualkan, kemudian setor uang. Kadangkala ada yang langsung datang ke rumah dinas– waktu itu bapak diamanahi sebagai pengasuh asrama putri STAIN Jember–memilih judul, bayar, selesai. Ada juga yang datang, blak-blakan pengen utang, diizinkan oleh beliau. Yang lucu, setelah bapak wafat, ada beberapa (mantan) mahasiswa beliau yang datang ke saya nyerahkan duwit. Lho uang apa ini? Dulu saya punya utang ke ayah njenengan, utang buku, dan bayar sekarang hahaha
Pernah, saya tanya, kenapa kok nggak habis pusing dengan buku yang diutangkan ke mahasiswanya. Beliau sambil ngemil keripik, “Ya, kan nggak semua mahasiswa punya duwit banyak. Aku percaya kok mereka jujur dan nggak bakal ngemplang.”
Lebih lanjut, di perbincangan lain, Bapak H. Saifuddin Mujtaba, ayah saya ini bilang:
“Yang penting arek-arek punya buku. Kalau nggak sempat baca sekarang, mungkin nanti, atau kelak. Jika belum sempat juga, mungkin anaknya yang akan membacanya. Jika anaknya tidak membacanya, mungkin cucunya atau keturunannya yang akan menikmatinya.”
Atau, dalam sebuah obrolan lain, beliau bilang
juga…
“Warisan terbaik bagi anak adalah buku dan perilaku terpuji.”
termasuk…
“Cara terbaik menanamkan kecintaan anak terhadap literasi adalah ketika orangtuanya menyediakan bacaan-bacaan ringan di sekelilingnya. Jika sudah terbiasa membaca yang ringan, nanti dia tertarik membaca buku-buku yang bertema berat.”
Foto: Rijal. Usia 18 bulan
Menjadi Manusia yang Biasa-Biasa Saja
Waktu usia MTs, saya dapat amalan dari Mbah Yusuf, santri Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari. Beliau kelahiran 1909 dan wafat 2003. (Foto beliau sudah saya posting di Kurikulum ala Bapak)
Sahabat mbahkakung saya ini memberi ijazah amalan berpuasa sunnah sekian hari, shalat sunnah A, B, C dilanjut dengan wirid dengan jumlah tertentu.
Saya menjalankannya selama 1 tahunan. Yang unik, saat menjalaninya saya diberi kemampuan aneh. Jadi, katakanlah besok ada kejadian begini-begitu, nah malam hari sebelumnya saya diberi mimpi, semacam gambar bergerak atas peristiwa yang besoknya terjadi. Misalnya, ada pencurian, tabrakan, tetangga wafat, juga si A melahirkan anak cowok, si B bapaknya datang menjenguk anaknya di pondok, si C dapat hadiah ini-itu dst. Termasuk, soal ujian sekolah yang keluar besok, itu malam harinya muncul di mimpi. Saya memanfaatkannya? Iya. Hahahaha
Saya lalu menceritakan pola mimpi berulang ini ke bapak. Beliau agak terkejut, lalu mengajak saya naik sepeda onthel sowan Mbah Yusuf, yang memang terkenal gudangnya suwuk dan amalan. Apa yang bapak lakukan? Dengan sopan beliau minta izin ke Mbah Yusuf agar anaknya tidak lagi mengamalkan ijazah ini. Mbah Yusuf ridlo.
Setibanya di rumah, bapak mendudukkan saya. Lalu dengan pelan bilang:
“Aku nggak pengen kamu jadi orang sakti. Nggak pengen kamu jadi DUKUN! Jadi orang biasa saja!”
Cara Menguatkan Literasi dengan Metode Cari Buku Ini!
Selain mengajak anaknya belanja buku, komik dan majalah di pasar loak belakang komplek pertokoan Johar Plaza Jember, juga menaruh sembarangan majalah dan buku di berbagai sudut rumah (ruang tamu, kamar, bahkan meja dapur) ada satu lagi metode yang baru saya sadari saat sudah punya anak. Apa itu? Memperkenalkan nama penulis dan judul bukunya.
Caranya, kalau pas bapak mutholaah sebelum mengajar atau pas cari referensi buat bahan nulis, saya dipanggil. Lalu diminta mencari buku/kitab/majalah. Bapak menyebutkan nama penulis dan judul buku.
“Ambilkan buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah karya Gus Dur. Buku baru itu. Di lemari sana!”
…di lain waktu, “Cari Nashaihul Ibad di tumpukan kitab di situ!” atau “Cari karya Ali Syariati yang bergambar wajahnya di rak buku sebelah sana!”
juga, “Ambilkan Ihya’ Ulumiddin jilid 3.” tanpa menyebutkan lokasinya. Perintah ini seingat saya saat bapak menerjemahkan syair-syair di kitab karya Imam Al-Ghazali yang kemudian diterbitkan Pustaka Progresif Surabaya, 1993, dengan judul “Gema Ruhani Imam Ghazali: Syair-Syair Koleksi Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin”. Usia saya waktu itu 8 tahunan, sekira 1992.
Saya baru sadar efektifitas metode ini ketika mendengar dari Cak Syaifullah Ibnu Nawawi Pimred Majalah AULA NU, beberapa tahun silam, saat membincang cara KH. Malthuf Siroj, PP. Nurul Jadid Probolinggo, tatkala mengkader Gus Muhammad al-Fayyadl kecil dalam bidang pengenalan literasi dasar. Ada kesamaan cara beliau mengenalkan anak dengan literatur dengan metode bapak saya: anak disuruh mencari buku di rak atau di tumpukan.
Benarkah informasi cara Kiai Malthuf ini memperkenalkan buku dan kitab kepada anak-anaknya dengan pola begitu? Benar, saya mengkonfirmasinya secara langsung kepada Kiai Malthuf saat mengisi acara Nuzulul Qur’an dan Wisuda Tahfidz di PP. Jalaluddin ar-Rumi Jatisari Jenggawah Jember, 18 April 2022 silam, yang diasuh oleh beliau dan menantunya, Gus Muhammad Al-Faiz.
Pola-pola penguatan literasi bagi anak memang banyak. Apalagi teori Barat, berjibun. Tapi pada pola penerapannya seringkali kurang cocok. Perlu penyesuaian sedemikian rupa agar pengenalan buku kepada anak bisa berjalan dengan baik. Anak mencintai ilmu, gemar membaca, tanpa harus dipaksa. Membaca bukan saja dengan melibatkan pikiran melainkan dengan hati pula.
****
Serial tulisan berjudul Kurikulum ala Bapak yang selama ini saya tulis sambil cangkrukan ini tidak hendak memuji bapak. Hanya sebatas mengabadikan kenangan atas beliau, dan meniru dengan sederhana apa yang telah dimulai oleh Syekh Sa’īd Ramadlān al-Būthy melalui kenangan atas ayahnya, Syekh Mullā Ramadlān al-Būthy, melalui “Hadza Wālidīy”, atau Buya Hamka melalui “Ayahku”, dan Irfan Hamka melalui “Ayah”. Juga, Mendikbud RI (1978-1983) Daoed Joesoef melalui memoar “Emak”, Gus Dur dan Gus Sholah yang mengabadikan citra ayah dan ibunya melalui “KH. A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Puteranya”, juga “Ibuku Inspirasiku: Ny. Hj. Sholihah Wahid Hasyim”.
Dan, saya berharap kumpulan tulisan ringan ini bisa dibukukan.
(Foto: salah satu karya bapak. Saya comot gambarnya di salah satu akun jualan daring)