Opini

Buya Syafii dan Flexing Tokoh Agama

Advertisements

Oleh: Syaefudin Simon, Wartawan Senior

Buya Syafii Maarif terkenal karena kesederhanaan hidupnya. Berkali-kali Buya Syafii menolak berbagai tawaran dari Presiden Jokowi untuk menduduki jabatan negara atau komisaris di badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergaji tinggi.

Tapi di sekitar kita, banyak orang yang ingin terlihat kaya. Kemewahan hidupnya diperlihatkan melalui sosial media seperti Instagram, Tiktok, Twitter, FB dan lain-lain. Mereka suka pamer kekayaan. Istilah sosmednya, mereka suka flexing.

Belum lama ini, dunia sosmed ramai karena flexing seorang pegawai negeri sipil atau ASN (aparatur sipil negara). Di sosmed ia pamer rumah dan mobil mewah, yang nilainya mahal. Di luar kemampuan finansial seorang ASN. Akibatnya, ia ditangkap polisi. Di depan pengadilan, terbukti kemewahan hidupnya berasal dari korupsi.

Flexing Tokoh Agama

Yang ironis, kini flexing kemewahan itu, dilakukan pula oleh sebagian tokoh agama, misalnya ulama, pendeta, pastor, dan lain-lain. Seperti halnya ASN korup yang flexing, pemuka agama yang suka flexing pun, kebanyakan korup. Bukan korup uang negara atau uang rakyat. Tapi korup “uang” Tuhan.

Korup “uang” Tuhan? Yoi! Caranya: mereka “menjual” Tuhan. Mereka menjanjikan sorga bila orang atau jamaahnya memberikan sumbangan untuk agama atau membangun tempat-tempat ibadah serta sarana yang terkait dengan menambah keimanan terhadap Tuhan. Tapi “di belakang” uang itu ternyata masuk kantong sang pemuka agama. Modus korup lainnya, memasang tarif “wah” untuk berdakwah. Mahalnya seperti mengundang pedangdut Lesti Kejora. Sampai panitia tablig harus menguras habis kas masjid yang dikumpulkan bertahun-tahun untuk membayar sang daitis (dai artis) itu.

Seorang Evangelist (pengkhotbah), Reinhard Bonnke, mengatakan: When you do business with people you need money. When you do business with God you need Faith. Ketika anda berbisnis sesama manusia, kata Reinhard Bonnke, maka perlu money (uang, karensi, atau surat berharga). Tetapi ketika anda melakukan bisnis dengan Tuhan, maka perlu faith (kepatuhan, keyakinan, atau iman).

Bonnke melanjutkan: Faith is the currency of the Kingdom of God. Keimanan adalah karensi (tiket atau alat tukar) menuju Kerajaan Tuhan (sorga). Apa yang dikatakan sang evangelist itu tepat. Lalu dimanfaatkan “koruptor uang Tuhan” untuk kepentingan pribadinya.

Tak sedikit pemuka agama – seperti ulama, pendeta, pastor, biksu dan lain-lain melakukan perbuatan macam itu. Mereka berfoya-foya memakai uang umat untuk membeli rumah mewah, supercar bahkan jet pribadi.

Para pemuka agama itu “menjual” Tuhan untuk kepentingan pribadi. Mereka menyatakan, jika “jamaah” memberi sumbangan untuk kepentingan agama, maka akan mendapat imbalan yang berkali-kali lipat dari Tuhan.

Tak sedikit tokoh agama tadi diadukan jamaahnya atau masyarakat yang terlanjur mempercayainya. Di pengadilan, mereka terbukti menyalahgunakan uang tersebut untuk membeli rumah mewah, mobil mewah, dan benda-benda lain yang harganya wah.

Kasus di Amerika

Modus “bisnis agama” semacam ini pernah menggemparkan Amerika. Pasangan pendeta Kenneth & Gloria Copeland, duo pimpinan Gereja Kharismatik, minta jamaahnya mengumpulkan uang untuk membeli pesawat jet. Pesawat ini untuk perjalanan khotbah, katanya; untuk menyelamatkan manusia dari neraka.

“Tuhan Jesus telah menyuruhku untuk membeli pesawat jet,” ujar pria kelahiran 1936, yang tinggal di rumah mewah di Texas ini. Kenneth yang buku-bukunya best seller di AS tersebut, mengaku sering bertemu dengan Jesus. Jamaah Gereja Kharismatik pun percaya. Ternyata, jet itu kemudian diketahui publik, untuk pentingan pribadi Kenneth dan keluarganya.

Gloria, istri Kenneth , bergerak lebih jauh. Ia mendekati Donald Trump. Ia menjual jamaahnya kuntuk menjadi pendukung Trump. Karena ia terkenal, jamaahnya banyak, Trump pun menjadikan Gloria sebagai pendeta keluarga besar Trump. Lalu Gloria berkampanye untuk Trump, sekaligus menjadi buzzernya. Trump pun menang Pilpres AS. Walhasil, dagangan “iman” Kenneth & Gloria Copeland laris manis. Pasangan pendeta ini pun kaya raya. Tak peduli kini banyak orang mencibirnya.

Kasus di Turki

Di Turki, ada “tokoh agama” yang khotbah lisan dan tulisannya, sangat terkenal di dunia Islam. Namanya Harun Yahya, alias Adnan Oktar. Buku-buku karya Harun Yahya best seller di Indonesia. Pria kelahiran tahun 1956 ini, berkat kepintaran menjual agama dan Tuhan, kaya raya dan mempunyai harem untuk menampung puluhan wanita cantik, sebagai pemuas nafsu seksualnya.

Harun Yahya kemudiaan ditangkap kepolisian Turki dengan tuduhan melakukaan penipuan dan penyesatan ilmiah. Pada 11 Januari tahun 2021, Harun Yahya dijatuhi hukuman penjara 1075 tahun oleh Pengadian Turki.

Bagaimana di Indonesia? Adakah tokoh agama yang kelakuannya mirip Kenneth Copeland dan Harun Yahaya? Jawab sendiri dalam hati!

10 Ciri Flexing Tokoh Agama

Prof. Dr. Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, memberikan ciri-ciri “flexing penjual tuhan dan agama” tersebut. Inilah 10 cirinya.

Pertama, mereka menjanjikan kepada pengikutnya, bila menyumbang, akan mendapatkan balasan yang berlipat dari tuhan.

Kedua, sang tokoh agama menggunakan pendekatan emosi. Pendekatan ini jos untuk orang-orang yang hidupnya problematis dan menghadapi kesulitan.

Ketiga, menggunakan uang dari “jualan agama dan tuhan” untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kaum fakir miskin.

Keempat, si tokoh sangat konsumtif. Hidup mewah dan suka pamer kekayaan.

Kelima, ceramah atau khotbahnya menggebu-gebu dan meyakinkan seperti motivator. Jauh dari menyejukkan hati.

Keenam, ia punya massa dan memposisikan dirinya sebagai seorang artis. Hidup mewah dan glamor.

Ketujuh, memasang tarif mahal untuk melakukan pelayanan; atau mengisi pengajian.

Kedelapan, ia menjual ayat sesuai kepentingannya. Apakah itu ayat sedekah, ayat harta, ayat politik, ayat kepemimpinan, dan lain-lain. Sesuai pesananlah!

Kesembilan, mengaku-ngaku dapat mimpi, dapat ilham dan petunjuk Tuhan.

Dan kesepuluh, ucapannya berbeda jauh dengan kelakuannya. Istilah Jawa, ia kyai Jarkoni. Hanya ujar tapi tidak nglakoni; ucapannya berbeda dengan tindakannya.

Sikap Buya Syafii

Buya Syafii jauh dari semua itu. Ia menolak jabatan negara yang memberinya gaji besar. Bila dapat rejeki, Buya berbagi dengan orang miskin. Buya pun rajin sedekah. Bahkan membawa sendiri sedekahnya ke orang miskin sampai jauh ke pelosok Gunung Kidul, DIY.

Idola Buya Syafii – seperti sering beliau tulis di media massa dan beliau katakan di berbagai ceramah – adalah Pak AR atau KH Abdur Rozaq Fachrudin, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1968-1990). Buya Syafii menyontoh kehidupan Pak AR yang sangat sederhana. Sampai akhir hidupnya, Pak AR tidak punya rumah pribadi.

Dengan mata berkaca-kaca, Buya Syafii dalam sebuah ceramah menyatakan – ampun Pak AR saya masih merasa membutuhkan rumah pribadi. Sedangkan Pak AR telah memotong tali yang mengikatnya di bumi, untuk terbang ke Langit.

Rumah Pak AR tak ada di bumi. Tapi di sorga! Kata Buya. Semoga Buya berumah di sorga, berdampingan dengan rumah orang yang dikaguminya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *