OpiniResensi

Ziarah Arbain dan Pesan Ukhuwah

Advertisements

Oleh Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung

Sebelum buku “Lelaki Sunni di Kota Syiah: Kisah Perjalanan Ziarah Arbain dari Najaf hingga Karbala” yang akan saya ceritakan ini, Iqbal Aji Daryono sudah menghasilkan beberapa buku dengan karakter yang saya sebut di atas. Silakan baca “Out of The Truck Box”, “Sapiens di Ujung Tanduk”, atau “Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira”. Setidaknya, jika Anda sudah berteman dengannya di Facebook, akan cukup mudah bagi Anda untuk mempercayai “pujian” saya tentang tulisan-tulisan Mas Iqbal.

Ziarah Arbain

Buku “Lelaki Sunni di Kota Syiah” merupakan hasil perjalanan ziarah Arbain Mas Iqbal dari Najaf ke Karbala, Irak. Apa itu ziarah Arbain? Tanggal 20 Safar diperingati sebagai Hari Arbain Imam Hussain oleh umat Muslim Syi’ah. Jutaan peziarah dari berbagai daerah dan kota di Irak dan negara-negara Muslim lainnya, termasuk Iran mengunjungi kota Karbala untuk menghadiri acara Arbain. Arbain adalah peringatan mengenang 40 hari kesyahidan Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad Saw. yang dibantai bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya oleh pasukan Yazid di padang Karbala pada 10 Muharram 61 H. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pawai Arbain merupakan acara keagamaan paling ramai sepanjang sejarah. 20-27 juta peziarah melakukan perjalanan dari Najaf ke Karbala setiap tahunnya.

Long march Arbain dari Najaf ke Karbala yang berjarak sekitar 80 km itu juga menjadi pawai terpanjang dalam sejarah. Di sepanjang jalan ini, masyarakat Irak juga membagikan makanan dan minuman gratis kepada para peziarah. Menu-menu makanan yang disajikan secara gratis itu beragam. Ada daging panggang, ayam panggang, ikan bakar, dan aneka makanan ringan lainnya. Peristiwa pembantaian atas Imam Hussain dan keluarga serta para sahabatnya pada 10 Muharam 61 Hijriah dikenal sebagai tragedi Asyura. Meski telah berabad-abad berlalu, terutama bagi kelompok Muslim Syi’ah, peristiwa heorik itu tidak pernah berkurang urgensi dan kedudukannya, bahkan semakin berlalu, pesan Asyura semakin tersebar.

Keberanian Imam Hussain melawan pemerintahan tiran Yazid bertujuan untuk menjaga kelangsungan agama Islam yang terkena erosi kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakatnya. Motivasi perjuangan Imam Hussain adalah menjaga kesucian Islam dari berbagai penyimpangan yang dilakukan penguasa lalim di masanya. Imam Hussain bangkit melawan Yazid bin Muawiyah bukan karena menghendaki kekuasaan, tapi karena ketulusannya membela ajaran Islam dan mengembalikan umat Kakeknya dari berbagai penyimpangan ke arah Islam murni, yaitu Islam Muhammadi.

Itu sekilas tentang ziarah Arbain. Mas Iqbal yang Sunni-Muhammadiyah itu ikut dalam ziarah “fenomenal” itu pada September 2023. Seperti telah disebutkan, buku “Lelaki Sunni di Kota Syi’ah” ini merupakan hasil perjalanan Mas Iqbal dari Najaf ke Karbala dalam rangka ziarah Arbain tersebut. Dengan nada merendah, Mas Iqbal menyebut bukunya ini “bukan yang buku-buku banget.” “Ini”, lanjut Mas Iqbal “hanyalah rangkaian kepingan kisah bersahaja dipandu lamunan-lamunan, yang semuanya saya kemas sepulang Ziarah Arbain di Irak pada awal September 2023, dari Kota Najaf hingga Karbala.

Meski begitu, bagi saya, buku ini memiliki tarikan nafas yang sama dengan beberapa buku tentang Syi’ah yang pernah saya baca, seperti “Ma’alim al-Madrasatain” karya Sayyid Murtadha Askari, “al-Muraja’at (terj. Mizan: Dialog Sunnah Syi’ah)” karya Syarafuddin Musawi, “Iran min al-Dakhil” karya Fahmi Huwaidi, “al-Syi’ah wa al-Sunnah” karya Rajab al-Bana, “Catatan Kang Jalal” dan “Dahulukan Akhlak di atas Fiqih” karya Jalaluddin Rakhmat, “Syi’ah menurut Syi’ah” dan “Buku Putih Mazhab Syi’ah” karya Tim Ahlulbait Indonesia, dan “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” karya M. Quraish Shihab. Tarikan nafas yang saya maksud adalah seruan ukhuwah. Seruan itu terutama sangat terasa pada “Iran min al-Dakhil”, “al-Syi’ah wa al-Sunnah”, dan “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”

Lelaki Sunni di Kota Syiah

Iqbal, Ismail, Ahmed, Basheer, Abu Dhiya, dan Syaikh Jalaluddin. Itu beberapa nama yang saya ingat dari kisah ziarah Arbain Mas Iqbal di buku “Lelaki Sunni di Kota Syi’ah”. Iqbal, ya Mas Iqbal sendiri yang ternyata nama KTP-nya adalah Muhammad Iqbal. Ismail adalah mahasiswa Indonesia yang lagi kuliah di Iran. Dari Iran Ustad Ismail meluncur ke Irak untuk menjadi “pemandu” perjalanan ziarah-nya Mas Iqbal.

Empat nama terakhir, semuanya orang Irak. Semuanya Muslim-Syi’ah. Bersama Ustad Ismail, Ahmed menemani perjalanan Mas Iqbal dari Najaf ke Karbala. Di hari pertama Ahmed menemani Mas Iqbal, Mas Iqbal shalat dua rekaat di halaman masjid Kufah. Selesai shalat, Ahmed yang Syi’ah itu menegur Mas Iqbal, “Iqbal, why? Why did you do that? Nobody here will harm you if you do salah on your own way.” Mas Iqbal tadi shalat dengan cara Syi’ah; menjulurkan tangan. Tentu Mas Iqbal punya argumentasi sendiri mengapa berbuat demikian.

Begini argumennya, “Masalahnya, jujur saja saya takut. Saya berada di tengah ribuan orang Syi’ah lho ini. Masa mau show off seorang diri shalat cara Sunni? Provokatif sekali kan jadinya? Gimana kalau ratusan orang serentak menatap saya dengan tatapan ‘idih’? Gimana kalau salah satu dari mereka datang, lalu memperingatkan saya agar tidak macam-macam di kampung orang? Gimana kalau saya…dipukuli beramai-ramai, lalu diarak ke depan mimbar?”

Tapi, ternyata Ahmed malah mengkritik Mas Iqbal yang “gegayaan” shalat dengan cara Syi’ah. “Kenapa kamu enggak shalat dengan caramu sendiri, Iqbal? Santai saja, enggak ada orang yang bakalan gebukin kamu di sini.” Kurang-lebih seperti itu pesannya. Mas Iqbal merespons Ahmed dengan cengar-cengir saja waktu itu. Mas Iqbal mengaku bingung harus menjawab seperti apa, karena shalat-kamuflasenya malah kurang menyenangkan hati Ahmed. Tapi, Mas Iqbal masih menduga bahwa Ahmed cuma basa-basi, sopan santun kepada tamu. Sampai kemudian Mas Iqbal percaya sepenuhnya kepada Ahmed ketika ia melihat lelaki Sunni-Pakistan shalat dengan cara Sunni, dan ternyata memang aman-aman saja.

Lantas apa “peran” Basheer, Abu Dhiya, dan Syaikh Jalaluddin. Dari Ahmed, Basheer tahu bahwa Mas Iqbal adalah Sunni-Muhammadiyah. Lalu Basheer memberi tahu hal itu kepada Abu Dhiya dan Syaikh Jalaluddin. Siapa Abu Dhiya? Dia adalah seorang perwira militer penting dalam pasukan al-Hasyd al-Sya’bi, milisi bersenjata penghajar ISIS. Di long march Arbain yang diikuti Mas Iqbal itu Abu Dhiya bertindak sebagai “komandan” gerakan pembagian burger ikan.

Terus siapa Syaikh Jalaluddin? Beliau ini punya riwayat panjang. Sebelum invasi Amerika ke Irak pada 2003, dia menjadi imam di Grand Mosque of Paris, Prancis. Lalu kembali ke Irak, menjadi anggota parlemen, juga menjadi salah satu ulama yang mewakili kalangan Syi’ah untuk menandatangani Dokumen Makkah—yakni deklarasi kerukunan Syiah-Sunni Irak yang ditandatangani di Arab Saudi pada 2006. Sewindu kemudian, pada masa serbuan ISIS, Syaikh Jalal mendirikan Sarâyâ Anshâr al-‘Agîdah, salah satu faksi terkuat yang bergabung dalam al-Hasyd al-Sya’ bi.

Pengalaman Iqbal

Saya kutip apa adanya pengalaman Mas Iqbal dengan Syaikh Jalal:

“Dan, siang itu sang ulama besar yang merangkap pemimpin spiritual milisi bersenjata paling legendaris di Irak itu duduk persis di samping saya, menyambut saya, dan berbicara panjang lebar dengan saya.

‘Syi’ah dan Sunni itu saudara, satu tubuh.’ Berkali-kali kalimat itu disampaikan Ahmed kepada saya, menerjemahkan kata-kata Syaikh Jalal. Selanjutnya, cerita beruntun disampaikan bahwa banyak orang Sunni datang juga di momen Ziarah Arbain. Ziarah Arbain menyatukan kita, dan seterusnya dan seterusnya.

Syaikh Jalal lalu memanggil banyak orang. Hidangan makan siang disuguhkan. Berpiring-piring ikan bakar disajikan untuk menyambut saya yang mendadak jadi duta ilegal Sunni-Muhammadiyah ini. Ini betul-betul sajian istimewa. Kalau yang dibagi kepada para peziarah itu burger dengan potongan ikan, yang disuguhkan kepada saya adalah ikan bakar utuh dengan rasa yang masya Allah.

Belakangan, saya tahu bahwa ikan bakar yang saya santap itu memang sajian spesial di Irak. Bahkan ada yang menyebutnya hidangan nasional negara Irak. Samak masgouf, namanya. Ikannya bukan ikan laut, melainkan ikan emas hitam yang banyak dibudidayakan di sepanjang Sungai Tigris dan Eufrat.

Pendek kata, saya benar-benar merasa seperti tamu agung yang disambut istimewa justru gara-gara ke-Sunni-an saya.

‘Dulu, banyak fitnah ditujukan kepada umat Syi’ah,’ lanjut Syaikh, tentu lewat mulut Ahmed. ‘Ada ulama terkenal yang mengatakan bahwa orang Syi’ah hajinya di atas sebuah gunung di Karbala. Itu kesalahan besar. Haji ke Makkah itu wajib. Setiap tahun banyak di antara kami, umat Syi’ah, yang berhaji ke Makkah. Bahwa bagi umat Syi’ah ziarah ke makam Imam Husain di Karbala itu keutamaan yang luar biasa, memang benar. Tapi, itu sunnah, sedangkan haji di Makkah itu wajib.’

Akhirnya, saya punya kesempatan untuk menceritakan soal haji ini kepada Anda. Orang Syi’ah yang datang ke Masjidil Haram di Makkah ya banyak. Mereka pun diberi hak oleh pemerintah Saudi untuk haji dan umrah. ‘Tapi, antrean haji di Iran itu sampai 80 tahun lho, Mas,’ kata Ustaz Ismail.”

Pesan Ukhuwah

Hingga di sini, saya pikir cukup mudah menangkap pesan ukhuwah dari perjalanan ziarah yang dilakukan Mas Iqbal dalam long march Arbain Najaf-Karbala itu. Sepenuhnya saya sepaham dengan Prof. Ahmad Najib Burhani tentang buku karya Mas Iqbal ini. Prof. Najib menulis:

“Apa yang ditulis Iqbal Aji Daryono lebih dari sekadar kisah ziarah ruhani. Dengan kesyahduan dan air mata, dia mencoba memperkenalkan secara lebih lengkap tradisi dan ajaran Syi’ah yang sering kali dicaci, disalahpahami, dan dikafirkan. Iqbal berusaha menunjukkan kedekatan dan kesamaan antara Sunni dan Syiah melalui pengalaman pribadinya selama mengikuti ziarah ini. ‘Bisa saya katakan, 95 persen shalatnya orang Syiah dan Sunni itu sama. Takbirnya sama, Al-Fâtihah-nya sama, ruku-sujudnya sama. Yang disembah juga Allah,’ tulisnya.

Melalui catatan-catatannya, Iqbal berusaha membongkar kesalahpahaman dan menghapus prasangka dan stigma buruk tentang Syi’ah yang ada di sebagian masyarakat Indonesia. Ini langkah yang berani. Meski kadang berisiko, ini upaya yang perlu terus dilakukan. Ada yang menyebutkan bahwa menulis tema seperti ini ‘kartu mati’ atau ‘akan membawa efek macam-macam secara sosial’, bahkan secara ‘dapur’. Namun, saya termasuk yang tak percaya dengan anggapan tersebut.

Menemani minoritas, menjelaskan kebenaran, dan juga menghapus berbagai hoax tentang kelompok Islam lain bagian dari ‘Panggilan Ketuhanan’ dan wasiat kenabian’ yang harus dijalankan. Dengan melakukan ini, masyarakat kita akan semakin banyak disinari kebenaran, bukan dipenuhi berita-berita bohong yang mengajak membenci satu sama lainnya.”

Seperti Mas Iqbal, Prof. Ahmad Najib Burhani juga orang Muhammadiyah. Alhamdulillah, saya berteman dengan mereka. Keduanya orang hebat. Sayang, saya-nya gak katut hebat. “Hebat”-nya saya hanya singkatan dari “herang babatok (botak kepala)…hiks

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *