Keluar dari Cangkang (1)
Oleh Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung
Buku terbaru Prof. Mun’im Sirry, “Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme”, sudah agak lama saya memilikinya; sejak 25 Maret 2024. Prof. Mun’im, mengirim untuk saya secara gratis. Alhamdulillah. Sejak saat itu saya berniat untuk mengulasnya, seperti saya lakukan atas beberapa karya Prof. Mun’im sebelumnya.
Seperti saya katakan sebelum ini, setidaknya ada dua hal yang senantiasa Prof. Mun’im sadarkan, tegaskan, dan elaborasi dalam semua karyanya. Yaitu kesadaran historis dan kepekaan epistemologis. Kesadaran historis memungkinkan kita mengetahui asal-usul kemunculan suatu doktrin keagamaan, sedang kepekaan epistemologis membuat kita dapat melihat kompleksitas di balik sesuatu yang tampak sederhana di permukaan. Kita akan lihat dua hal penting ini dalam “Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme” (selanjutnya:Think Outside the Box).
Think Outside the Box
Think Outside the Box terdiri dari tujuh bagian. Bagian Pertama: Al-Qur`an, Makna dan Lafaz. Bagian Kedua: Sejarah Teks Al-Qur`an. Bagian Ketiga: Tafsir dan Alkitab. Bagian Keempat: Nikah Beda Agama. Bagian Kelima: Membincang Pluralisme Agama. Bagian Keenam: Gagasan Pluralisme Cantwell Smith, dan Bagian Ketujuh: Catatan Serba-Serbi. Ditutup dengan Epilog: Gagasan Dapat Mengguncang Dunia.
Mungkin ada yang terbersit di benaknya, “Gak ada yang benar-benar baru. Kecuali Bagian Ketiga: Tafsir dan Alkitab, tema-tema lainnya relatif lama semua.” Seolah tahu akan ada yang berkata demikian, sejak awal, di Prolog Prof. Mun`im menyinggung soal kebaruan. “Kebaruan” demikian Prof. Mun`im, “dan orisinalitas itu adalah soal tingkatan: sangat orisinal, cukup orisinal, sedikit orisinal, dan seterusnya.
Bisa juga sesuatu bersifat orisinal dalam satu aspek, dan tidak orisinal dalam aspek lain. Sesuatu dikatakan orisinal atau baru bukan karena tak ada orang sebelumnya yang mengembangkan ide yang sama. Kebaruan dan orisinalitas dapat juga diperlihatkan dalam tema-tema yang sudah menjadi perbincangan umum. Yang diperlukan ialah ‘thinking outside the box‘ atau berpikir secara kreatif dan inovatif untuk menemukan argumen alternatif.”
Kemudian Prof. Mun`im mengajak kita untuk terus mencoba mencari penjelasan atau jawaban yang lebih baik atas persoalan-persoalan lama. Diakui oleh Prof. Mu’im bahwa tema-tema yang didiskusikan dalam buku ini tidak ada yang baru. Ratusan bahkan ribuan buku telah ditulis untuk mendiskusikan tema-tema tersebut. Beragam perspektif telah diajukan, diperdebatkan, dan/atau dinegosiasikan.
Orisinalitas Buku
Di bagian lain, masih dalam Prolog, Prof. Mun’im menegaskan, “Orisinalitas riset itu tidak semata ditentukan apakah temanya belum pernah dibahas orang lain. Tak ada hal baru di bawah kolong langit ini. Kebaruan dapat dihasilkan melalui berbagai cara. Bisa jadi karena kesimpulannya, bisa jadi karena pendekatannya, bisa jadi karena model pembacaannya.”
Seraya mengutip kata-kata Isaac Newton, “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants“, Prof. Mun`im memberi isyarat bahwa yang beliau lakukan dalam buku ini adalah antara lain mengembangkan temuan-temuan atau gagasan-gagasan sarjana sebelumnya.
Kata-kata Newton ini selaras dengan adagium dalam dunia akademis, bahwa kesarjanaan kita dibangun di atas pundak atau hasil kerja sarjana-sarjana sebelumnya. Yang diperlukan dari seorang pembelajar adalah kreativitas dan berpikir inovatif. Kreativitas dan berpikir inovatif, itulah yang dapat membuat kita mampu melihat lebih jauh. Namun, sejauh apa pun penglihatan kita, tetap saja kita harus tawaduk. Ingat kata-kata Newton, “Jika saya mampu melihat lebih jauh, maka hal itu dikarenakan saya berdiri di atas pundak orang-orang besar.”
Tentang Dua Surat yang Hilang
Sebagaimana telah disinggung, buku Think Outside the Box terdiri dari tujuh bagian. Sebisanya saya akan mengulas satu sub-bagian dari bagian-bagian itu. Dari bagian pertama saya akan mengulas “Tentang Dua Surat yang Hilang”. Dari bagian kedua saya tertarik dengan “Mushaf ‘Ali bin Abi Thalib”. Sedang pada bagian ketiga saya akan mengulas “Ashhab al-Kahf dan Tlaye Efesus”. Pada bagian keempat saya akan menyoroti “Kompleksitas Ijma'”.
Sementara itu, karena bagian kelima dan keenam secara umum berbicara tentang hal yang sama, yaitu pluralisme agama, maka untuk keduanya cukup satu ulasan saja. Dalam hal ini saya tertarik dengan “Pluralisme Agama dan Dialog”. Pada bagian terakhir, bagian ketujuh, saya akan mengutip sebagian dari “Surat ‘Cinta’ untuk Prof. Abad Badruzaman”. Sangat mudah dipahami mengapa sub-bagian ini yang saya pilih.
Tentang Dua Surat yang Hilang. Beberapa orang salah paham mengenai penggalan ini. Mereka mengira Prof. Mun’im punya pendapat bahwa ada dua surat hilang dari al-Qur`an yang hari ini kita baca. Pangkal kesalahpahaman itu adalah penggalan dari rekaman ceramah/diskusi yang Prof. Mun`im sampaikan di mana beliau menyebut soal “dua surat al-Qur’an yang hilang”. Ada yang “menggunting” rekaman ceramah tersebut.
Hasil “guntingan” itu kemudian disalahgunakan untuk memojokkan pemilik suara dalam rekaman. Seperti biasa, penggalan “guntingan” menghilangkan keutuhan dan konteks; di mana, kapan, tentang apa, apa saja penggalan sebelumnya, dan apa saja penggalan berikutnya. Semua itu hilang. Biang keroknya adalah si penggunting yang tidak bertanggung jawab!
Yang sebenarnya terjadi, kala itu Prof. Mun`im menyampaikan ceramah tentang dinamika dan maraknya kajian al-Quran di Barat. Dalam ceramah itu beliau bercerita tentang berbagai bentuk kajian al-Quran kontemporer, dari soal debat tentang konteks historis kelahiran al-Quran hingga kajian manuskrip. Beliau juga bercerita tentang seorang kawan sealmamater di Chicago yang coba merekonstruksi dua surat yang tidak ditemukan dalam “mushaf Utsmani”. Lalu apa respons Prof. Mun`im terhadap mereka yang menuduhnya mengatakan “ada dua surat yang hilang”? Begini:
“Bagi kaum beriman, apakah suatu teks dimasukkan atau tidak ke dalam Kitab Suci bergantung pada status teks apakah diimani sebagai wahyu atau tidak. Bagi mereka yang menerima mushaf Utsmani sebagai satu-satunya mushaf yang otoritatif, dua surat yang dikenal dengan nama al-Khal’ dan al-Hafd itu dianggap tidak memiliki status wahyu Ilahi. Dalam konstruksi pengetahuan kaum beriman, setelah Utsman “meresmikan” mushafnya sebagai Kitab Suci yang diterima, tak ada lagi mushaf yang diizinkan beredar. Disebutkan, mushaf-mushaf yang dimiliki para sahabat secara individual dibakar, termasuk mushaf yang dimiliki Utsman secara pribadi. Demikianlah narasi umum yang sudah menjadi pengetahuan luas.”
Di luar soal iman, kalau kita buka lembar-lembar sejarah yang relevan dengan masalah ini, kita akan disuguhkan wawasan bahwa proses penerimaan mushaf Utsmani sebagai teks tunggal lebih kompleks dari memori kolektif yang disebutkan dalam narasi umum. Sejumlah riwayat menyebut bahwa mushaf Ubay bin Ka’ab yang cukup dikenal di Syam memuat dua surat yang tidak ditemukan dalam mushaf Utsman itu.
Dari perspektif kesejarahan, Prof. Mun’im berpandangan bahwa mushaf Utsman merupakan teks jalan-tengah di antara mushaf Ubay dan mushaf Ibnu Mas’ud. Sementara mushaf Ubay memuat 116 surat, termasuk surat al-Khal’ dan al-Hafd, mushaf Ibnu Mas’ud hanya memuat 111 surat, minus surat al-Fatihah, al-Falaq, dan al-Nas. Semua tahu, mushaf Utsman terdiri dari 114 surat:
Memasukkan 3 surat yang hilang dalam mushaf Ibnu Mas ud, tapi tidak memasukkan dua surat yang terdapat dalam mushaf Ubay.
Mushaf Ubay
“Kasus” dua surat dalam mushaf Ubay itu dapat dijumpai dalam kitab-kitab ulama klasik. Prof. Mun’im menyebut beberapa di antaranya: al-Umm karya imam Syafỉ’i (w. 204/820), al-Tabaqat al-Kubra karya Ibnu Sad (w. 230/845), al-Musannaf karya Ibnu Abi Syaibah (w. 235/849), dan al-Mudawwanah karya Syahnun (w. 240/854). Maka itu, soal dua surat tersebut dapat direkonstruksi dengan mudah melalui sumber-sumber yang tersedia.
Di mana letak dua surat itu? Terdapat perbedaan. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran menyebut dua surat itu ada di antara surat al-Ashr dan al-Humazah. Sedang Fadhl bin Syadzan menyebut antara surat al-Takatsur dan al-Humazah. Beberapa ulama awal bahkan mengaku melihat eksistensi mushaf Ubay dengan dua surat tersebut di zamannya.
Ibnu Nadim (w. 385/995), dalam al-Fihrist-nya, menyitir kisah Abu al-Abbas al-Fadhl bin Syadzan, ulama abad ke-3 H/9 M dari kota Ray, yang mengaku melihat al-Qur’an yang dinisbatkan kepada Ubay bin Ka’ab. Juga, dikisahkan oleh Ibnu Nadim, seorang bernama Abdul Malik al-Anshari melihat dua surat dalam mushaf Ubay sebagai surat ke 103 dan 104, yang berarti setelah surat al-Takatsur dan sebelum al-Humazah. Dalam al-Quran yang ada sekarang, surat ke 103 adalah surat al-‘Ashr.
Tapi perlu ditambahkan, dalam kajian manuskrip al-Quran kuno hingga saat ini tidak ditemukan mushaf yang memuat surat al-Khal’ dan al-Hafd tersebut. Jika ulama abad ke-3 H sebagaimana disebutkan di atas sempat menyaksikan keberadaan mushaf Ubay, lalu di mana gerangan teksnya saat ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut masih teka-teki. Sejauh ini tak ada bukti material untuk mengafirmasi kisah yang dituturkan oleh Ibnu Nadim.
Memang terdapat riwayat yang memberikan kesaksian tentang dua surat dalam mushaf Ubay, termasuk juga bunyi teksnya. Tapi ulama-ulama belakangan, seperti al-Baqillani yang hidup di abad ke 5 H/ 11 M, bersikeras menolak ada mushaf yang memuat surat berbeda dari mushaf Utsmani, yang masih tersisa pasca pemerintahan Utsman.
Bagi al-Baqillani, mushaf Ubay tak berbeda dengan mushaf Utsman! Sejatinya al-Baqillani dan ulama-ulama belakangan sedang menegaskan keimanan bahwa semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad sudah dimuat seluruhnya dalam al-Quran yang dihimpun pada zaman Utsman. Artinya, bagi mereka “dua surat yang hilang” itu bukan wahyu, dan karenanya tidak dimasukkan dalam al-Qur’an.
Seperti telah disinggung Prof. Mun`im, soal ini memang soal iman. Ubay mengimani surat surat yang ia masukkan ke dalam mushafnya sebagai wahyu yang didengarnya dari Nabi. Di sisi lain, Ibnu Mas’ud tidak mengimani status kewahyuan tiga surat sehingga ia tidak memasukkanya ke dalam mushaf pribadinya.
Sampai di sini Prof. Mun`im memetakan beberapa poin. Pertama, ketiga versi (mushaf) al-Qur’an: versi Utsman, Ibnu Mas’ud dan Ubay, dihimpun berdasarkan keimanan. Ubay mengimani 116 surat, Ibnu Mas’ud hanya mengimani 111 surat, sedang Utsman mengimani 114 surat.
Akan tetapi penelitian historis tidak mengafirmasi atau menegasi faktor iman. Seorang historian hanya bertanya kenapa pada akhirnya mushaf Utsman yang menang (won the day). Seorang historian tidak mempercayai jawaban berdasar keimanan yang meyakini bahwa mushaf Utsman-lah yang merefleksikan wahyu llahi. Peneliti sejarah menelusuri faktor lain, misalnya: Utsman memiliki kekuatan politik dan aparatur kekuasaan untuk “memaksakan” al-Qur’an versinya. Ibnu Mas’ud dan Ubay tidak memiliki faktor itu.
Kedua, soal frasa “dua surat yang hilang”. Sudah jelas dua surat tersebut tidak ditemukan dalam mushaf al-Qur’an yang ada sekarang. Memang berbicara apa pun tentang al-Qur’an itu sangat sensitif. Yang disayangkan adalah sensitif tanpa dasar. Ketika mendengar ada dua surat yang hilang, dalam arti tidak terdapat dalam al-Qur’an saat ini, banyak dari kita merasa panas dingin. Kerap kali kita bersikap sensitif karena kita tak mengetahui apa yang menjadi diskursus dalam kitab-kitab klasik.
Dua surat yang hilang itu didiskusikan dalam banyak kitab klasik! Ulama kita dahulu juga terlihat “slow” menyikapi kata “hilang” atau “dihilangkan”. Tentang surat al-Khal dan al-Hafd yang “hilang” itu, al-Harits al-Muhasibi (w. 243/857) “hanya” berkomentar seperti ini, “Tulisannya memang dihilangkan atau dihapus dari al-Qur’an, tapi masih terjaga dalam hati.”
Ketiga, kenapa dua surat itu mash terjaga di hati? Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa para sahabat seperti Umar, ‘Ali, dan lainnya menjadikan dua surat itu sebagai bacaan qunut dan doa dalam salat witir. Kata Prof. Mun’im, beberapa ulama memang menyebutkan yang dibaca Umar dalam qunutnya adalah “dua surat”. Jelas, mereka menyebutnya “DUA SURAT,” meski tidak masuk dalam mushaf Utsmani.
Dengan paparan di atas, Prof. Mun’im berharap kebiasaan tidak sedikit orang memviralkan penggalan ceramah untuk tujuan menyebarkan kebencian, dapat dihentikan. Apa yang disampaikannya merupakan sebuah perspektif. Jika Anda tidak setuju, ajukan argumen tandingan. Menyebarkan potongan atau screenshot yang sengaja diplintir, bukan tindakan yang terdidik, pun tidak bertanggungjawab. Biasakan, demikian Prof. Mun`im mengajak, membaca tulisan atau mendengarkan ceramah seseorang secara utuh. Jangan setengah-setengah; tidak sepenggal-sepenggal. Setelah itu, silakan ajukan kritik dan tunjukkan sisi lemahnya.
Sekaitan dengan “dua surat yang hilang” ini, mari baca lagi kitab-kitab karya ulama terdahulu secara kritis. Membaca kitab-kitab klasik akan membuka wawasan bahwa keragaman pandangan dan riwayat merupakan bagian tak terpisahkan dari kekayaan khazanah intelektual yang diwariskan ulama-ulama dahulu. Harapannya, jangan sampai kekayaan khazanah Islam tertutup oleh sikap kita yang mewarisinya. Dunia keilmuan yang diperkenalkan dan dikembangkan ulama-ulama terdahulu tidak sesempit tempurung. Kita tidak akan merasakan luasnya cakrawala keilmuan kalau kita masih berkutat seperti “katak dalam tempurung.”
Kesadaran Historis dan Kepekaan Epistemologis
Seperti saya katakan di endorsement untuk buku “Think Outside the Box” ini, karya-karya Prof. Mun’im, termasuk “refleksi”-nya tentang “Dua Surat yang Hilang” ini, bercirikan dua hal: kesadaran historis dan kepekaan epistemologis. Yang pertama (kesadaran historis), mendorong kita mengetahui asal-usul kemunculan suatu doktrin keagamaan.
Dalam hal ini, apa yang kita kenal sekarang sebagai mushaf Utsmani tidak muncul begitu saja. Dulunya ada “kisah persaingan” yang melibatkan setidaknya tiga mushaf: mushaf Ubay, mushaf Ibnu Mas’ud dan mushaf Utsman sendiri. Yang disebut terakhir memenangkan “persaingan” itu. Dalam kacamata para historian, kemenangan itu tak lepas dari “infrastruktur” yang dimiliki Utsman kala itu: kekuatan politik dan aparatur kekuasaan. Ubay dan Ibnu Mas’ud tidak memiliki “infrastruktur” itu.
Ciri yang kedua (kepekaan epistemologis) amat beririsan dengan yang pertama. Ia membantu kita melihat kompleksitas di balik sesuatu yang tampak sederhana di permukaan. Setidaknya ada tiga nama sahabat senior di balik “kisah” mushaf Utsmani: Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Utsman sendiri. Dua yang disebut pertama juga merupakan pemilik mushaf. Mushaf Ubay memuat 116 surat. Mushaf Ibnu Mas’ud memuat hanya 111 surat. Dan kita tahu, mushaf Utsman memuat 114 surat.
Artinya, mushaf Ubay memuat lima surat lebih banyak dari mushaf Ibnu Mas’ud dan dua surat lebih banyak dari mushaf Utsman. Karena pada akhirnya mushaf Utsman yang “won the day”, maka dua surat yang merupakan “kelebihan” mushaf Ubay atas mushaf Utsman itulah yang mencuat menjadi perbicangan. Perbincangan itu bukan perbincangan “kemarin-sore” melainkan perbincangan klasik. Prof. Mun’im menyebut beberapa karya klasik yang menyitir dua surat dalam mushaf Ubay itu, seperti al-Umm (Imam Syafi’i), Thabaqat al-Kubra (Ibnu Sa’ad), al-Mushannaf (Ibnu Abi Syaibah), al-Mudawawnah (Syahnun), dan al-Fihrist (Ibnu Nadim).
Pingback: Mushaf Ali bin Abi Thalib - DUNIA PENDIDIK