HAJI PERPISAHAN
Oleh: Prof. Dr. H. Aan Jaelani, Rektor UIN SSC (Siber Syekh Nurjati Cirebon)
Nabi Muhammad Memimpin Haji: Miqat, Thawaf, Shalat Sunnah di Maqam Ibrahim, dan Sai
Bulan Syawal berlalu. Pada tahun ke sebelas diumumkan di seluruh Madinah bahwa Nabi sendiri yang akan memimpin jama’ah haji. Berita ini disebarkan ke berbagai suku di padang pasir, dan orang-orang berbondong-bondong ke oasis itu dari segala penjuru. Dalam setiap langkahnya mereka bergembira mendapat kesempatan berhaji bersama Nabi. Ibadah haji kali ini berbeda dengan yang dilakukan beratus-ratus tahun silam: seluruh jama’ah akan menyembah hanya pada satu Tuhan, dan tidak ada lagi para penyembah berhala yang akan mencemari Rumah Suci dengan mengadakan ritus-ritus kemusyrikan.
Lima hari sebelum akhir bulan, Nabi keluar dari Madinah memimpin 30.000 lelaki dan perempuan. Para isteri turut serta, masing-masing di dalam hawdahnya, ditemani oleh Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Utsman bin ‘Affan. Abu Bakar ditemani istrinya, Asma’. Di salah satu tempat pemberhentian, isterinya melahirkan seorang anak yang diberi nama Muhammad.
Abu Bakar hendak mengirimnya pulang ke Madinah, tapi Nabi memberi tahu Abu Bakar agar isterinya disuruh melakukan mandi hadats besar, kemudian bersuci untuk melakukan ibadah haji, dan pergi bersama mereka seperti yang telah direncanakan.
Saat matahari terbenam pada hari kesepuluh sejak meninggalkan Madinah, Nabi sampai di jalan yang beliau lintasi saat memasuki Mekkah pada Hari Kemenangan. Di sanalah beliau bermalam, dan paginya beliau menuruni lembah.
Ketika sampai di dekat Ka’bah, beliau mengangkat tangannya, berdo’a hingga tali pelana untanya jatuh, yang kemudian beliau ambil kembali dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap menengadah dan berdo’a, “Ya Allah, tambahkanlah pada Rumah Suci-Mu ini kemuliaan, keagungan, kemakmuran, dan kehormatan serta ketaatan bagi manusia !”.
Beliau memasuki masjid dan bertawaf di Ka’bah tujuh kali, lalu shalat di Maqam Ibrahim. Kemudian beliau pergi ke Shafa, berlari-lari kecil tujuh kali antara Shafa dan Marwah. Orang-orang yang bersamanya merekam baik-baik dalam ingatan mereka pelbagai bacaan pujian dan doa yang beliau lantunkan di setiap tempat.
Hari Arafah: Napak Tilas Nabi Ibrahim dalam Ibadah Haji
Kembali ke masjid, beliau (Nabi) kini memasuki Ka’bah bersama penjaganya, ‘Utsman dari ‘Abd al-Dar, juga disertai Bilal dan Usamah. Namun, sore harinya, pada saat menemui ‘Aisyah di tendanya, beliau tampak bersedih dan ‘Aisyah menanyakannya. “Aku telah melakukan sesuatu hari ini,” kata beliau, “yang tidak akan kau lakukan. Aku memasuki rumah suci, dan mungkin ummatku tidak akan memasukinya– beliau maksudkan pada tahun-tahun mendatang. Kita hanya diperintahkan untuk mengitarinya, tidak diperintahkan untuk memasukinya”.
Nabi menolak setiap permintaan untuk mampir di rumah manapun di Mekkah, kecuali di rumah Ummu Hani. Pada hari kedelapan bulan baru itu, beliau pergi ke lembah Mina, diikuti oleh para jama’ah. Setelah bermalam di sana, besoknya beliau berangkat ke ‘Arafah’: sebuah lembah luas, tiga puluh mil di sebelah timur Mekkah, di luar perbatasan Tanah Suci.
‘Arafah terletak di jalan menuju Tha’if dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh perbukitan Tha’if. Namun, terpisah dari tempat itu — sekitarnya di kelilingi lembah — ada sebuah bukit yang juga diberi nama ‘Arafah atau Jabal Rahmah (bukti sejarah pertemuan dan cinta kasih Nabi Adam dan Siti Hawa–pen). ‘Arafah adalah bagian utama dari lokasi ibadah haji, dan hari itu Nabi berpidato di bukit tersebut.
Beberapa penduduk Mekkah tampak heran melihat Nabi pergi sejauh itu. Sementara jama’ah lainnya terus ke ‘Arafah, orang-orang Quraisy terbiasa tetap di dalam Tanah Suci, mereka berkata, “Kami adalah umat Tuhan”. Namun, beliau menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim menjadikan hari ‘Arafah sebagai bagian terpenting dari ibadah haji, dan Quraisy telah mengabaikan pelaksanaannya. Nabi menegaskan pula bahwa hari ‘Arafah adalah ritus haji masa dahulu, dan kata-kata “napak tilas Nabi Ibrahim” seringkali beliau ucapkan.
Untuk mengingatkan seluruh suku-suku itu bahwa mulai saat ini semua pertumpahan darah di seluruh komunitas Islam telah berakhir serta hidup dan harta setiap orang itu suci, beliau menunjuk Rabi’ah — saudara Shafwan, yang memiliki suara lantang — untuk mengumumkan: “Rasulullah saw. berkata, “Tahukah kalian, bulan apa sekarang ?”. Mereka terdiam dan ia menjawab, “Bulan Suci”.
Lalu beliau bertanya, “Tahukah kalian, tanah apakah ini ?”. Kembali mereka terdiam dan ia menjawab, “Tanah Suci”. Lalu beliau berkata, Tahukah kalian, hari apakah ini ?”. kembali ia yang menjawab, “Hari haji besar.” Lalu, ia mengumumkan sesuai dengan instruksi Nabi, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci satu sama lain, hingga kalian menemui Tuhanmu, sebagaimana sucinya hari ini, tanah ini, dan bulan ini.”
Wukuf di Arafah (Khutbah Nabi), Mabit di Muzdzalifah (Mengumpulkan Batu Kerikil), dan Melempar Jumrah di Mina
Ketika matahari terbenam, Nabi berpidato yang dimulai — sesudah memuji Allah — dengan kata-kata, “Hai manusia ! Simaklah baik-baik apa yang hendak kukutakan, karena aku tidak tahu apakah aku dapat bertemu lagi dengan kalian sesudah tahun ini.” Kemudian beliau menasihati mereka agar memperlakukan satu sama lain dengan baik, serta mengingatkan mereka apa yang diperintahkan dan dilarang.
Akhirnya, beliau berkata, “Aku tinggalkan untuk kalian dua petunjuk yang jelas. Jika kalian berpegang teguh padanya, maka akan terhindar dari semua kesalahan. keduanya adalah Kitab Allah dan sunnah-ku. Hai ummatku, dengarkanlah kata-kataku dan pahamilah.” Beliau lalu membacakan sebuah ayat yang baru saja diterima. Ayat itu menyempurnakan Al-Qur’an, karena merupakan ayat yang turun terakhir:
“Pada hari ini, kaum kafir telah berputus asa untuk mengalahkan agamamu, maka janganlah kalian takut pada mereka, melainkan takutlah kepada-Ku !. Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu serta telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agamamu (Q.S. 5:3).”
Beliau mengakhiri pidato singkatnya dengan sebuah pertanyaan penting, “Hai manusia, bukankah risalah Tuhanku telah kusampaikan kepada kalian ?” Jawaban serentak terdengar dari ribuan yang hadir, “Ya Allah, ya !” . Kata-kata Allahumma na’am bergemuruh meliputi lembah. Nabi mengangkat telunjuknya dan berkata, “Ya Allah, saksikanlah !”.
Kemudian, mereka mendirikan shalat. Sisa hari ‘Arafah diisi dengan beri’tikaf. Namun, begitu matahari terbit, Nabi menaiki untanya dan menyuruh Usamah membonceng di belakangnya. Beliau menuruni bukit dan melintasi lembah menuju Mekkah, diikuti oleh para jama’ah haji.
Sudah menjadi tradisi untuk memacu kendaraan dengan cepat pada bagian ini, namun pada perbatasan pertama beliau berteriak, “Pelan-pelanlah, pelan-pelanlah ! Dengan ketenangan jiwa ! Biarkanlah yang terkuat di antara kalian melindungi yang lemah !”.
Mereka bermalam di Mudzdzalifah, yang berada di kawasan Tanah Suci. Di sana mereka mengumpulkan batu-batu kerikil untuk melempar setan, yang disimbolkan dengan tiga pilar di ‘Aqabah, di lembah Mina.
Siti Sawdah meminta izin kepada Nabi untuk meninggalkan Mudzdzalifah sebentar. Mengingat tubuhnya yang besar dan lebih gemuk dari rata-rata wanita lainnya, ia berkeringat banyak dan merasa kelelahan selama perjalanan, dan ia cemas untuk melaksanakan ritual melempar jumrah sebelum gelombang jama’ah lain tiba. Maka, beliau mengirimnya ke barisan terdepan, ditemani oleh Umm Sulaym, dikawal oleh Abdullah, salah seorang putra ‘Abbas.
Bermalam di Muzdzalifah dan Mina: Jamarat, Qurban, Tahallul
Setelah melempar jumrah dan menyembelih hewan-hewan kurban, Nabi menyuruh seseorang untuk mencukur rambutnya. Para jama’ah mengerumuni beliau, berharap mendapatkan beberapa helai rambutnya. Abu Bakar kemudian menuturkan perbedaan antara Khalid saat di Uhud dan Parit dengan Khalid yang kini berkata, “Hai Rasulullah ! Rambut di ubun-ubunmu, jangan kau berikan kepada orang lain, selain kepadaku, ayah dan ibuku menjadi tebusannya !”. Ketika Nabi memberikan rambut itu kepadanya, ia lekatkan dengan takdzim ke mata dan bibirnya.
Nabi kini mengajak para jama’ah berkunjung ke ka’bah dan kembali bermalam di Mina hingga dua malam berikutnya. Beliau sendiri menunggu hingga sore hari. Kemudian, beliau pergi ke Mekkah ditemani semua isterinya, kecuali Siti ‘Aisyah, yang sedang tidak suci untuk beribadah. Beberapa hari berikutnya, beliau segera mengirimnya keluar dari Tanah Suci, dikawal oleh saudaranya, ‘Abdurrahman. Di sana, Siti ‘Aisyah bersuci dan pergi ke Mekkah, lalu bertawaf di Ka’bah.
Sebuah Pilihan: Kembali ke Madinah, Kewafatan Nabi, dan Pengganti Imamah Shalat
Nabi Muhammad saw. tak henti-hentinya berbicara tentang surga. Ketika menceritakannya, seolah-olah beliau melihat apa yang digambarkan tersebut. Kesan ini tampak diperkuat dalam berbagai bentuk, seperti suatu ketika beliau mengulurkan tangannya seolah akan mengambil sesuatu, kemudian menariknya kembali. Beliau tidak berkata apa-apa, tapi orang yang bersamanya mengamati dan menanyakan tindakannya itu.
“Aku melihat surga, “kata beliau, “dan aku menjangkau setangkai anggurnya. Jika aku mengambilnya, kalian baru dapat menghabiskannya selama usia bumi ini.” Mereka menjadi terbiasa berpikir seolah-olah Nabi sudah berada di alam akhirat. Barangkali itulah sebabnya jika beliau berbicara tentang kematiannya, mereka tidak terpengaruh.
Waktu fajar atau mungkin keesokan harinya, Nabi merasakan sakit kepala yang tidak pernah dialami sebelumnya, tetapi beliau tetap pergi ke masjid. Seusai mengimami shalat, beliau naik ke mimbar dan mendo’akan keselamatan bagi para syuhada Perang Uhud, seolah-olah beliau tengah melakukannya untuk yang terakhir kalinya.
Lalu beliau berkata, “Ada seseorang di antara hamba Allah yang diberi pilihan antara dunia ini atau pertemuan dengan-Nya, dan hamba tersebut memilih berjumpa dengan Tuhannya.” Saat beliau mengatakan itu, Abu Bakar menangis, karena ia tahu Nabi sedang berbicara tentang dirinya sendiri dan pilihan yang dimaksud adalah kematian. Nabi tahu, Abu Bakar memahaminya dan menyuruhnya untuk tidak menangis.
Dari masjid, beliau kembali ke rumah Siti Maimunah, yang menjadi gilirannya untuk dikunjungi. Berupaya untuk berpidato bagi para jama’ah, ternyata menambah rasa sakitnya. Setelah satu-dua jam, beliau berharap Siti Aisyah tahu bahwa dirinya sakit, maka beliau pergi sejenak mengunjunginya.
Siti Aisyah juga terserang sakit kepala. Ia dapat melihat bahwa Nabi sedang sakit dan ia disadarkan oleh nada suaranya. Namun, ia tetap berusaha membuat riang dan berhasil membuat Nabi tersenyum sejenak. Lalu beliau mengulangi, “Bukan, tapi kepalaku,” dan beliau kembali ke rumah Siti Maimunah.
Beliau berusaha melakukan apa yang biasa dilakukan sewaktu sehat, dan tetap mengimami shalat di masjid seperti biasanya. Namun, penyakitnya kian parah, sampai-sampai beliau hanya mampu shalat dalam posisi duduk, dan memerintahkan para jama’ah agar juga shalat sambil duduk.
Pada adzan berikutnya, Nabi merasa tak mampu lagi mengimami sekalipun dengan posisi duduk. Maka, beliau berkata kepada istrinya, “Suruhlah Abu Bakar mengimami shalat.” Meskipun Siti Aisyah mengusulkan agar bukan ayahnya — Abu Bakar yang mengimami shalat, dengan mengusulkan Umar, namun Nabi tetap memerintahkan kepada isterinya agar Abu Bakar yang mengimami shalat.
Nabi banyak berbaring dipangkuan Siti Aisyah. Namun, ketika Siti Fathimah datang, Aisyah mengundurkan diri sejenak untuk mempersilahkan ayah dan putrinya itu bersama-sama. Pada kunjungan kali ini, Aisyah melihat Nabi membisikkan sesuatu kepada Fathimah hingga putrinya itu menangis. Di sela-sela tangisnya, beliau membisikkan rahasia lainnya dan fathimah tersenyum.
Ketika Fathimah keluar, Aisyah menanyakan apa yang dikatakan Nabi kepadanya, dan dijawab bahwa itu rahasia yang tidak boleh diungkapkan kepada orang lain. Namun, di kemudian hari, ia menuturkan kepada Aisyah, “Nabi mengatakan kepadaku, beliau akan wafat dalam sakitnya ini, sehingga aku menangis. Lalu beliau mengatakan, akulah orang pertama dari keluarganya yang akan menyusul beliau, karena itu aku tertawa.”
Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.
Kebahagiaan dan Wajah Nabi Rupawan: Menjadi Ma’mum Shalat dan Ketaatan Para Sahabat
Esoknya adalah hari Senin 12 Rabiulawwal, tahun ke-8 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632 Masehi. Paginya, demam panas Nabi menurun. Mendengar adzan, beliau memutuskan untuk pergi ke masjid sekalipun kondisinya masih terlalu lemah. Ketika beliau masuk, shalat telah dimulai. Para jama’ah hampir saja bubar dari shalatnya karena begitu gembira melihatnya. Namun, beliau memberi isyarat agar shalat mereka diteruskan.
Sejenak beliau berdiri menatap mereka dan wajahnya berseri-seri bahagia karena ketaatan mereka. Lalu dengan wajah yang berseri-seri, beliau maju ke depan dibantu oleh Fadhl dan Tsawban, bekas budaknya. “Aku belum pernah melihat wajah Rasulullah setampan saat itu, ” kata Anas.
Abu Bakar sadar apa yang terjadi di belakangnya. Ia tahu hanya ada satu penyebab, dan lelaki yang kini mendekatinya pasti Nabi. Maka, tanpa menoleh, ia mundur ke belakang. Tetapi, Nabi mendorong kembali pundaknya agar meneruskan shalat jama’ah. “Imamilah shalat jama’ahmu,” katanya. Nabi sendiri shalat di sebelah kanan Abu Bakar dengan posisi duduk.
Nabi kembali ke rumah Siti ‘Aisyah dipapah oleh Fadhl dan Tsauban. ‘Ali dan ‘Abbas mengikuti mereka ke sana, namun tidak tinggal lama. Nabi kini kembali ke tempat tidurnya dan berbaring di pangkuan Siti Aisyah. Sepertinya, segenap kekuatannya telah melemah.
Saat saudaranya, Abdurrahman, masuk ke dalam kamar sambil membawa siwak, ‘Aisyah melihat Nabi menatap benda itu karena menginginkannya. Maka, ia ambil siwak itu dari saudaranya, lalu dibersihkan dan diberika kepada Nabi. Beliau pun menyikat giginya dengan cekatan sekalipun kondisinya masih lemah.
Sakaratul Maut, Akhirat, dan Pilihan Surga
Tak lama sesudah itu, kesadaran Nabi Muhammad hilang. Siti ‘Aisyah mengira beliau tengah menghadapi sakaratul maut. Akan tetapi, sejam kemudian, beliau membuka matanya. ‘Aisyah ingat bahwa beliau pernah berkata, “Tidak ada seorang Nabi pun yang dicabut nyawanya sebelum ia ditunjukkan tempatnya di surga dan diberikan pilihan: ingin hidup atau mati.”
‘Aisyah pun mengerti bahwa itulah yang tengah terjadi. Nabi telah kembali dengan memiliki gambaran tentang alam akhirat. “Kali ini beliau tidak akan memilih kita !” katanya kepada dirinya sendiri.
Lantas ia mendengar Nabi bergumam, “Dengan keutamaan penduduk surga, mereka itu bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang paling baik (Q.S. 4: 69).
Ia mendengar Nabi kembali bergumam, “Ya Allah, bersama teman yang paling baik.” Dan, inilah kalimat terakhir yang ia dengar dari ucapan Nabi. Kepalanya berangsur-angsur bertambah berat di pangkuan Siti ‘Aisyah, hingga para isterinya yang lain menangis.
Siti ‘Aisyah membaringkan kepala Nabi di atas bantal dan bergabung dengan mereka, menangis bersama-sama. Nabi Muhammad saw telah wafat.
Wa Allahu A’lam bi al-shawab.
Referensi:
Lings, Martin, 1983. Muhammad: His Life Based on the Earliest Source. Cambridge: The Islamic Text Society. (Versi Indonesia: Lings, Martin. 2012. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Penerjemah: Qamaruddin SF. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.)
……………………
“Manusia yang paling mulia, baginda Nabi Muhammad saw. telah kembali kepada Sang Pencipta, Allah swt. Semoga kita memperoleh syafa’at dari beliau dan berkumpul bersama di akhirat kelak.” Amiiin
Tenda Mina, Senin 17 Juni 2024
Ya Allah Ya Rabb Mudah mudahan Saya beserta keluarga Bisa Menjadi Tamu Mu di Tanah suci Mekkah aammiin yaa rabbal alamiinnn,,, 🤲🤲🤲
Yang Terhormat Prof. Dr. H. Aan Jaelani, (Rektor UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)
Saya sangat terkesan dengan tulisan Bapak mengenai Haji Perpisahan Nabi Muhammad. Narasi yang Bapak sampaikan memberikan gambaran yang sangat mendetail dan emosional tentang peristiwa penting tersebut. Penggambaran langkah-langkah ibadah haji, mulai dari miqat hingga sa’i, serta khutbah Nabi di Arafah yang penuh makna, sangat menginspirasi dan memperkaya pemahaman kita tentang keteladanan beliau.
Tulisan ini juga dengan baik menggambarkan momen-momen terakhir kehidupan Nabi Muhammad, membawa kita merasakan kesedihan yang mendalam yang dialami oleh para sahabat dan keluarga beliau. Deskripsi tentang pesan-pesan terakhir Nabi yang menekankan pada persatuan, penghormatan terhadap kehidupan, dan pentingnya berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, sangat relevan dan memberikan panduan berharga bagi umat Islam.
Bapak mampu menyampaikan sejarah dengan cara yang tidak hanya informatif tetapi juga menyentuh hati. Narasi ini berhasil menghubungkan pembaca dengan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam, memberikan inspirasi dan pengingat akan nilai-nilai spiritual.
Terimaksih,
Muhammad Sholeh 2281131605 – PJJ PAI / A33
Dalam tawaf Nabi mengajarkan dengan peristiwa yang terjadi pada beliau ketika tali pelana jatuh, tangan kanan yang mengambil dan tangan kanan tetap menengadah sambil berdo’a. Itu menunjukkan bahwa senantiasa dalam berdo’a selalu menengadahkan tangan lebih-lebih berada disamping ka’bah
Sungguh luar biasa bapak.. sebuah tanda peringatan, saya membaca dengan air mata bercucuran.. betapa mulia nya bulan ini. Dan semoga kita semua mendapatkan syafaat Baginda Rasulullah kelak di hari akhir aamiin..
Peristiwa Haji Wada’ yang pernah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW bersama umat Islam menjadi pijakan penting untuk Syari’at ibadah Haji yang sudah termaktub dalam rukun Islam.
Secara tersirat Muslim-Muslimah diajarkan untuk segera melaksanakan ibadah haji bila waktu dan kesempatan sudah ada, ibadah ini adalah ibadah kompleks yang mencakup ibadah qouliyah dan ibadah fi’liyah. Pada tulisan diatas disampaikan bahwa Asma’ istri dari Abu Bakar diperintahkan untuk tetap berhaji walaupun ia baru saja melahirkan.
Akhir dari sebuah Praktek Keislaman yakni ketaatan kepada Allah SWT, dan keshalehan sosial yang terbentuk dari pengalaman ibadah dari usia baligh sampai usia dewasa akhir, salah satu bukti keislaman kita tentunya ditunjukkan dengan pengamalan ibadah.
Artikel yang ditulis oleh Penyusun yakni Bapak Rektor UIN SSC sangatlah penting dan menarik guna mengingatkan kita ikhwal Mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW dan mengamalkan ajaran yang telah beliau perjuangkan selama kurang lebih 23 tahun.
Haji Wada memiliki makna sejarah yang sangat penting bagi umat Islam. Peristiwa ini menandai berakhirnya masa kenabian dan dimulainya masa kekhalifahan. Haji Wada juga menjadi bukti nyata tentang bagaimana Rasulullah SAW menyampaikan pesan-pesan penting kepada umatnya.
“Haji Perpisahan” adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang melakukan ibadah haji untuk kali terakhir sebelum meninggal dunia. Ini sering kali dianggap sebagai momen yang istimewa dan emosional dalam kehidupan seseorang, di mana mereka menyelesaikan kewajiban agama mereka sebelum meninggalkan dunia ini. Hal ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua akan kehidupan akhirat dan pentingnya mempersiapkan diri secara spiritual sepanjang hidup.
Melontar Jumrah Aqabah dengan tujuh batu kerikil sambil bertakbir setiap kali melempar.
Alhamdulillah bertambah wawasan kami Bpk Prof .Dr. H. Aan Jaelani 🙏
Semoga di mudahkan urusan kami, sehingga kami mampu untuk berhaji, datang ziaroh kemakom Rasulullah.
Menurut saya artikel ini memberikan gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang Haji Wada’ dan peristiwa-peristiwa penting menjelang wafatnya Nabi Muhammad saw. Setiap bagian dari perjalanan ini tidak hanya menggambarkan peristiwa sejarah, tetapi juga mengandung banyak pelajaran moral dan spiritual yang relevan bagi kehidupan umat Islam hingga saat ini. Melalui artikel ini, kita diajak untuk merenungkan kembali ajaran-ajaran Nabi dan bagaimana kita dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari demi mencapai kebaikan di dunia dan akhirat. Semoga artikel ini menjadi pengingat dan inspirasi bagi kita semua untuk selalu mengikuti jejak dan ajaran Nabi Muhammad saw., serta menjalankan ibadah dengan penuh kesungguhan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Dalam tulisan ini dapat dipahami bahwa pelaksanaan ibadah haji adalah ibadah mahdah yang tata cara pelaksanaannya harus mengikuti seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Sebagaimana beliau sampaikan dalam sabdanya: خذوا عني مناسككم. Artinya ambilah dariku tata cara ibadah haji kalian. Mulai mengambil miqat hingga akhir ibadah haji telah beliau contohkan dengan baik dan diikuti oleh para sahabat.
Di sisi lain juga diceritakan tentang sejarah kehidupan beliau sebelum wafatnya yang penuh dengan hikmah dan pelajaran. Semoga kita bisa mengikuti Sunnah-sunnah beliau dan dimudahkan untuk melaksanakan ibadah haji. Amiii
“Manusia yang paling mulia, baginda Nabi Muhammad saw. telah kembali kepada Sang Pencipta, Allah swt. Semoga kita memperoleh syafa’at dari beliau dan berkumpul bersama di akhirat kelak.” Amiiin…
Membaca tulisan bapak Rektor, serasa kita menjadi pelaku sejarah yg disampaikan. Walaupun itu hanya sejarah di waktu yang singkat yaitu sejak haji wada’ sampai dengan detik-detik wafatnya beliau Nabi Muhammad SAW, tetapi kita mendapat gambaran yang menyeluruh bagaimana karakter dari beliau Nabi. Setidak-tidaknya ada beberapa hikmah yg bisa saya ambil dr ini:
1. Rosulullah adalah manusia yang berhasil dalam peran beliau sebagai pemimpin umat, dan pemimpin keluarga. Hal ini ditandai dengan bagaimana beliau begitu dicintai dan disayangi baik ditengah keluarga dan ditengah para sahabat. Sampai-sampai semuanya tidak rela untuk ditinggalkan oleh beliau.
2. Rosulullah menunjukkan kepada sahabat dan kepada kita, bahwa bagaimanapun beliau adalah seorang manusia / basyar yang sangat manusiawi dan terkena apa yg dialami oleh manusia lainnya yaitu sakit dan meninggal dunia. Ini bertujuan bahwa nabi bukanlah sosok yang sangat sulit atau tidak mungkin ditiru, tapi sangat bisa ditiru sebab sama dengan kita.
Subhanallah…terimakasih banyak Bapak Prof .Dr. H. Aan Jaelani,dengan kutipan bapak bisa menambah referensi saya,namun saya mohon maaf pak saya tidak membacanya samapai akhir karena setiap saya membaca kisah beliau apalagi diakhir-akhir hidupnya,saya merasa sedih pak,mojon maaf pak saya tidak bisa membaca sampai tuntas 🙏🙏
اللهم ارزقنا زيارة المكة والمدينة…
Alhamdulillah bertambah pengetahuan serta wawasan saya karena tulisan bapak sangat berkesan
Semoga saya dan keluarga kecil saya
Bisa menjadi tamu Allah dan berhaji sekeluarga 😇 amin ya rabbal alamin
Dengan adanya haji perpisahan dapat memberi beberapa manfaat bagi umat muslim yaitu penghapus dosa, meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt, mempererat pwrsaudaraan, meningkatkan kesehatan jiwa dan mengingat perjuangan Rasulullah saw.
artikel ini tidak hanya menyajikan informasi sejarah tetapi juga berhasil menyentuh hati pembacanya termasuk saya, karena menghubungkan pembacanya dengan peristiwa penting dalam sejarah Islam dan mengingatkan akan pentingnya ketaatan dan kesalehan dalam menjalankan ajaran agama.
Haji Perpisahan (Haji Wada) Nabi Muhammad SAW sangat menarik dan penuh makna. Kisah ini menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad SAW memiliki pandangan yang jelas tentang alam akhirat, kesadaran mendalam tentang kematian, serta pemahaman yang tinggi tentang keutamaan penduduk surga. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi dengan visi yang luas dan pemahaman yang mendalam tentang konsep kehidupan dan kematian.
Cerita sejarah yang sangat menarik dan menyentuh hati untuk dibaca….cerita yang dikemas tidak hanya menceritakan sejarah singkat namun membawa pembaca seolah2 bisa merasakan apa yg dirasakan perjuangan nabi dikala itu….dan sungguh luar biasa ketaaatan dan keshalehan nabi Muhammad,semoga kita bisa meneladaninya