DosenKampusOpini

Teologi Pembebasan Cak Nur

Advertisements

Oleh: Dr. Zaprulkhan, Dosen UIN Bangka Belitung

Kalau kita menggunakan kerangka teori teologi pembebasan yang dikonstruksi oleh Asghar Ali Engineer, paling tidak ada tiga prinsip yang melandasi teori teologi pembebasannya yakni konsep tauhid yang membebaskan, keadilan dan gerakan praksis.

Dengan kerangka teoretik teologi pembebasan Engineer, saya menemukan bahwa wacana tauhid yang dikonstruksi oleh Cak Nur memenuhi tiga prinsip teologi pembebasan tersebut.

Pertama, konsep tauhid yang membebaskan

Cak Nur membingkai makna konsep tauhid bukan hanya secara teoretis, tapi juga secara praktis. Cak Nur mengeksplorasi spirit pembebasan tauhid pada tiga level. Pada level pertama, Cak Nur memaparkan spirit pembebasan tauhid terhadap kepercayaan politeisme, pembebasan dari segala macam bentuk ketuhanan, baik tuhan-tuhan secara imajinatif-konseptual maupun tuhan-tuhan palsu secara obejektif-faktual.

Pada level kedua, Cak Nur membahas semangat pembebasan tauhid dari tirani hawa nafsu atau kepentingan pribadi yang diberhalakan. Orang-orang yang terbebaskan secara personal dengan spirit tauhid, akan menjadi orang-orang yang terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan, sekaligus menjadi bersikap kritis-konstruktif terhadap segala kepalsuan, penyimpangan dari kebenaran dan keburukan atau kemungkaran yang terjadi di masyarakat. Mereka akan bersuara vokal dan melakukan kritik sosial terhadap segala bentuk penyimpangan di tengah-tengah masyarakat, sekali pun penyimpangan tersebut dilakukan oleh sang penguasa.

Spirit pembebasan tauhid pada level personal ini, bisa kita saksikan pada sosok Cak Nur sendiri. Cak Nur bukan hanya seorang intelektual yang selalu terbuka dengan beragam kebenaran dan kebaikan dari mana pun saja datangnya, tapi juga seorang cendekiwan yang amat kritis terhadap penguasa yang menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran. Sejak akhir tahun 1980-an dan memasuki awal hingga akhir tahun 1990-an, Cak Nur sangat kritis dengan kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Cak Nur sendiri tidak segan-segan melakukan kritik terhadap kebijakan presiden Soeharta yang dianggapnya tidak demokraris.

Satu contoh kasus misalnya, bagaimana Cak Nur menyurakan dengan lantang perlunya oposisi yang dilakukan oleh Partai PDI dan PPP kala itu. Walaupun saat itu, ada tiga partai, tapi partai Golkar-lah yang paling menentukan segala kebijakan, dan partai PDI dan PPP hanya bisa mengikuti saja semua kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah. Cak Nur dengan tegas misalnya menyatakan: “Secara formal, boleh diklaim bahwa semua proses pengambilan keputusan di negara kita selama Orde Baru adalah secara konstitusional. Tapi siapa yang tidak tahu bahwa keputusan akhir tetap di tangan Pak Harto.”

Dengan alasan inilah, Cak Nur mendorong adanya oposisi loyal dan harus ada alternatif presiden yang diusung oleh PPP dan PDI secara terbuka setiap lima tahun sekali. Dengan tegas juga misalnya Cak Nur menyatakan partai-partai yang berpolitik tanpa keberanian: “Berpolitik tapi tidak punya keberanian, bagaimana? Ismail Hasan Metareum atau Megawati, misalnya. Mereka harus berani bilang: pilih PDI atau PPP, saya presidennya. Ini program saya. Begitu, dong. Kalau takut, itu karena takut pada bayangan saja.”

Kalau dilihat dari perspektif hari ini, memang kritik Cak Nur itu tidak ada yang istimewa; tampak biasa saja. Karena saat ini, kita hidup di era kebebasan. Bahkan kebebasan yang kebablasan. Kebebasan yang tidak ada batasnya. Setiap orang dan setiap warga negara bebas melakukan kritik kepada penguasa, kepada seorang presiden sekali pun. Banyak sekali orang-orang yang mengkritik kebijakan presiden, bahkan tidak jarang mengkritik presidennya secara personal langsung. Apalagi partai-partai sudah banyak yang bersikap oposisi terhadap penguasa dan berada di luar lingkaran kekuasaan. Sehingga mereka bebas untuk selalu berbeda dan mengajukan kritik-kritik konstruktif terhadap penguasa yang sedang berkuasa saat ini.

Tapi di era Orde Baru, dimana kekuasaan Soeharto sedang berada di puncak kekuatannya, keberanian untuk melakukan kritik terhadap penguasa, kritik tentang harus hadirnya oposisi dan suksesi kepemimpinan nasional, merupakan sebuah kemewahan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Kita tahu, pemerintahan Orde Baru sangat otoriter. Siapapun yang berani menentang kebijakan penguasa yang dianggap keliru atau menyimpang, penguasa tidak segan-segan untuk menangkap, menyingkirkan, atau bahkan mengeksekusi para pelakunya.

Itulah alasannya mengapa setelah kritik-kritik Cak Nur tentang oposisi secara terbuka dimuat dalam Media Indonesia, penguasa langsung melarang Media Indonesia untuk publish. Sehingga selama sebulan setelah kritik terbuka Cak Nur dimuat di Media Indonesia, media massa ini “diistirahatkan” sementara. Sedangkan Cak Nur dengan kewibawaan intelektual dan kecendekiawanannya, aman-aman saja. Sebab cukup beresiko bagi penguasa jika Cak Nur diganggu. Cak Nur mempunyai pengaruh yang sangat besar dan luas di kalangan elit kaum terdidik, di kalangan kaum intelektual, cendekiawan, dan akademisi.

Pada level ketiga, Cak Nur mengelaborasi spirit pembebasan tauhid secara sosial dari kekuasaan tiranik. Bagi Cak Nur, spirit pembebasan tauhid bukan hanya bersifat individual, tapi juga sosial. “kesanggupan seorang pribadi”, tulis Cak Nur, “untuk melepaskan diri dari belenggu kekuatan tiranik dari luar adalah salah satu pangkal efek pembebasan sosial semangat tauhid. Bahkan diisyaratkan bahwa menentang, melawan dan akhirnya menghapuskan tirani adalah konsekuensi logis paham Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Jadi seorang muwahid tidak hanya mempunyai tanggung jawab pribadi, tapi juga memiliki tanggung jawab sosial untuk menebarkan kebajikan, mencegah kemungkaran di tengah-tengah masyarakat sekaligus melakukan kritik sosial dan menentang penguasa zalim. Karena menurut Cak Nur, efek pemebebasan tauhid secara individual akan membawa konsekuensi pembebasan secara sosial yang dilakukan oleh pribadi-pribadi yang sudah tercerahkan oleh konsep tauhid. Jadi konsep tauhid yang dikonstruksi oleh Cak Nur memenuhi syarat sebagai unsur pertama teologi pembebasan.

Kedua, tentang konsep keadilan

Ada isyarat yang sangat jelas dalam konsep tauhid yang dikonstruksi oleh Cak Nur tentang makna keadilan. Bagi Cak Nur salah satu implikasi langsung dari paham tauhid adalah pelaksanaan prinsip keadilan, persamaan, atau egalitarianisme. Mengenai prinsip keadilan bahkan Cak Nur, dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, menegaskan bahwa setiap muslim harus menjadi orang-orang yang teguh dalam menegakkan keadilan sekaligus menjadi saksi bagi tegaknya keadilan. Seorang muwahid selalu berani menyuarakan prinsip-prinsip keadilan, baik kepada orang lain, kepada kedua orang tua, kepada keluarga, maupun kepada diri sendiri. Ini karena seorang muwahid selalu bersandar pada kebenaran Tuhan yang selalu memerintahkannya untuk menyuarakan sekaligus menegakkan keadilan kapan pun dan di mana pun.

Lebih jauh, bagi Cak Nur konsekuensi paham tauhid yang sangat kuat memberi dampak pembebasan sosial bukan hanya tentang prinsip keadilan atau egalitarianisme, tapi juga harus menciptakan sebuah sistem sosial yang demokratis, terbuka, adanya saling kritik konstruktif dan kebebasan menyatakan pendapat berdasarkan cinta kasih kepada sesama manusia.

“Dari berbagai konsekuensi logis paham Ketuhanan yang Maha Esa”, tulis Cak Nur, “salah satunya yang amat kuat mempunyai dampak pembebasan sosial yang besar ialah egalitarianisme. Adalah berdasarkan prinsip itu maka tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah yang terbuka, yang memungkinkan masing-masing anggota saling memperingatkan tentang apa yang benar dan baik, dan tentang ketabahan menghadapi perjalanan hidup serta tentang saling cinta kasih sesama manusia,” suatu dasar bagi prinsip kebebasan menyatakan pendapat.”

Dengan demikian, paham tauhid membawa konsekuensi pada prinsip keadilan dan egalitarianisme yang mengharuskan hadirnya sebuah sistem yang demoktratis dalam menegakkan dan menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Ketiga, dari teologi ke gerakan praksis

Dari teologi menuju gerakan praksis dalam konteks figur Cak Nur dengan gagasan-gagasannya bukan kita maknai sebagai gerakan praksis kaum awam atau demonstrasi-demonstrasi yang seringkali disuarakan oleh gerakan-gerakan praksis, tapi bisa kita katakan sebagai gerakan intelektualisme Islam. Harus diakui, memang awalnya gerakan intelektualisme Islam ini digulirkan Cak Nur kepada sebagian kecil kaum elit intelektual, akademisi dan kaum menengah atas perkotaan. Tapi akhirnya, gerakan inteletualisme Islam ini bukan hanya mempengaruhi segelintir kalangan kaum intelektual, akademisi dan kaum menengah, tapi juga mewarnai ruang publik keindonesiaan kita, sistem demokrasi kita serta hubungan harmonis antara Islam dengan sistem politik dan antara Islam dengan wajah keindonesiaan kita.

Mari kita lihat argumentasinya. Salah satu wujud konkret gerakan intelektualisme Islam Cak Nur, barangkali bisa kita sebut adalah Yayasan Paramadina, setidaknya semasa Cak Nur hidup. Menurut Fachry Ali, Cak Nur adalah sebuah fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, Cak Nur mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu bisa bersifat institusional dan literer.

Secara institusional, hasil dari pengaruh yang paling mencolok dari Cak Nur semasa hidupnya adalah Yayasan Paramadina. Melalui lembaga ini, Cak Nur meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya sebuah komunitas tertentu walau masih samar-samar—yang menjadi pendukungnya dari kalangan santri kota.

Sedangkan secara literer, kehadiran Cak Nur telah memperkaya khazanah literatur intelektual di negara kita. Ini ditandai bukan saja oleh publikasi pemikiran-pemikirannya sendiri, melainkan juga berbagai studi diri dan pemikirannya. Dalam arti kata lain, baik melalui pemikiran-pemikirannya maupun publikasi studi-studi tentangnya ini telah dengan sendirinya melahirkan dinamika intelektual di negara dan masyarakat kita. Melalui karya-karya itu, kita bukan saja mendapat bahan untuk memahami dunia intelektual Indonesia, melainkan juga memberikan landasan bagi perdebatan dan pengelanaan intelektual lebih lanjut bagi generasi-generasi mendatang.

Dua bentuk pengaruh konkret

Meninjam analisis Fachry Ali, ada dua bentuk pengaruh konkret Cak Nur. Pertama, secara institusional yang berbentuk Yayasan Paramadina. Melalui Paramadina inilah Cak Nur mensosialisasikan gagasan-gagasan briliannya kepada kaum intelektual, akademisi dan kalangan menengah atas perkotaan.

Bahkan menurut pengakuan murid dekat Cak Nur sendiri yakni Wahyuni Nafis, Cak Nur sendiri menginginkan lembaga yang didirikan bersama teman-temannya pada 31 Oktober 1986 itu menjadi organisasi semacam Quaker. Quaker adalah contoh dari organisasi kecil yang visioner dan komit terhadap visi yang dimilikinya. Soal Quaker ini terdapat dalam tulisan Marshall G.Hodgson dalam bagian akhir bukunya, The Venture of Islam. Hodgson berpendapat, dengan nada penuh harapan, bahwa lslam akan tampil lagi memimpin umat manusia. Karena itu, diperlukan adanya gerakan pembaruan atau reformasi. Gerakan pembaruan dimaksud hampir dipastikan tidak mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kelompok besar. Yang bisa melakukan gerakan reformasi itu justru organisasi/kelompok kecil yang kuat berpegang pada visi yang dimilikinya. Organisasi/kelompok kecil semacam itulah yang diumpamakannya dengan Quaker.

Meminjam bahasa sejarawan besar dunia Arnold Toynbee, melalui Paramadina Cak Nur hendak menciptakan creative minority yakni segelintir kaum intelektual dan cendekiawan yang sudah tercerahkan dengan ide-ide pembaruan, transformasi dan inovasi lalu memberi inspirasi, mengarahkan dan membimbing masyarakat luas menuju pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan secara evaluatif sehingga membuahkan sebuah peradaban Adihulung.

Tentu saja misi idealisme Cak Nur ini belum tercapai. Tapi dalam level tertentu, gagasan-gagasan pencerahan yang Cak Nur suarakan bergema dan memiliki pengaruh tersendiri di ruang publik. Gagasan tentang integrasi antara keislaman dengan kemanusiaan, keindonesiaan, dan sistem demokrasi merupakan salah satu trademark Cak Nur yang selanjutnya diperkaya dan diperluas oleh Buya Syafi’i Maarif. Gagasan tentang Islam integratif Cak Nur ini telah benar-benar mewarnai jagad keindonesiaan kita, sehingga siapa pun yang hendak berbicara tentang integrasi antara Islam dengan kemanusiaan, keindonesiaan dan sistem demokrasi dalam konteks Indonesia, tidak bisa melepaskan diri dari ide besar Cak Nur.

Begitu juga dengan gagasan-gagasan besar Cak Nur lainnya, seperti inklusivisme Islam, universalisme Islam, pluralisme, kosmopolitanisme Islam, pembaruan pemikiran Islam, toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Sebagian besar ide-ide brilian ini, nyaris telah menjadi trademark-nya Cak Nur dan telah benar-benar mempengaruhi atmosfir ruang publik keindonesiaan kita. Siapa pun saja yang ingin memperbincangkan, mendiskusikan, dan menuliskan gagasan-gagasan besar tersbut, hampir dapat dipastikan akan merujuk kepada Cak Nur.

Disinilah sebenarnya creative minority yang diciptakan Cak Nur bekerja atau berjalan dengan baik walaupun secara sporadis. Murid-murid Cak Nur dan orang-orang yang terinspirasi dari Cak Nur mensosialisasikan gagasan-gagasan besar Cak Nur di komunitasnya masing-masing di seluruh Indonesia sehingga ide-ide besar Cak Nur tersebut bergema dalam ruang publik bangsa kita dan menyatu dengan keindonesiaan kita.

Pengaruh Cak Nur

Ketika hari ini kita menikmati indahnya integrasi antara Islam dengan keindonesiaan, dan integrasi antara Islam dengan sistem demokrasi di ruang-ruang publik kebangsaan, dalam tataran tertentu ini karena gagasan integrasi Islam yang disuarkan oleh Cak Nur bekerja. Tatkala hari ini, kita menikmati indahnya kedamaian, kehidupan publik yang penuh dengan toleransi, dan kerukunan antar umat beragama di ruang-ruang publik masyarakat kita, dalam level tertentu hal ini karena gagasan-gagasan brilian Cak Nur tentang inklusivisme, pluralisme, toleransi, dan kerukunan antar umat beragama telah sedikit banyak mewarnai masyarakat kita.

Ini pengaruh Cak Nur yang pertama. Sekarang mari kita lihat pengaruh Cak Nur yang kedua pada aspek literer. Ini berhubungan dengan warisan khazanah intelektual Cak Nur, terutama karya-karya tulisannya. Izinkan saya berbagi pengalaman pribadi ketika bersentuhan dengan karya-karya Cak Nur. Saya menikmati semua karya-karya intelektual Cak Nur, bahkan sebagian karyanya saya baca berulang-ulang.

Ketika membaca buku-buku Cak Nur, saya merasakan sekali dibukakan ke dalam wawasan yang begitu luas dan kaya perspektif. Dengan menelusuri noktah-noktah pemikiran Cak Nur, kita bukan hanya diajak bertamasya dengan kekayaan khazanah pemikiran Islam baik klasik maupun kontemporer, tapi juga bergumul dengan wacana-wacana tentang budaya, peradaban, pendidikan, sejarah, sosial dan politik, serta berbagai persoalan lainnya. Cak Nur sangat fasih berbicara mengenai berbagai persoalan keilmuan dengan bobot analisis yang bersifat ilmiah-akademik. Kita diajak berkenalan dengan berbagai sumber referensi primer tentang pemikiran Islam, peradaban, sejarah, sosiologi, pendidikan, budaya, politik, dan lain-lain.

Kita diajak berkenalan dengan para ilmuwan besar muslim dunia sejak era klasik hingga modern seperti, Al-Kindi, Imam Asy’ari, Imam Syafi’i, Al-Farabi, Ibn Sina, Imam al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Abdullah Yusuf Ali, dan Muhammad Asad.

Demikian juga, kita diajak bersentuhan dengan sebagian ilmuwan besar Barat dan Eropa seperti Alvin Toffler, Max Weber, Marshal Hodgson, Cantwell Smith, Huston Smith, Andrew Rippin, Max Dimont, Emile Dermenghem, Bertrand Russell, Harvey Cox, Herbert Feith, Robert Bellah dan lain-lain.

Tatkala berbicara tentang para ilmuwan besar tersebut, Cak Nur bukan cuma membahas produk permikiran mereka, tapi juga mendiskusikan bangunan epistemologi dan metodologi keilmuan mereka serta dampak pemikiran mereka dalam perkembangan peradaban Islam dan Barat selanjutnya. Dalam bahasa filsafat ilmunya, Cak Nur tidak hanya berbicara pada tataran ontologis semata, tapi juga pada level epistemologis dan aksiologis pemikiran para ilmuwan besar tersebut.

Karena itu, dengan membaca karya-karya Cak Nur, sudut pandang kita tidak pernah sama lagi dengan sebelumnya. Sudut pandang kita berubah. Kita mengalami pencerahan intelektual. Meminjam bahasa Thomas Kuhn, kita mengalami shifting paradigm, perubahan paradigma, sehingga kita memiliki new paradigm, paradigma yang baru. Kita memiliki semacam, katakanlah sense of epistemological knowledge: cita rasa epistemologi keilmuan. Dan uniknya, cita rasa epistemologi keilmuan itulah yang akan membebaskan kita dari keterpesonaan awam terhadap hal-hal yang bersifat banalitas.

Ide-ide Besar Cak Nur

Wacana yang dibahas oleh Cak Nur dalam karya-karyanya juga sangat luas. Ada ide-ide besar seperti: Inklusivisme Islam, Humanisme Islam, Universalisme Islam, Kosmopolitanisme Islam, Pluralisme, Toleransi, Islam dan Demokrasi, Keadilan Sosial, Pembaruan Pemikiran Islam, Ukhuwah Islamiyah, Kerukunan Antar Umat Beragama, Iman dan Makna Kehidupan Manusia, Spirit Intelektualisme Islam, Spirit Pembebasan Tauhidik, dan Islam Indonesia untuk menyebut beberapa contoh.

Sampai di sini, kita bisa melihat betapa luasnya wawasan keilmuan yang dimiliki oleh Cak Nur. Tidak diragukan lagi, Cak Nur merupakan salah seorang pemikir ensiklopedis Indonesia. Beliau mampu berbicara berbagai persoalan wacana keilmuan dengan kualitas akademik yang established. Spektrum keilmuan yang dikuasainya merentang mulai dari pemikiran Islam, peradaban, tasawuf, pendidikan, sejarah, kebudayaan, sosiologi, hingga politik. Semua bidang keilmuan tersebut dikuasai secara mendalam oleh Cak Nur.

Dalam konteks ini, tidak mengherankan bila pangaruh Cak Nur hanya bergema di kalangan terbatas, in certain circles, hanya pada kaum intelektual, cendekiawan, akademisi, dan ilmuwan. Dengan kata lain, Cak Nur itu seorang ilmuwan yang menginspirasi lahirnya para ilmuwan baru; Seorang cendekiawan yang menstimulasi munculnya cendekiawan-cendekiwan baru; Seorang intelektual yang mentransformasi hadirnya kaum intelektual baru; Seorang akademisi yang memproduksi para akademisi baru sesuai dengan minat mereka masing-masing.

Berhubungan dengan hal ini, cukup menarik menyimak penjelasan Hasan Hanafi. Dalam konteks pengaruh seorang pemikir atau seorang filsuf tersebut, Hasan Hanafi pernah menyatakan bahwa puncak produktivitas pengaruh seorang filsuf adalah sejauh mana ia bisa melahirkan filsuf-filsuf lain. Socrates adalah filsuf karena ia melahirkan Plato; Plato adalah filsuf karena ia melahirkan Aristoteles; Descartes adalah filsuf karena ia menurunkan Cartesian; Kant adalah filsuf karena ia menurunkan Kantian; Hegel adalah filsuf karena ia menurunkan Hegelian, dan Husserl adalah filsuf karena ia menurunkan Husserlian.

Cak Nur memang bukan seorang filsuf seperti Socrates, Plato, ataupun Aristoteles. Akan tetapi pada level tertentu, beliau bisa disebut sebagai seorang filsuf. Pemikirannya begitu mengakar, ide-ide yang beliau usung orisinal dan artikulasinya amat impresif, inspiratif dan transformatif bagi banyak orang. Apabila pengaruh yang dijadikan barometer produktivitas seorang filsuf, tak pelak lagi jejak-jejak pengaruhnya sangat kentara. Di awal tahun 70-an beliau menorehkan pengaruhnya yang sangat inspirasional terhadap generasi muda, sehingga melahirkan “gerakan Nurcholish Madjid” secara kolektif. Yang lebih menarik lagi, ia tampil sebagai single fighter dalam menancapkan fondasi pengaruhnya.

Hingga hari ini “bekas-bekas” Cak Nur masih bisa kita lihat dengan munculnya cendekiawan-cendekiawan besar. Sebut saja dari kalangan senior, seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Mulyadhi Kartanegara, dan Bahtiar Effendy untuk menyebut beberapa nama. Atau dari kalangan yang lebih muda, seperti Budhy Munawar-Rachman, Sukidi, Wahyuni Nafis, Yudi Latif, Mun’im Sirry, Saiful Muzani, Ihsan Ali Fauzi, dan Ulil Abshar Abdalla, dimana ide-ide mereka sudah tidak asing lagi dalam wacana pemikiran kontemporer di Indonesia.

Argumentasi tersebut mengindikasikan kebesaran seorang Cak Nur yang mampu memberi warna tersendiri terhadap khazanah perkembangan intelektual Indonesia sampai hari ini. Hal ini, karena kepiawaiannya dalam menggabungkan metodologi keilmuan antara Timur dengan Barat tanpa melupakan konteks sosio-kultural Indonesia. Sehingga solusi-solusi yang ia tawarkan dapat memecahkan berbagai problematika masyarakat Indonesia.

Karena itu, semua buku-buku Cak Nur akan tetap menjadi khazanah kekayaan intelektual yang sangat penting bukan hanya bagi umat Islam Indonesia tapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia itu sendiri. Tapi karena Cak Nur lebih banyak menulis tentang tema-tema keislaman, maka segenap kaum intelektual, cendekiawan, dan akademisi, khususnya yang berada dalam lingkaran PTKIN yakni UIN, IAIN, dan STAIN sudah seharusnya membaca karya-karya Cak Nur.

Tujuannya tidak lain, di samping untuk memperkaya wawasan intelektual kita, agar kita juga tidak kehilangan akar historis-sosiologis khazanah keilmuan keislaman yang kaya dalam konteks keindonesiaan, kebangsaan, dan kenegaraan. Sebab Cak Nur selalu menganyam wacana keislaman dalam sebuah kanvas sosiologis yang menyatu dengan kemodernan, kemanusiaan, sekaligus keindonesiaan.

Namun di atas segalanya dan melampaui semua analisis keilmuan tersebut, dalam diri Cak Nur juga menyatu antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual, antara ucapan dan tindakan, antara ilmu dan laku. Itulah yang menyebabkan suara Cak Nur menjadi autentik. Suaranya mampu menembus semua batas-batas primordialistik suku, ras, budaya, golongan, bahasa, keyakinan dan agama masyarakat bangsa Indonesia. Sehingga mengantarkan Cak Nur menjadi salah seorang guru bangsa.

Sampai di sini, terlihat jelas bagaimana Cak Nur menginisiasi suatu gerakan intelektual Islam di kalangan kaum cendekiawan, intelektual, akademisi dan ilmuwan sebagai creative minority. Mereka ini tersebar di seluruh Indonesia secara sporadis. Selanjutnya, sebagian besar mereka menebarkan gagasan-gagasan Cak Nur di kampus-kampus. Sebagian bergerak dalam yayasan atau lembaga-lembaga non-formal. Sebagian lagi bergerak secara pribadi-pribadi di tengah-tengah masyarakat luas. Gerakan intelektualisme Islam inilah sebagai salah satu unsur teologi pembebasan Cak Nur yang menawarkan pencerahan intelektual, perspektif, mindset sekaligus perilaku masyarakat kita, terutama kaum terdidik, kalangan elit dan menengah atas.

Wallahu a’lam bish showab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *