Radikalisasi di Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Radikalisme (2)
Oleh: Dr. Zaprulkhan, Dosen UIN Bangka Belitung
Sekarang kita memasuki bagian dua dari buku Pendidikan dan Radikalisme yang membahas tentang radikalisasi di perguruan tinggi. Seperti bagian satu, bagian dua ini juga berisi tiga bab. Dua bab pertama berbicara tentang proses kemunculan radikalismme di perguruan tinggi dan radikalisme ogah-ogahan dan ektremisme kekerasan. Sedangkan bab ketiga membincang deradikalisasi di kalangan anak muda terpelajar. Mari kita lihat satu persatu.
Dalam bab pertama, Mun’im membahas ciri utama perubahan mahasiswa yang menganut paham radikal. Diawali dengan penjelasan mengenai pengertian radikalisasi dari para pakar secara luas, tahap-tahap radikalisasi hingga teori konversi (conversion theory). Definisi umum radikalisasi adalah suatu proses dinamis dan tidak bersyarat. Artinya, orang bisa berubah radikal atau melakukan aksi kekerasan bukan karena kondisi mental yang sakit atau mendadak tidak normal. Dalam kebanyakan kasus, mereka merawat dan mengembangkan gagasan radikal atau menjadi radikal secara bertahap.
Alex Wilner dan Claire-Jehanne Douboutoz yang dikutip Mun’im, menulis: radikalisasi merupakan proses personal di mana individu-individu mengadopsi gagasan dan aspirasi politik, sosial, dan/atau agama ekstrem, dan di mana pencapaian tujuan-tujuan tertentu membenarkan penggunaan cara-cara kekerasan tanpa pandang bulu. Proses ini melibatkan sikap mental dan emosional yang menyiapkan dan mendorong individu untuk menerapkan perilaku kekerasan.
Begitu juga ada beragam teori mengenai tahap-tahap radikalisasi, baik yang bercorak linear maupun non-linear. Bagi Mun’im, teori-teori ini, baik dalam model lebih spesifik maupun kerangka pikir lebih umum, berguna untuk mempertimbangkan keruwetan masalah individu yang terlibat dalam proses radikalisasi. Teori-teori ini memungkinkan kita untuk memikirkan secara kritis mengenai faktor-faktor pemicu radikalisasi: “Kegetiran hidup, jejaring sosial, ideologi, dan faktor lingkungan serta struktur pendukung”. Model-model ini juga menunjukkan pentingnya multi-analisis tahap radikalisasi.
Mun’im menggunakan teori konversi Lewis Rambo sebagai titik awal untuk memahami hubungan beragam faktor sehingga orang bisa berubah dan terpapar radikalisme. Konversi di sini artinya perubahan mahasiswa menjadi radikal. Tahap-tahap konversi Rambo sebagai berikut: konteks, pencarian makna, krisis, dukungan, interaksi, komitmen, dan konsekuensi. Meskipun dalam penelitian Mun’im tidak semua tahap yang digambarkan Rambo selalu muncul pada masing-masing individu dan tidak ada satu faktor pun lebih dominan dari yang lain.
Enam Faktor
Mun’im menurunkan enam faktor yang mengantarkan para mahasiswa melakukan konversi atau perubahan menjadi radikal. Pertama, konversi melalui pengaruh dan tekanan teman kuliah. Ini merupakan pengaruh teman kuliah senior yang sudah terlibat dalam kelompok radikal. Para mahasiswa senior mengundang mahasiwa-mahasiswa baru dalam kelompok kerja, belajar bersama, atau membantu tugas kuliah hingga bantuan keuangan, atau menawarkan beasiswa. Akhirnya mereka direkrut ke dalam kelompok radikal.
Kedua, konversi melalui penegakan aturan yang dibuat oleh kelompok radikal di rumah kontrakan atau asrama-asrama yang telah mereka kuasai. Seluruh mahaiswa baru yang tinggal di kos atau asrama tersebut harus mengikuti agenda yang dibuat oleh kelompok radikal. Ketiga, konversi melalui ikatan keluarga, artinya mereka sudah dipengaruhi keluarga mereka yang radikal.
Keempat, konversi melalui pencarian keyakinan agama radikal. Ini umumnya terjadi pada mahaiswa yang minim wawasan agama; mereka yang mencoba mencari pengetahuan agama, lalu kelompok radikal mempengaruhi mereka. Kelima, konversi melalui pengalaman depresi personal. Kategori konversi jenis ini mencakup bermacam kejadian, dari rasa frustasi masalah percintaan sampai kekecewaan hidup yang mendalam dan tak terduga. Di satu sisi, di kalangan mahasiwa/i ada yang mengalami depresi dan rasa cemas personal, dan di sisi lain, ada bantuan dari kelompok-kelompok radikal sehingga mereka terpengaruh.
Terakhir, konversi melalui hidayah Allah. Ada kalangan mahasiswa/i meyakini bahwa perubahan cara pandang mereka itu karena rahmat dan hidayah Allah. Mereka percaya bahwa proses radikalisasi itu tidak bisa dijelaskan dan tak terduga, dan bahwa lahir dan tumbuhnya rasa simpati terhadap cara pandang baru ini hanya dimungkinkan karena pertolongan dan kuasa Allah.
Menurut Mun’im, apa pun alasan radikalisasi itu, kita selalu bisa melihat ada konteks tertentu yang memengaruhi kalangan muda terpelajar ini sehingga menjadi titik balik proses perubahan cara pandang mereka. Dalam hal radikalisasi di kalangan mahasiswa/i, konteks itu mencakup sejumlah besar faktor lingkungan, seperti lingkar pertemanan, situasi kesulitan dan ujian hidup, hubungan keluarga, pengetahuan agama yang baru, serta tragedi hidup atau situasi-situasi serupa, yang menurut para informan, tidak bisa dijelaskan secara rasional.
Narasi-narasi Alternatif
Dalam konteks ini, Mun’im mengimbau agar upaya deradikalisasi bisa menawarkan narasi-narasi alternatif kepada kalangan mahasiwa/i dengan beragam interpretasi Islam. Seperti dikeluhkan beberapa informan, ketika gagasan-gagasan radikal diperkenalkan di kampus-kampus, tidak banyak yang bisa menolak argumen-argumen mereka berdasarkan sumber-sumber keagamaan otoritatif karena minimnya pengetahuan agama di kalangan mahasiwa/i. Fakta ini juga menerangkan kenapa kelompok-kelompok radikal selalu menyasar kampus-kampus publik sebagai pusat penyebaran ideologi radikal mereka. HTI, misalnya, awalnya berkembang di IPB dan, di kampus yang sama dukungan terhadap sistem kekhilafahan pertama kali juga dideklarasikan di sana.
Dengan elegan Mun’im menulis: Temuan saya ini mendorong kita untuk lebih menaruh perhatian pada kerentanan moral dan agama yang memungkinkan generasi muda ini menapaki jalan menuju radikalisasi. Jumlah kalangan muda terpelajar yang ikut dalam kelompok-kelompok radikal karena niat dan ketertarikan mereka untuk membela Islam sebagai solusi semua permasalahan hidup ternyata cukup signifikan. Di antara kelompok ini, tingkat kerentanan mereka terhadap radikalisasi cukup tinggi. Dengan demikian, perlu kerja normatif berkelanjutan untuk meyakinkan mereka bahwa ideologi radikal tidak seharusnya dijadikan basis kehidupan personal, komunal, atau negara. Alih-alih, mereka mestinya ditawarkan alternatif pemahaman antar–agama yang inklusif.
Motivasi Mahasiswa Menjadi Radikal
Selanjutnya dalam bab kedua, Mun’im meneliti motivasi yang menggerakkan mahasiswa menjadi radikal. Di sini Mun’im menemukan bahwa mahasiswa yang telah terpapar ideologi ekstremis itu sebagai “radikal ogah-ogahan atau tidak sungguhan” (reluctant radicals) karena mereka sebenarnya tidak punya komitmen kuat untuk mendukung ektremisme kekerasan dan bisa keluar kapan pun mereka mau dari jaringan kelompok radikal. Para radikal ogah-ogahan ini baru mencicipi paham radikalisme dan mereka belum sepenuhnya membenamkan diri dalam cara pandang agama yang ekstrem dan eksklusif untuk membenarkan sikap-sikap militan dan aksi kekerasan.
Hasil temuan peneltian Mun’im di Indonesia dan sejumlah studi mutakhir tidak mendukung adanya keterkaitan sebab-akibat langsung antara radikalisme agama dan aksi terorisme dan kekerasan. Data-data empiris tidak mendukung adanya hubungan antara radikalisme dan aksi terorisme dan kekerasan; karena radikalisme agama tidak selalu berarti melakukan aksi terorisme.
Dalam penelitian Mun’im, secara garis besar, mahasiswa/i perguruan tinggi yang terlibat dengan kegiatan-kegiatan kelompok radikal di kampus bisa dikelompokkan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah kelompok mahasiswa/i yang memilih suatu jalur yang membuat mereka semakin radikal.
Kategori pertama umumya mereka yang bersikap militan dan cenderung memiliki cara pikir yang intoleran dan eksklusif. Di sejumlah lembaga Perguruan Tinggi Negeri (PTN), meskipun kelompok mahasiswa/i tidak mesti melakukan aksi-aksi ekstremis dengan rekan-rekan mereka, mereka memiliki komitmen yang kuat untuk membela keyakian mereka.
Lebih dari itu, mereka juga cenderung memisahkan diri dari orang lain, membatasi interaksi sosial dengan mereka yang tidak memiliki kesamanaan sistem keyakinan. Di sejumlah kampus, kelompok-kelompok mahasiswa/i militan semacam ini aktif terlibat dalam kegiatan studi dan dakwah, dengan tujuan merekrut anggota-anggota baru. Mahasiswa/i militan ini, yang biasanya menjadi pemimpin organisasi keagamaan di kampus, sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menghasilkan hal-hal yang bersifat radikal. Produk atau konten radikal ini kemudian disebarluaskan dan diteruskan melalui jejaring kelompok sosial, terutama melalui media sosial.
Kelompok kedua adalah kelompok radikal tidak sungguhan, yakni mahasiswa/i yang tidak menganut cara pandang radikal. Namun, mereka ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kelompok radikal dan berpakaian seperti kelompok radikal karena keinginan untuk menjadi bagian dari suatu jaringan kelompok sosial.
Mengenai radikal ogah-ogahan, kelompok ini bisa jadi tidak jauh berbeda dari kategori pertama dalam hal penampilan fisik. Namun demikian, dalam hal cara pandang dan tindakan keseharian, umumnya mereka lebih lunak, mencerminkan cara pikir anak-anak muda perkotaan yang banyak menghabiskan waktu mereka dalam kegiatan-kegiatan kesenangan pribadi.
Jadi kalangan anak muda radikal tersebut bisa disebut “radikal ogah-ogahan” karena mereka tidak sepenuhnya mendukung radikalisme, masih meragu, setengah-setengah, dan keterlibatan mereka dalam kelompok-kelompok radikal tidak didasari oleh keyakinan agama yang ekstrem. Mayoritas responden mengatakan bahwa mereka terpapar ideologi radikal selam kuliah di kampus. Saat ditanya apakah mereka aktif dalam kelompok-kelompok radikal di awal masa perkuliahan mereka, 39,9% menjawab tidak, sementara 30,4% menjawab belum lama ikut dalam jaringan kelompok radikal, dan 29,7% menunjukkan tidak mau lagi terlibat dalam jaringan kelompok radikal.
Tahapan Menuju Radikalisasi
Begitu pula, hasil kajian Mun’im memperlihatkan jalur, lintasan, dan tahapan menuju radikalisasi bercorak sangat dinamis dan beragam, bukan suatu tahap dan proses yang tetap dimana terorisme menjadi puncak manifestasi dari radikalisasi tersebut. Salah satu model radikalisasi yang sering dikutip adalah empat tahap radikalisasi yang dikembangan oleh Mitchell Silber dan Arvin Bhatt.
Tahap “pra-radikalisasi” merupakan periode awal proses radikalisasi sebelum seorang individu terpapar cara pandang kelompok salafi. Selama tahap “identifikasi diri”, seorang individu terpapar oleh pemicu internal dan eksternal, seperti trauma masa lalu, pengasingan sosial, perlakuan diskriminasi atau marjinalisasi, yang semua ini mendorongnya untuk melakukan perubahan dratis dalam hidupnya, termasuk keyakinan agama.
Tahap “indoktrinasi” muncul ketika individu itu semakin fokus untuk menganut ideologi dan cara pandang “salafi-jihadis” yang membenarkan aksi-aksi militan. Akhirnya, tahap “jihadisasi” muncul ketika individu-individu itu menempatkan diri mereka sebagai “para prajurit perang suci” dan menganggap jihad sebagai kewajiban agama mereka.
Menariknya Mun’im mempertanyakan relevansi teori Silber dan Bhatt untuk diteliti dan diuji secara seksama sebagai berikut. Pertama, mereka beranggapan bahwa radikalisasi semata masalah yang berhubungan dengan teorisme Islam dan mengabaikan kelompok-kelompok teroris lainnya. Kedua, mereka menyiratkan bahwa salafisme sebagai kendaraan utama radikalisasi, padahal salafisme tidak mesti versi Islam yang membenarkan aksi kekerasan. Seperti telah dibahas sebelumnya, tidak semua muslim menganut bentuk Islam yang radikal, dan tidak semua muslim radikal melakukan aksi-aksi ekstremis dan kekerasan.
Ketiga, Silber dan Bhatt juga gagal memahami kompleksitas faktor-faktor yang memicu radikalisasi, baik dari faktor agama maupun bukan agama. Berdasarkan temuan-temuan Mun’im, ia telah menunjukkan bukti-bukti bahwa banyak mahasiswa/i yang mengikuti jejaring kelompok radikal tidak semata karena faktor agama. Ada faktor-faktor lain yang berperan penting, seperti adanya rasa tidak enak atau tidak sopan jika mereka tidak menerima undangan para mahasiswa senior itu, atau rasa kewajiban untuk mengikuti anggota-anggota kelompok radikal yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan kepada mereka. Keempat, Silber dan Bhatt tampaknya tidak begitu paham saat membedakan motivasí dan konteks historis individu-individu yang terlibat dalam aksi-aksi radikal.
Temuan-temuan Mun’im juga memperlihatkan bahwa banyak mahasiswa/i yang terlibat dalam kelompok-kelompok radikal sebenarnya tidak mesti mengubah keyakinan agama secara signifikan. Mereka tentu bisa mengubah cara berpakaian, penampilan fisik mereka; namun itu tidak berarti bahwa mereka telah menganut keyakinan agama yang membenarkan cara-cara kekerasan ala jihadis. Banyak mahasiswa/i yang diwawancarai menyimpulkan bahwa aksi para jihadis militan tidak relevan di Indonesia karena situasi dan kondisinya tidak memerlukan “doktrin Perang Suci.” Ini sesuai dengan pandangan sejumlah sarjana yang baru-baru ini mempertanyakan kembali anggapan keterkaitan antara radikalisasi dan terorisme yang menyatakan bahwa mendukung satu keyakinan adalah satu hal dan bertindak atas dasar keyakinan itu hal lain lagi.
Deradikalisasi di Kalangan Mahasiswa
Sedangkan dalam bab ketiga, Mun’im meneliti tentang deradikalisasi di kalangan mahasiswa. Bab ini menilik kemampuan kalangan muda terpelajar radikal untuk melepaskan diri dari paham radikal tanpa harus mengikuti program-program deradikalisasi dan rehabilitasi yang dijalankan oleh negara. Mereka yang terpapar cara pandang radikal dikategorikan dalam bab sebelumnya sebagai “radikal setengah hati,” mengingat dasar keyakinan dan komitmen mereka tidak begitu kuat dalam cara pandang agama ekstrem dan eksklusif yang membenarkan cara-cara kekerasan. Mereka bisa saja mengaku “pembela Islam” yang menentang ancaman “budaya sekuler,” menciptakan garis pembatas antara Islam dan “yang liyan,” dan menuntut penegakan hukum Islam.
Namun demikian, cara pikir mereka tetap sama dengan anak-anak muda perkotaan yang menganut gaya hidup kosmopolitan. Ini menjelaskan kenapa mereka begitu gampangnya meninggalkan ideologi-ideologi radikal bila mereka merasa tidak nyaman lagi tanpa merasa tertekan dari luar. Menurut Mun’im, model “‘swa-deradikalisasi” (self-deradicalization) atau “deradikalisasi dari dalam diri sendiri” ini belum banyak diangkat. Ada kecenderungan di kalangan sarjana memandang radikalisme sebagai sesuatu yang sudah inheren, melekat dalam keyakinan agama yang membenarkan aksi-aksi kekerasan dan terorisme, seakan radikalisasi itu tidak bisa berubah lagi (irreversible).
Secara sederhana, deradikalisasi adalah kebalikan dari radikalisasi. Kalau radikalisasi merupakan “proses bagaimana individu menganut sistem keyakinan yang ekstrem, termasuk kesediaan untuk menggunakan, mendukung, atau memfasilitasi kekerasan sebagai metode untuk mengubah masyarakat”, maka deradikalisasi bisa didefinisikan sebagai “proses meninggalkan cara pandang ekstrem dan menyimpulkan bahwa cara pandang tersebut dan penggunaan metode kekerasannya tidak bisa dianut sebagai cara untuk mengubah masyarakat.”
Tiga Jenis Deradikalisasi
Dalam pespektif pakar deradikalisasi Omar Ashour, ada tiga jenis deradikalisasi: (1) Deradikalisasi menyeluruh (comprehensive deradicalization), yakni suatu proses de-radikalisasi yang berhasil melewati tiga tahap (ideologi, perilaku, dan organisasi yang diikuti); (2) Deradikalisasi substantif (substantive deradicalization), yakni suatu proses de-radikalisasi yang baru berhasil melewati dua tahap, ideologi dan perilaku, tidak organisasi yang dikuti (biasanya kegagalan pada tahap ini diikuti oleh perpecahan, munculnya faksi-faksi dan konflik internal organisasi, dan/atau penyingkiran pemimpin yang telah mengalami deradikalisasi), dan (3) deradikalisasi pragmatis (pragmatic deradicalization), yakni suatu proses de-radikalisasi yang berhasil mengubah perilaku dan organisasi, tetapi gagal đalam hal de-legitimasi ideologi kekerasan. Tipologi Ashour ini menarik karena mengungkapkan pola-pola perubahan dalam deradikalisasi dari satu jenis ke yang lain, yang artinya bahwa satu aspek penting dalam satu jenis khusus belum tentu penting dalam jenis lain. Deradikalisasi pragmatis, misalnya, tidak menganggap perubahan gagasan dan pandangan itu perlu.
Temuan-temuan penelitian Mun’im memperlihatkan bahwa sejumlah besar kelompok radikal setengah hati cenderung men-deradikalisasi diri sendiri tanpa tekanan dari luar. Deradikalisasi diri sendiri ini tidak berarti bahwa seorang individu akan begitu saja mengubah cara pandangnya; sebaliknya, ada faktor-faktor perjuangan batin, ketidakcocokan, dan kekecewaan personal. Jelas bahwa faktor-faktor kompleks yang melingkupi seorang individu mempengaruhi keputusannya untuk meninggalkan satu komunitas radikal.
Dengan menggunakan konsep dari Muhammed Elshimi, Mun’im memotret deradikalisasi yang dilakukan para mahasiswa radikal setangah hati ini dengan: deradikalisasi sebagai teknologi diri (technology of the self). Elshimi mengembangkan kerangka teori ini berdasakan konsep Michel Foucault “teknologi diri (technology of the self)” yang mendefiniskannya sebagai “serangkaian teknik dan praktik yang memungkinkan individu untuk mengubah diri mereka sendiri atau dengan bantuan orang lain, tubuh dan mental mereka, pikiran-pikiran, perilaku, dan keberadaan mereka.
Dengan kata lain, deradikalisasi tidak pernah terjadi begitu saja. Kapasitas diri dalam konsep ”de-radikalisasi diri” menyiratkan individu memang punya kapasitas untuk keluar dari jerat radikalisme; namun, itu juga tidak berarti menyangkal peran struktur kuasa masyarakat.
Dalam sesi wawancara mendalam, Mun’im menemukan sejumlah mahasiswa memberikan beragam alasan kenapa mereka memutuskan tidak terlibat lagi dalam kegiatan-kegiatan radikal. Seperti jawaban “tidak nyaman lagi” adalah jawaban yang paling banyak diberikan, yakni 25% responden. Mereka yang menjawab “tidak nyaman lagi” itu mengungkapkannya dalam berbagai cara. Satu tema yang sering muncul adalah bahwa mereka merasa ajaran radikal itu tidak sesuai dengan pemahaman Islam yang mereka peroleh sebelumnya. Ada informan dari Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, misalnya, menjelaskan bahwa ideologi HTI berbeda dari pemahaman Islam yang mereka terima dari orang tua, lingkungan dan sekolah mereka, yang umumnya ikut ajaran Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Dalam analisis Mun’im, swa-deradikalisasi bisa terjadi ketika seorang individu sudah tidak nyaman berada dalam komunitas radikal. Perasaan diawali dan dibatasi, atau dipaksa mengikuti standar-standar radikal bisa menyebabkan seorang individu tidak nyaman hidup dalam lingkungan itu. Kelompok radikal menghendaki anggota-anggotanya memiliki perekat internal, sebagai satu kelompok yang berbeda dari dunia luar. Namun, sikap eksklusif itu justru bisa menyebabkan para pengikutnya merasa lebih terkucilkan dari jaringan masyarakat sekuler. Ini tanggapan tipikal dari berbagai radikal setengah hati, meskipun ada yang beranggapan situasi tersebut merupakan konsekuensi alami yang harus mereka hadapi.
Di samping itu, sejumlah mahasiswa/i lain merasa frustrasi saat mereka tidak bisa mengikuti budaya populer, seperti film dan musik pop. Terutama sekarang, mahasiswa/i banyak yang menggemari budaya K-pop (musik pop Korea). Meskipun terlibat dalam HTI, banyak informan mengaku tetap mendengarkan jenis musik ini lewat media sosial, menonton video musik dan film drama Korea teranyar. Ada mahasiswi yang mengaku anggota gerakan HTI mengaku punya akun instagram supaya tetap bisa mengikuti idola-idola K-pop-nya. Meskipun di kalangan muda terpelajar itu tetap mengungkapkan rasa terima kasih kepada mentor-mentor HTI karena telah membimbing mereka menuju “jalan hidup yang benar”, yang lain menganggap batasan-batasan jalan hidup yang benar itu menjadi penyebab untuk keluar dari jaringan kelompok radikal tersebut.
Meskipun demikian, ketika memilih jalur-jalur deradikalisasi, para radikal setengah hati ini biasanya mengalami suatu tahap maju-mundur dalam keyakinan mereka. Sejumlah mahasiswa/i mengatakan bahwa ketika mereka dihadapkan pada tantangan ini kemungkinan untuk kembali mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok radikal sangat kuat dan nyata. Namun, kalau sudah menghirup udara kebebasan kehidupan keseharian dan menikmati hobi-hobi yang menyenangkan, ketertarikan mereka pada budaya populer global lebih kuat daripada dorongan untuk kembali ke kelompok radikal itu.
Studi ini menemukan bahwa mekanisme yang dilakukan kalangan mahasiswa/i untuk menghindari atau meninggalkan kegiatan-kegiatan kelompok radikal beragam dari satu orang ke yang lain. Sebesar 29,8% responden mengaku menghindari kelompok-kelompok radikal dengan cara menghentikan kontak hubungan dengan mahasiswa/i senior yang dulu menjadi mentor atau teman-teman yang selalu mengajak ikut dalam berbagai kegiatan mereka. Sebesar 58,4% berusaha menghindari kontak hubungan dengan cara sengaja menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatan lain. Kelompok responden lain sebanyak 39,7% menyatakan menghindari kelompok-kelompok radikal dengan cara verbal terang-terangan menyatakan penolakan mereka terhadap kegiatan-kegiatan radikal itu.
Kesimpulan Buku
Bagi Mun’im, temuan-temuan di atas memperlihatkan bahwa ciri-ciri keterlibatan kalangan muda terpelajar dalam kegiatan-kegiatan kelompok radikal tidak sesederhana yang dikira. Bisa disimpulkan juga bahwa radikalisme tidak bersifat permanen. Memasuki kelompok- -kelompok radikal membuka pikiran para mahasiswa/i mengenai Islam dan agenda politik yang diperjuangkannya, serta memberi mereka peluang untuk terlibat secara langsung dalam mencapai tujuan perjuangan tersebut. Begitu menyadari model pemahaman Islam dari kelompok-kelompok radikal seperti HTI, para mahasiswa/i itu mulai menilai apakah jenis Islam ini yang akan berkontribusi pada peradaban dunia di mana mereka hidup sekarang ini.
Temuan-temuan justru Mun’im mempertanyakan asumsi umum yang menghadirkan metode deradikalisasi sebagai bagian dari strategi penanganan terorisme, dengan tujuan utama mengurangi daya tarik ekstremisme di dunia Islam. Menurut Mun’im, kalau terlalu fokus pada program-program deradikalisasi, negara cenderung akan mengabaikan kemampuan kalangan muda terpelajar untuk menderadikalisasi dirí mereka sendiri.
Seperti sudah dibahas sebelumnya, ada mahasiswa/i menderadikalisasi diri karena penolakan mereka terhadap ideologi dan praktik dogmatis kelompok-kelompok Islam yang bersifat absolut. Melalui keterlibatan mereka dalam jejaring kelompok radikal, anak-anak muda yang terpapar paham radikal itu berpeluang untuk mempertanyakan dampak keterlibatan mereka dalam jejaring kelompok radikal itu bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Alhasil, mereka bisa menderadikalisasi diri tanpa harus merujuk pada jenis pemahaman agama yang digalakkan oleh negara.
Perhatian lebih besar mesti diberikan pada kemampuan anak-anak mudah itu untuk menderadikalisasi diri sendiri daripada hanya berfokus pada intervensi eksternal yang lazim yang dilakukan, khususnya dalam studi-studi pendekatan keamanan.
Penutup
Sebagai penutup, Mun’im menyuguhkan sebuah tawaran solutif yang patut kita dengarkan: Berlangsungnya swa-deradikalisasi di kalangan muda terpelajar menawarkan banyak pelajaran yang bisa dipetik, tidak hanya dalam menjelaskan bagaimana cara menerapkan program deradikalisasi yang efektif, tetapi juga dalam memahami isu-isu yang dihadapi seorang individu terpelajar yang terpapar paham radikal.
Permasalahan pentingnya adalah bagaimana dari awal cara mencegah kalangan muda Muslim yang menjadi sasaran empuk kelompok-kelompok ekstremis radikal, melalui edukasi pencerdasan publik, publikasi, dukungan dan perhatian, dan pendekatan alternatif (yang lebih beragam) terhadap keyakinan agama.
Perkuliahan di perguruan tinggi perlu lebih menekankan metode berpikir kritis dan keterlibatan yang ketat dengan berbagai subjek, termasuk agama. Namun demikian, deradikalisasi bukan hanya tugas pemerintah dan universitas; tetapi juga suatu tantangan bagi jejaring kelompok sosial yang membentuk pandangan dan sikap anak-anak muda.
Bagian kedua dalam buku yang sedang kita bahas ini, bagi saya sangat menarik. Sebab, selain meneliti radikalisasi di perguruan tinggi, Mun’m juga mengkaji terjadinya proses deradikalisasi di kalangan mahasiwa. Kebanyakan penelitian tentang radikalisasi hanya fokus pada berbagai aspek yang berhubungan dengan radikalisasi semata dan tidak mengulik adanya proses deradikalisasi secara internal atau swa-deradikalisasi pada para pelaku radikalisasi.
Para aktivis radikalisme dianggap tidak mampu melakukan deradikalisasi secara mandiri atau swa-deradikalisasi. Akibatnya solusi yang ditawarkan juga bersifat satu arah yakni bagaimana merubah keyakinan, pandangan atau ideologi para pelaku secara eksternal. Padahal sebagian pelaku radikalisasi telah terbukti mampu bersikap kritis terhadap gerakan-gerakan radikalisme dan ekstremisme yang mengantarkan mereka menolak atau keluar dari kelompok-kelompok gerakan radikalisme. Karena itu, sangat wajar jika Mun’im merekomendasikan agar swa-deradikalisasi inilah yang mesti ditanggapi lebih serius dalam studi-studi mengenai deradikalisasi.