PenelitianResensi

Pendidikan dan Radikalisme (3)

Advertisements

Oleh: Dr. Zaprulkhan, Dosen UIN Bangka Belitung

Dalam bagian tiga, Mun’im meneliti pengaruh media sosial terhadap kalangan pelajar yang terpapar radikalisasi. Ada dua bab yang dibahas dalam bagian tiga. Bab pertama, membincang kerentanan generasi muda terhadap radikalisasi di dunia maya. Radikalisasi merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor. Eksposur daring dan luring terhadap gagasan-gagasan radikal adalah faktor-faktor penyebab yang sama pentingnya.

Salah satu temuan penting Mun’im adalah bahwa meskipun kalangan anak muda rentan terhadap radikalisasi di dunia maya, ternyata radikalisasi di dunia nyata beragam bentuknya dan jauh dari proses linear yang biasanya muncul di dunia maya. Darí 500 siswa/i SMA, 5,4% menyatakan ikut bergabung dalam jaringan kelompok radikal; hanya 1% responden yang mengaku anggota aktif. Di kalangan mahasiswa/I perguruan tinggi yang diteliti dalam studi ini, 45,8% mengatakan ikut terlibat dalam media sosial radikal. Ini temuan menarik, karena terlihat mereka lebih rentan terhadap gagasan-gagasan radikal dibanding siswa/i SMA yang lebih muda. Apa penyebab fenomena ini?

Faktor Penyebab

Pertama, kalangan nahasiswa perguruan tinggi cenderung lebih intens dan sering berselancar di dunia maya, yang terbukti dari penelitian kuantitatif Mun’im yang memperlihatkan bahwa mahasiswa/i perguruan tinggi memang lebih sering mengakses konten-konten radikal di dunia maya. Persentase mahasiswa/i perguruan tinggi yang sering mengakses konten-konten radikal sangat tinggi (39,1%), sementara hanya 8,1% siswa/i SMA yang mengaku sering atau sangat sering mengunjungi situs-situs radikal. Perbedaan mencolok ini juga bisa terletak pada jumlah yang mengaku “sangat jarang” mengunjungi situs-situs web radikal, yakni, siswa/i SMA (66%). sementara mahasiswa/i perguruan tinggi (35%).

Penjelasan kedua menyangkut tingkat wawasan mahasiswa/i perguruan tinggi adalah isu-isu global. Karena telah melewati tingkat pendidikan menengah dan melanjutkan ke berbagai jurusan di perguruan tinggi, bisa dimaklumi bahwa mereka lebih berpengetahuan. Lingkungan kampus memungkinkan mereka untuk belajar banyak hal, termasuk isu-isu di luar kampus. Sementara kalangan pelajar di jenjang pendidikan menengah kiranya baru berkonsentrasi pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan dasar, belum melíngkupi isu-isu yang lebih luas.

Ini terbukti dari hasil wawancara Mun’im dengan pelajar SMA yang tampaknya tidak tahu banyak mengenai kelompok-kelompok teroris global, kecuali ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), karena pemberitaannya sudah tersebar di berbagai media massa. Saat ditanya mengenai praktik intoleransi, beberapa informan siswa/i ini merujuknya pada liputan ISIS yang memenggal kepada orang non-muslim dan musuh-musuh mereka. Dan saat ditanya lagi apakah mereka mengikuti berita-berita berbagai kelompok radikal di Indonesia, hanya 3,4% dari 500 responden yang menjawab ‘ya’.

Berbeda dengan pelajar SMA, ketertarikan mahasiswa/i perguruan tinggi pada konten-konten radikal lebih tinggi, dan juga pada informasi agama. Mereka berselancar di dunia maya mencari berbagai macam informasi. Misalnya, 22,1% responden mengaku sering mengunjungi situs-situs web tertentu untuk mengetahui perkembangan Islam di seluruh dunia, 57,6% mengatakan jarang mengakses situs-situs semacam ini, dan hanya 20,3% yang menjawab tidak pernah mengaksesnya. Mengenai informasi gerakan khilafah, 41,4% responden mengaku tidak pernah mengaksesnya, sementara sebagian besar menjawab mengunjungi situs-situs web tertentu mengenaí khilafah ini, ada yang sering (22,3%) dan ada pula yang jarang (57,6%).

Penelitian kuantitatif Mun’im juga memperlihatkan bahwa banyak mahasiswa/i perguruan tinggi mengakses konten-konten radikal untuk mengetahui informasi cara merakit bom: ada yang sering (32,1%), jarang (36,9%), dan tidak pernah (31%). Semua temuan ini menjelaskan kenapa mahasiswa/i perguruan tinggi cenderung lebih rentan terhadap radikalisme dibanding pelajar SMA. Tingkat kerentanan ini juga terbukti dari motif mereka mengakses situs-situs web yang memuat konten-konten radikal.

Perbedaan mencolok lainnya adalah bahwa mahasiswa/i perguruan tinggi lebih aktif membagikan konten-konten radikal (7,7%) daripada pelajar SMA (2%). Tingginya jumlah mahasiswa/i perguruan tinggi yang terlibat dalam jaringan kelompok radikal kiranya juga menunjukkan fakta bahwa mereka menjadi sasaran empuk kelompok-kelompok radikal dibanding pelajar SMA.

Kebanyakan mahasiswa/i perguruan tinggi mengakses konten-konten radikal untuk belajar agama dan berusaha lebih memahami keyakinan agama mereka melalui sumber situs-situs web dan media sosial di dunia maya yang mereka percaya. Oleh karena itu, tujuan mereka lebih banyak untuk belajar agama dan untuk lebih memahami keyakinan agama mereka. Jadi, tidak heran kalau mereka sangat aktif membagikan dan menyebarluaskan informasi atau liputan media yang dianggap berguna bagi peningkatan pengetahuan agama mereka. Mereka percaya bahwa belajar agama adalah suatu kewajiban dan membagikan situs-situs web atau konten-konten itu kepada orang lain adalah suatu kebaikan.

Temuan Mun’im memperlihatkan bahwa sejumlah besar mahasiswa/i perguruan tinggi tidak hanya bersikap pasif ketika menerima konten-konten radikal dari dunia maya; mereka juga aktif membagikannya di konten timeline mereka dan di grup-grup daring.

Keterlibatan Pelajar dalam Radikalisme

Bagi Mun’im, keterlibatan kalangan muda terpelajar dalam jejaring kelompok dan organisasi radikal sudah semestinya mengkhawatirkan banyak orang dalam semua masyarakat di seluruh dunia. Generasi muda adalah fondasi sebuah bangsa yang akan melanjutkan keberlangsungan masyarakat. Pemerintah Indonesia telah menerapkan sejumlah rencana dan strategi penanganan radikalisasi di dunia maya ini.

Sayangnya, pemerintah baru berfokus pada langkah-langkah represif, seperti penutupan atau penyensoran beberapa situs web atau konten-konten radikal di dunia maya, yang kiranya belum terlalu memadai karena kelompok-kelompok radikal itu bisa menjangkau anak-anak muda dengan cara-cara yang inovatif.

Pemerintah Indonesia perlu memfokuskan pada upaya-upaya untuk mengalahkan gagasan-gagasan radikal dengan menerapkan langkah-langkah strategi positif dan cara-cara damai. Terkait dengan poin terakhir ini, pemerintah bisa berperan lebih positif lagi dengan merancang kesadaran publik dan mengembangkan ketahanan sosial terhadap ancaman-ancaman di dunia maya. Masyarakat dari semua lapisan mesti dilibatkan dalam pencegahan radikalisasi karena ini merupakan suatu masalah sosial.

Kunci Ketahanan Sosial

Salah satu kunci utama ketahanan sosial melawan radikalisasi di dunia maya adalah dengan menantang gagasan-gagasan ekstremis dengan narasi-narasi alternatif. Meskipun sulit untuk menilai efektivitas cara intervensi ini, beberapa penelitian mutakhir tenunjukkan babhwa narasi-narasi alternatif bisa menjadi strategi yang menjanjikan dalam pencegahan radikalisasi karena cara ini bisa menjatuhkan daya tarik gagasan-gagasan radikal dengan menawarkan alternatif-alternatif yang kredibel. Strategi ini bertujuan untuk mengonfrontasi dan menjatuhkan pamor propaganda dan pandangan-pandangan radikal, men-delegitimasi tema sentral argumen-argumen ekstremis, dan mengurangi dampak pesan-pesan tadikal terbhadap khalayak ramai.

NU dan Muhammadiyah telah berperan penting dalam menantang kelompok-kelompok radikal di Indonesia, yang akhirnya berhasii mengurangi permintaan konten-konten radikal di kalangan masyarakat umum. Narasi “Islam moderat” yang digalakkan oleh NU dan Muhammadiyah menjadi makin memiliki daya tarik karena kedua ormas Islam ini bisa bicara tentang lslam secara otoritatif. Keduanya mewakili segmen umat Islam terbesar di negeri ini.

Pemerintah kiranya tidak bisa menangani narasi-narasi radikal karena mereka tidak memiliki otoritas keagamaan seperti yang dimiliki NU dan Muhammadiyah. Kendati Kemenag telah meluncurkan kampanye “Islam moderat” untuk menantang Islam radikal, efektivitasnya tampak bergantung pada dukungan dari anggota-anggota NU dan Muhammadiyah.

Bagaimana pun, konten-konten moderasi beragama yang digalakkan oleh NU, Muhammadiyah, dan Kemenag mewakili narasi-narasi alternatif di internet mampu memberi dampak pernting karena strategi yang diterapkan melibatkan keputusan-keputusan untuk mengurangi kehadiran narasi-narasi ekstremis atau menghambat laju para pemuka agama radikal yang berpandangan ekstremis di dunia maya, sehingga bisa mengurangi potensi khalayak ramai terpapar narasi-narasi ekstremis tersebut.

Akhirnya menurut Mun’im, perlu adanya pandangan bahwa pendidikan mesti disisipkan ke dalam langkah-langkah strategis preventif, bukannya reaktif dan represif, sehingga kalangan mahasiswa/i menjadi warga negara memiliki ketahanan diri yang tangguh. Radikalisme agama yang merupakan suatu masalah sosial, dan semua lapisan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga pendidikan, harus berperan penting untuk mendidik masyarakat luas mengenai pentingnya literasi pengetahuan digital yang kritis. Dan yang paling utama, para peserta didik harus bisa melihat relevansi apa yang mereka pelajari dan kembangkan melalui suatu pemahaman yang kritis terhadap dunia. Literasi ini akan mencegah sejumlah pemicu yang mendorong dan menarik mereka pada bahayanya jalan menuju radikalisasi.

Anti Semitisme

Sedangkan bab dua membicarakan intoleransi beragama dan wacana anti-semitisme. Bab ini menelisik kekhasan ekspresi anti-semitisme di kalangan pelajar dan mahasiswa/i perguruan tinggi di Indonesia. Untuk penelitian ini, Mun’im berangkat dari definisi klasik anti-semitisme Theodor Adorno yang sudah diakui umum, yakni “pendapat stereotip negatif yang menggambarkan orang Yahudi sebagai ancaman, tak bermoral, dan jenis masyarakat yang berbeda dari non-Yahudi, serta sikap permusuhan yang mendorong orang untuk melakukan berbagai bentuk pembatasan, pengucilan, dan penindasan sebagai suatu cara penyelesaian persoalan Yahudi.”

Dalam penelitia Mun’im, ditemukan bahwa pandangan negatif kalangan pelajar terhadap orang Yahudi karena “faktor orang Israel”. “Faktor orang Israel” ini tampak jelas dalam penelitiannya ketika kategori “orang Yabhudi” diubah menjadi “orang Israel”, sehingga kelihatan sekali bagaimana persepsi negatif orang Indonesia meningkat secara signifikan.

Dari 500 pelajar dari 12 SMA di 5 kota besar di Jawa Timur, survei ini menemukan bahwa 24,2% responden tidak suka orang Israel, tertinggi kedua setelah kelompok koruptor (43,4%). Jawaban selanjutnya adalah sebagai berikut: ISIS (20,4%), penganut agama lain (4,6%), orang China (4,4%), orang Amerika/Barat (2,2%), dan orang-orang kaya yang memiliki banyak perusahaan (0,8%).

Di kalangan mahasiswa/i di tujuh (7) perguruan tinggi negeri yang dinyatakan oleh BNPT telah tersusupi ideologi radikal, mereka yang tidak suka orang Israel adalah 19,7%, tertinggi ketiga setelah kelompok “koruptor” (36,6%) dan ISIS (23,1%). Perlu diketahui bahwa di kalangan mahasiswa/i yang sudah terpapar pahanm radikal ini, jumlah yang tidak suka orang Amerika juga cukup tinggi (18,4%).

Berdasarkan temuan di atas, ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, kendati tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dan kebencian terhadap orang Yahudi, mahasiswa/i perguruan tỉnggi cenderung lebih bersikap bermusuhan terhadap orang Amerika/Barat (18,4%) dibanding kalangan pelajar SMA (2,2%). Mengenai pandangan mereka terhadap orang Yahudi, survei ini menguatkan temuan SMRC bahwa tingkat pendidikan tidak berperan besar dalam membentuk pandangan positif ataupun negatif masyarakat terhadap orang Yahudi: artinya, orang yang menyandang gelar sarjana belum tentu lebih toleran daripada yang tidak pernah kuliah.

Kedua, fakta bahwa pandangan negatif mereka terhadap orang Israel (dalam temuan Mun’im) cukup tinggi dibanding pandangan negatif mereka terhadap orang Yahudi (dalam temuan SMRC dan Wahid Institute) memperjelas kesan tidak suka yang kuat terhadap Israel dalam kancah konflik Arab-Israel.

Namun menurut Mun’im mesti diluruskan di sini bahwa kritik terhadap negara Israel tidak harus berarti anti-semitik dan distingsi kedua hal ini harus bisa dibedakan antara kritik yang benar dan tidak bisa dibenarkan. Namun, “kritikan terhadap Israel sering dibarengi dengan ungkapan retorika atau citra yang mengundang anti-semitisme: menerapkan standar yang lebih tinggi terhadap Israel dibanding negara lain, dan tanpa penjelasan nalar yang jelas; mendasarinya dengan teori-teori konspirasi; menggunakan kategori-kategori demonisasi; Mengasosiasikan orang Yahudi sebagai pihak penindas; melancarkan kritik sedemikian rupa hingga menyasar mayoritas orang Yahudi; melontarkan kata-kata kritikan yang dimaksudkan untuk praktik diskriminatif terhadap orang Israel atau Yahudi”. Dalam pengertian inilah bagaimana sentimen anti-Israel dan sikap anti-semit saling tumpang tindih.

Mengapa Memusuhi Yahudi/Israel?

Pertanyaan besarnya: Argumen apa yang mereka pakai untuk membenarkan sikap permusuhan terhadap orang Yahudi dan/atau orang Israel?

Menurut penelitian Mun’im, setidaknya ada tiga tema utama yang sering muncul. Pertama, cengkeraman kekuasaan Israel begitu kuat dan mereka berambisi untuk menguasai dunia melalui Amerika sebagai agen mereka. Dari survei ADL, kita dapatkan bahwa nyaris separuh penduduk Indonesia beranggapan Israel telah mencengkeram kekuasaan mereka di dunia dan 42% mengaku orang Yahudi telah memegang kendali begitu besar atas bisnis global dan mereka hanya memikirkan keuntungan bagi mereka sendiri (55%). Seorang mahasiswa ITB (Bandung) mengungkapkan bahkan Amerika tidak berdaya mempertahankan diri dari kepentingan politik Israel, terutama dalam konteks konflik Israel-Palestina.

Kebanyakan mahasiswa/i mengíra Israel dan Amerika Serikat berkolaborasi erat. Jenis teori konspirasí ini tentu untuk menunjukkan bahwa bahkan institusi dunia sekuat PBB pun tidak berkutik di bawah tekanan orang Yahudi. Menariknya lagi, pandangan mahasiswa di atas tidak hanya menyerang begitu kuatnya negara Israel, tetapi juga menyayangkan ketidaberdayaan negara-negara Arab untuk menggalang persatuan melawan Israel. Ini merupakan argumen tipikal dari pendukung teori konspirasi, yakni, dengan mengajukan penjelasan yang simplistik untuk permasalahan yang begitu rumit.

Tema kedua yang sering muncul adalah Israel sebagai musuh besar orang Islam. Mereka telah begitu menzalimi orang Muslim, khususnya di Palestina. Setiap kali pecah insiden kekerasan antara orang Israel dan Palestina, banyak orang Muslím Indonesia menuding orang Yahudi sebagai biang keladi berbagai insiden, kekacauan atau keributan tanpa berusaha memahami kompleksitas muasal permasalahan yang memicu berbagai konfik, ketegangan, atau kekerasan.

Banyak kalangan muda terpelajar berpandangan bahwa Israel bertanggung jawab atas ketidakstabilan politik di negara Arab Timur Tengah. Mereka umumnya hanya melihat konflik israel-Palestina dalam hubungannya dengan agama, perseteruan antara orang Muslim dan orang Yahudi. Membingkai konflik Timur Tengah sebagai suatu perseteruan antara dua kelompok agama ini memperkuat persepsi mereka bahwa orang Yahudi memusuhi Islam.

Bagi kebanyakan orang Indonesia, konflik Israel-Palestina, merupakan suatu ancaman dari orang Yahudi, padahal faktanya banyak kelompok orang Yahudi – Rabbi, akademisi, aktivis, politisi, dan lainnya di berbagai negara secara terbuka mnenentang politik identitas ras Zionisme dan menolak kebijakan garis keras dan brutal yang dikeluarkan oleh pemerintah Israel. Banyak kalangan akademisi Yahudi mengkritik negara Israel. Judith Butler, profesor retorika dan sastra di University of California di Berkeley, misalnya, adalah salah satu dari 3700 orang Yahudi-Amerika yang menentang “pendudukan, perayahan/aneksasi Israel” dan mendorong pemerintah Amerika agar menghentikan aliran dana bagi Israel.

Tema ketiga yang sering didapati selama wawancara, masih berhubungan dengan sentimen di atas, yakni persepsi orang Israel sebagai orang-orang zalim dan kejam yang memperlakukan warga Palestina tanpa prikemanusiaan. Barangkali gambaran inilah yang paling umum ditemukan, yang sering digembar-gemborkan dalam pajangan media Islamis. Foto-foto pihak otoritas Israel yang menghancurkan bangunan rumah warga Palestina yang tampak tak mengenal kasihan atau anak-ának Palestina yang disemprot gas di pos-pos pemeriksaan, atau sejumlah pria tak bersenjata, kaum perempuan dan anak-anak yang ditembaki oleh militer Israel, beredar luas.

Dalam tilikan Mun’im, gambaran di atas memberikan wawasan tentang dasar alasan dan penjelasan di kalangan muda terpelajar untuk membenarkan pandangan negatif mereka terhadap orang Yahudi. Kiranya jelas bahwa penyebaran anti-semitisme di Indonesia tidak bisa dipahami tanpa terlebih dahulu mencermati antipati masyarakat luas terhadap Israel yang berkonflik dengan Palestina. Konflik Israel-Palestina inilah yang membentuk persepsi orang Indonesia mengenai orang Yahudi.

Menurut Mun’im, persepsi bahwa orang Yahudi dan Israel saling berkelindan dalam beragam cara. Pertama, “orang Yahudi” dipandang bukan sebagai “orang Yahudi ril, yang nyata dan sebenarnya,” melainkan sebagai suatu kekuatan imajiner Israel yang mampu menghancurkan persatuan umat Islam secara umum dan menindas Muslim Indonesia secara khusus. Kedua, masih terkait poin di atas, orang Yahudi juga dipandang sebagai satu kategori khusus. Semua orang Yahudi sama, jahat, tak berperasaan, tak manusiawi, yang terwujud dalam tindakan dan perlakuan mereka terhadap penduduk Palestina.

Ketiga, dan konsekuensinya, konflik Israel-Palestina dipandang sebagai perang antara orang Yahudi dan Muslim. Seperti dijelaskan oleh Jikeli, “Israel digambarkan jahat, yang diwakili oleh prajuritnya yang kejam, dan Palestina dipandang baik dan berdosa”. Keempat, konflik Israel-Palestina berkepanjangan itu memunculkan pandangan pada sejumlah orang Muslim Indonesia dan Muslim di seluruh dunia bahwa konflik tersebuti merupakan suatu bentuk serangan terhadap agama mereka. Dengan membidik pengaruh badan intelijen Israel pada kancah politik dunia, maka seluruh dunia pun dipandang sebagai suatu ancaman dan penghalang persatuan umat Islam.

Demikianlah persepsi sebagian masyarakat Indonesia tentang Yahudi dan Israel meskipun keberadaan orang Yahudi tidak begitu tampak di negeri ini. James Siegel dan Hadler menyebut Indonesia sebagai sebuah kasus di mana anti-semitisme berkembang subur walaupun tanpa keberadaan orang-orang Yahudi (antisemitism with Jews). Ketakuatan pada dominasi “orang Yahudi imajiner” sebagaimana diproyeksikan masyarakat Indonesia memperlihatkan sebuah perjuangan tiada henti untuk menempatkan diri mereka dalam suatu percaturan dunia global yang terus berubah karena pengaruh asing.

Buku Menarik

Secara general. Buku Pendidikan Dan Radikalisme ini sangat menarik. Pertama, buku ini meneliti fenomena radikalisasi di kalangan pelajar SMA dan mahasiswa perguruan tinggi, baik secara luring maupun daring melalui media sosial. Lazimnya penelitian selama ini lebih banyak fokus pada radikalisasi di dunia nyata dan mengabaikan faktor pengaruh media sosial terhadap radikalisasi. Di sinilah keistimewaan buku ini yang berupaya menggabungkan faktor luring dan daring dalam mempengaruhi gerakan radikalisasi.

Kedua, buku ini juga menggabungkan dua metode yaitu kuantitafif dan kualitatif dalam menguraikan, menganalisis, menafsirkan sekaligus mengkritisi data-data yang tersedia. Tidak mengherankan jika dalam buku ini, kita akan menemukan puspa ragam konsep, teori, dan pendekatan yang amat kaya yang digunakan oleh Mun’im sebagai theoretical framework dalam menganalisis dan menafsirkan data-data yang berhubungan dengan fenomena radikalisasi.

Ketiga, referensi yang dijadikan rujukan dalam buku ini sangat kaya. Sekitar 400-an referensi. Biasanya kita menemukan penelitian lapangan miskin referensi ilmiah, sehingga analisisnya agak dangkal. Buku ini berbeda. Barangkali karena referensinya yang amat kaya inilah yang menyebabkan analisisnya menjadi hidup, menarik dan penuh variasi dengan teori dan pendekatan yang kaya nuansa. Sebuah buku yang layak dibaca bagi siapa pun, terutama para akademisi yang tertarik dengan fenomena radikalisasi di kalangan pelajar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *