OpiniResensi

Ilmu dan Nasab

Advertisements

Oleh: KH. Bahrudin Achmad, Pengasuh Jamaah “Kalbun Salim”

Karena saya orang berilmu (begitu menurut pengakuan Mang Duloh, anggap saja ini sekedar nyenangin hati Mang Duloh yg sudah beranggapan seperti itu….aslinya? gak sama sekali), maka saya akan coba berbicara tentang sesuatu itu berdasarkan ilmu, sanad, dan sumber rujukan. Maka kali ini saya akan mencoba dengan sabar nyetatus panjang x lebar. Semoga teman-teman bisa membacanya dengan seksama dan penuh perasaan.

Dalam kitab al-Jaami’, al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dari asy-Sya’bi, bahwa Ibnu ‘Abbas pernah menuntun hewan tunggangan yang sedang dikendarai oleh Zaid bin Tsabit, sehingga Zaid bertanya kepadanya, “Apakah (layak) engkau memegangi binatang tungganganku sementara engkau adalah putra paman Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Demikianlah kami memperlakukan para ulama’.”

Al-Khathib juga meriwayatkan cerita lain yang bersumber dari al-Hasan (al-Bashry), bahwa Ibnu ‘Abbas terlihat pernah memegangi binatang tunggangan Ubayy bin Ka’ab, sehingga ada yang bertanya kepadanya, “Anda adalah putra paman Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, mengapa Anda mau memegangi tunggangan salah seorang pria dari kalangan Anshar?” Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya orang yang sangat luas ilmunya itu sangat layak untuk diagungkan dan dimuliakan.”

Disebutkan pula kisah ‘Ali bin al-Husain ‘alaihimas salam yang datang menemui Zaid bin Aslam, lalu beliau duduk dan belajar darinya, sehingga dikatakan kepadanya, “Anda ini sayyid bagi semua orang dan yang paling utama di kalangan mereka, mengapa Anda pergi kepada budak ini dan duduk belajar kepadanya?” Maka beliau pun menjawab, “Ilmu itu diikuti dimana saja ia berada, pada siapa saja ia berada.” Maksudnya, ilmu adalah sesuatu yang terhilang dari seorang mukmin sehingga ia layak memungutnya dimana pun ia mendapatinya.

‘Ali bin Abi Thalib karrama-llahu wajhahu berkata, “Orang mulia (syarif) sejati adalah orang yang dimuliakan oleh ilmunya; kepemimpinan sejati adalah hak bagi orang yang bertaqwa kepada Rabb-nya; orang mulia (karim) sejati adalah orang yang memuliakan wajahnya dari (tersentuh) api neraka.”

Sehingga tepat sekali apa yang dikatakan oleh Imru’ul Qays (penyair jahiliyah), “Meski asal keturunan kami mulia, tidak akan pernah sehari pun kami bersandar kepadanya; kami memang akan tetap menyandarkan nasab kami sebagaimana para pendahulu kami menyandarkan nasabnya; namun kami juga akan tetap beramal sebagaimana mereka beramal.”

Muhammad an-Nafs az-Zakiyyah bin ‘Abdillah bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sibthi radhiya-llahu ‘anhum berkata, “Aku mencari ilmu di perkampungan kaum Anshar, sampai-sampai aku pernah tertidur berbantal tangga di depan pintu rumah salah seorang dari mereka. Seseorang kemudian membangunkan aku dan berkata, ‘Tuanmu sudah keluar untuk menunaikan shalat’. Tampaknya dia mengira bahwa aku adalah seorang budak dari pemilik rumah itu.”

Tidak membanggakan asal-usul keturunan dan berlindung kepada keagungan nenek-moyang dengan tanpa berusaha mencari keutamaan-keutamaan dalam agama.

Allah ta’ala berfirman dalam QS al-Hujurat: 13. “…sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa…”

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiya-llahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, ‘Siapakah manusia yang paling mulia?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling mulia diantara mereka di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.’ Para sahabat berkata, ‘Bukan itu yang kami maksud.’ Beliau bersabda lagi, ‘Kalau begitu, manusia paling mulia adalah Yusuf putra Nabiyullah (Ya’qub) putra Nabiyullah (Ishaq) putra Khalilullah (Ibrahim).’ Para sahabat berkata, ‘Bukan itu maksud kami.’ Beliau bersabda lagi, ‘Apakah kalian bertanya tentang leluhur bangsa Arab (ma’aadin al-‘arab)?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Orang-orang terbaik di kalangan mereka adalah orang-orang terbaik dalam Islam, apabila mereka memahami agamanya (faqiih).”

Al-‘Askari, al-Qudha’i dan lain-lain meriwayatkan dari al-A’masy: dari Abu Shalih: dari Abu Hurairah radhiya-llahu ‘anhu: dari Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang lambat amalnya, maka nasabnya tidak akan bisa menolongnya.” Hadits ini juga dimuat dalam Shahih Muslim dalam beberapa hadits.

Ada lagi sebuah hadits dari Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang mengisyaratkan untuk menerapkan sikap tawadhu’ dan menjauhkan segala bentuk kebanggaan, yakni sabda beliau, “Aku adalah putra seorang wanita yang biasa memakan dendeng.

Beliau SAW juga bersabda, “Aku ini hanyalah seorang hamba, yang makan seperti cara makan seorang hamba. Tenangkanlah dirimu (=jangan takut), karena aku ini bukanlah seorang raja. Aku ini hanyalah seorang hamba.”

Ad-Darimy dan lain-lain meriwayatkan dari ‘Iyadh bin Himar: dari Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ sehingga kalian tidak saling berbangga satu sama lain.”

Terdapat banyak hadits beliau yang menganjurkan kepada Ahli Bait-nya untuk takut kepada Allah, bertaqwa dan taat kepada-Nya. Beliau juga memperingatkan mereka bahwa tidak ada seorang pun yang lebih dekat kepada beliau di hari kiamat nanti selain dengan membawa ketaqwaan. Beliau pun mengingatkan mereka agar jangan lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat karena merasa aman dengan asal-usul nasabnya. Itu adalah tipuan yang melalaikan.

Sebagaimana terkandung dalam hadits riwayat Abu Hurairah radhiya-llahu ‘anhu, bahwa tatkala diturunkan ayat wa andzir ‘asyirataka al-aqrabiin (dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat), Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam memanggil kaumnya, dimulai panggilan secara umum dan kemudian beliau mengkhususkannya,

“Wahai Bani Ka’ab bin Lu’ayy, selamatkan diri kalian dari api neraka!
Wahai Bani Murrah bin Ka’ab, selamatkan diri kalian dari api neraka!
Wahai Bani ‘Abdu Symas, selamatkan diri kalian dan api neraka!
Wahai Bani ‘Abdul Muththalib, selamatkan diri kalian dari api neraka!
Wahai Bani ‘Abdu Manaf, selamatkan diri kalian dari api neraka!
Wahai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka!
Wahai Fathimah, selamatkan dirimu dari api neraka!

Sesungguhnya aku tidak punya apa-apa terhadap Allah yang bisa kuberikan untuk kalian, hanya saja kalian memiliki hubungan darah denganku, dan aku akan berusaha untuk terus menyambungnya.” –

Hadits ini diriwayatka oleh Muslim dalam Shahih-nya, dan juga oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, hanya saja dengan tanpa ada pengecualian di dalamnya.

Juga hadits dari Tsauban radhiya-llahu ‘anhu: Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Hasyim, jangan sampai orang-orang selain kalian datang di hari kiamat nanti dengan membawa akhirat yang mereka rangkum dalam dada mereka, sementara kalian datang kesana dengan membawa dunia yang kalian pikul diatas punggung kalian. Aku tidak bisa berbuat sesuatu apapun bagi kalian terhadap Allah.” – Hadits ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh dan Ibnu Hibban.

Kemudian hadits dari Mu’adz radhiya-llahu ‘anhu, bahwa tatkala Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam mengirimnya bertugas ke Yaman, beliau keluar mengantarkan keberangkatannya seraya memberikan pesan-pesan, kemudian beliau berbalik ke Madinah seraya bersabda, “Sesungguhnya Ahli Bait-ku tidak beranggapan bahwa mereka adalah orang yang paling utama bagiku. Masalahnya bukan disitu. Sesungguhnya para waliku diantara kalian adalah orang-orang yang bertaqwa, siapapun dia dan di manapun berada.” – Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Abu asy-Syaikh.

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan lafazh, “Sesungguhnya manusia yang paling utama bagiku adalah orang-orang yang bertaqwa, siapapun dia dan di manapun berada.”

Al-Fudhail bin Marzuq berkata, “Saya mendengar al-Hasan bin al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihim as-salam berkata kepada seseorang yang berlebihan mencintai Ahli Bait, ‘Celaka kamu ini! Cintailah kami hanya karena Allah. Jika kami menaati Allah maka cintailah kami, dan bila kami mendurhakai Allah maka bencilah kami.’ Orang itu menjawab, ‘Sesungguhnya kalian mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dan Ahli Bait beliau.’ Al-Hasan menukas, ‘Celaka kamu ini! Andai saja Allah menjadikan kekerabatan dengan Rasulullah shalla-llahu ‘alihi wa aalihi wasallam itu bisa bermanfaat dengan tanpa amal ketaatan kepada-Nya, niscaya kekerabatan itu akan berguna pula bagi orang yang lebih dekat hubungannya dengan beliau dibanding kami, yakni ayah dan ibu beliau. Sungguh aku khawatir jika orang yang bermaksiat diantara kami akan dilipatduakan adzabnya. Dan, demi Allah, sungguh akupun berharap agar orang yang berbuat baik diantara kami akan dilipatduakan pahalanya.” – Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Tha’i di penghujung hadits keempat dalam kitab Arba’in-nya.

Tepat sekali apa yang dikatakan oleh seseorang, “Sungguh manusia itu tidaklah bernilai kecuali dengan agamanya, maka jangan kau tinggalkan ketaqwaan dan hanya bersandar kepada nasab. Sungguh Islam telah memuliakan derajat Salman si orang Persia itu, sementara dia juga menjatuhkan si muyrik yang celaka Abu Lahab. Status sosial yang diwariskan turun-temurun itu nilai permatanya akan berharga bagi pemiliknya hanya sebagai upaya terakhir. Sebab, jika sebatang ranting tidak mengeluarkan buah, meski ia berpangkal pada cabang yang lebat buahnya, niscaya ia akan dijadikan sebagai kayu bakar.”

Abul Aswad ad-Du’ali radhiya-llahu ‘anhu berkata, “Ilmu adalah perhiasan dan kemuliaan bagi pemiliknya, maka carilah ia, niscaya engkau akan terbimbing kepada beraneka cabang ilmu dan adab. Tidak ada kebaikan pada seseorang yang mempunyai asal-usul (mulia) tetapi tidak mempunyai adab (=tidak berpendidikan).

Betapa banyak orang mulia yang berteman dengan orang bodoh dan rendah (sehingga dikenal sebagai bodoh dan rendah pula). Senantiasalah berpuasa sehingga engkau akan dikenal seperti itu ketika ada yang menyebut-sebutnya.

Dalam sebuah keluarga, bisa jadi leluhurnya adalah orang-orang terhormat, mereka dikenal sebagai para pemimpin, lalu (anak-anak) di belakang mereka hanyalah menjadi ‘ekor’. Orang rendahan dan berasal dari keturunan hina yang berpendidikan pun bisa memperoleh kemuliaan dan derajat luhur dengan adabnya. Di kemudian hari, ia menjadi seorang mulia, hebat, terkenal, berani membuang muka (karena tidak menyukai sesuatu) dan mempunyai barisan pengawal di sekelilingnya.

Ilmu adalah simpanan dan khazanah (perbendaharaan) yang tidak akan habis. Dialah sebaik-baik teman di saat tiada seorang pun menemani. Seringkali seseorang mengumpulkan harta tapi kemudian tidak bisa menikmatinya, meski hanya sedikit, dan berakhir sebagai orang yang dicampakkan oleh kehinaan dan perang. Orang yang berusaha membesarkan namanya selalu mengundang rasa iri dari orang lain, sementara ia sendiri tidak merasa aman jika nama baiknya dihapuskan dan bahkan dirusak. Wahai para pengumpul ilmu, itulah sebaik-baik simpanan. Dia tidak bisa disamai oleh permata maupun emas.”

Al-Khathib al-Baghdadi juga meriwayatkan sebuah qashidah dari Ahmad bin ‘Abdul Jalil, “Tidak mungkin seorang yang mulia itu sama dengan orang yang rendah. Sekali lagi, tidak. Orang yang cerdas pun tidak sama dengan orang dungu. Nilai seseorang itu ada pada apa yang paling baik yang bisa dikuasainya, (demikian) ketetapan dari Imam ‘Ali.”

Sumber kitab: Jawahirul ‘Uqdain fi Fadhli asy-Syarafain Syarafil ‘Ilmi al-Jaliy wan Nasab al-‘Aliy, Karya: Asy-Syarif al-Imam Nuruddin Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Ahmad bin Ali al-Hasani as-Samhudi (Merupakan murid dari Jalaluddin Al-Mahalli, Abu Zakariya al-Anshori, dll).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *