Tradisi Keilmuan Islam
Oleh: Prof. Dr. Media Zainul Bahri, Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta
Umumnya kaum muslim belajar/mendalami Islam dalam 3 model. Apa yang saya maksud “belajar” atau “mendalami” agama Islam adalah cara atau proses (aspek metodologis) ketika (sedang) mendalami ilmu Islam, cara memperlakukannya, dan konsekwensi setelah mendapatkan ilmu-nya.
Tradisi Keulamaan
Pertama, kita menyebutnya sebagai “tradisi klerik” atau “tradisi keulamaan”. Ilmu, termasuk ilmu memahami Islam, dalam tradisi ini dianggap “sakral”, disebut “nur” atau cahaya (al’ilmu nuur: ilmu adalah cahaya) karena berasal dari Allah. Karena itu dalam proses “menerima” atau “mendapatkan” ilmu dianjurkan untuk berwudhu, menyucikan jiwa dari kotoran-kotoran jiwa, dan harus punya akhlak terhadap ilmu, supaya mendapat ilmu yang manfaat dan berkah. Mempelajari ilmu Islam berarti sedang “beribadah”.
Tujuan mencari/mempelajari ilmu agama adalah untuk “memperkuat iman” atau mengajak masyarakat muslim untuk berperilaku sesuai ajaran Islam (Islami), atau pada level sosio-politik untuk membentuk/mengembangkan masyarakat muslim. Tujuan iman ini sangat penting dalam tradisi klerik. Jangan sampai orang belajar/mendalami agama, iman Islamnya malah copot, malah ragu-ragu terhadap kebenaran Islam, atau malah semakin jauh dari Tuhan. Jangan sampai kayak gitu. Belajar Islam harus menghasilkan iman yang semakin kuat dan perilaku yang semakin saleh.
Ciri Pokok Tradisi Keulamaan
Selain untuk memperkuat iman, ciri pokok tradisi keulamaan adalah bahwa “kebenaran Islam sudah final”, “sudah mutlak”, tidak boleh diganggu gugat. Jadi, ilmu (agama) dan iman adalah satu. Belajar agama ya untuk memperkuat agama, bukan malah “meragukan kebenaran agama”. Karena itu, tidak ada tradisi kritis, dalam arti tidak ada kebebasan akademik, karena data-data keilmuan, ilmu Islam itu sendiri dan Islam itu sendiri (sebagai agama) diperlakukan sama.
Meskipun ada tradisi kritik atau tradisi perbedaan pendapat, semuanya tetap dalam konteks “kebenaran Islam”. Kritik dilakukan terhadap paham, pandangan, dan aliran yang dianggap “telah menyimpang” dari kebenaran Islam, atau terhadap pandangan yang “salah paham” terhadap Islam.
Dalam konteks ini, semua sarjana non-muslim yang mendalami Islam disebut “orientalis”, dan orientalis umumnya selalu dipandang “buruk”, “negatif”, “jahat” karena dianggap salah paham tentang Islam, atau tidak paham Islam. Seorang orientalis akan dipuji-puji oleh tradisi keulamaan kalau hasil dari studi Islam mereka dianggap menguntungkan Islam atau memperkuat Islam. Mereka akan bilang, “Nah orientalis model begini inilah yang paham Islam atau mengakui kebenaran Islam. Tinggal kita tunggu saja dia baca syahadat”.
Ciri lain yang sangat menonjol pada tradisi keulamaan adalah bahwa tradisi ini sangat menghormati para ulama, apakah ulama yang sangat kuat ibadahnya, ulama yang mendalam ilmunya dan ulama penghasil ilmu seperti para imam-imam, baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah. Penghormatan terhadap para ulama ini, yang seringkali berlebihan, dalam beberapa aspek “lebih penting” atau “lebih utama” dari ilmu yang kita dapatkan dari mereka. Karena itu motto yang masyhur adalah “Adab di atas ilmu”.
Sikap Kritis Terhadap Ulama
Dari fenomena penghormatan dan adab terhadap ulama, maka tidak ada sikap kritis terhadap ulama, termasuk terhadap imam dan ulama besar. Juga umumnya kurang kritis terhadap sumber kitab-kitab (klasik dan modern) yang udah dianggap pasti muktabar. Biasanya banyak kyai, gus atau ustadz akan ngomong, “Anda siapa berani-berani mengkritik imam Syafi’i? “Anda siapa berani mengkritik kitab A atau kitab B?” “Anda punya ilmu apa berani mengkritik imam Asy’ari, imam Ghazali, dan imam Bukhari? Ilmu anda belum ada sekuku-nya dibanding imam-imam itu!” Malah ada seorang ustadz yang populer di medsos menyatakan, “Awas ya untuk follower saya, kalau kamu berani mengkritik Syekh A atau Syekh B, kamu akan saya unfriend! Kamu gak punya adab! Ilmu kamu gak ada apa-apanya dibanding mereka!”
Jika pun harus mengkritik, maka biasanya kritik muncul karena problem identitas komunal dan perbedaan akidah, bukan atas dasar mencari kebenaran akademik. Misalnya orang Sunni mengkritik orang-orang Syiah, begitu juga sebaliknya. Kelompok Sunni A yang punya guru A mengkritik kelompok Sunni B yang punya guru B. Ormas Islam A mengkritik akidah ormas Islam B, dan begitu sebaliknya. Jadi, kritik itu sebenarnya karena ada problem kepentingan identitas komunal dan perbedaan akidah, bukan pada area akademik.
Meskipun orang-orang pada tradisi keulamaan sering menyatakan bahwa mereka tidak memutlakkan pendapat ulama tapi pada praktiknya pandangan-pandangan keagamaan para imam dan ulama selalu dianggap benar, diikuti, terus didakwahkan, dan tidak ada niat dan keberanian untuk mengkritik dan merevisi pandangan mereka.
Ciri yang lain lagi adalah soal silsilah keilmuan. Dalam tradisi keulamaan, silsilah keilmuan juga sangat penting untuk menunjukkan bahwa ilmu Islam yang ia pelajari sanadnya nyambung ke para imam besar, bahkan hingga kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu, maka ia merasa punya otoritas dan legitimate untuk mengajarkan ilmu itu. Dalam tradisi keulamaan, ilmu-ilmu Islam konvensional sejak masa klasik hingga era modern ditransmisikan secara verbatim dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga menjadi tradisi yang mapan, dan tradisi keagamaan itu juga harus dipertahankan, jangan dikritik! Apalagi dihilangkan!
Dalam tradisi keulamaan, umumnya ilmu agama juga dibagi dua: yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat tentu saja yang dapat memperkuat iman, menjaga akidah “yang lurus” dan mengembangkan akhlak yang mulia. Ilmu yang tidak bermanfaat adalah yang sebaliknya. Pertanyaannya: memang ada ilmu yang tidak bermanfaat?
Tradisi Kesarjanaan
Kedua, saya menyebutnya sebagai “tradisi scholarship” (kesarjanaan) atau “Islamic scholarship”, dalam pengertian positivistik. Menurut saya, studi ilmiah Islam (Islamic studies, dirasah islamiyyah) pasti bersifat positivistik, dalam arti: (1) datanya empiris (sumber atau referensi pasti empirik); (2) data-data itu, apakah normative Islam atau practised/historical Islam (atau living Islam) bisa dijelaskan secara logis dan rasional, (3) ada sikap kritis, (4) ada pendekatan atau teori, (5) eksploratif, (6) bisa diuji/diverifikasi oleh komunitas ilmuwan yang ahli pada bidang yang didalami.
Ciri-ciri ini semua juga ada pada tradisi keulamaan tapi bedanya, pertama, cara memperlakukan materi keilmuan (data), dan kedua, pada sikap kritis, pendekatan dan teori. Perbedaan ini dalam banyak hal seringkali terlihat mencolok yang akhirnya tidak ketemu/tidak nyambung jika terjadi perdebatan antara orang yang belajar agama dalam tradisi keulamaan dengan tradisi kesarjanaan. Loh emang sarjana (scholar) dengan ulama (teolog) beda ya? Menurut saya beda. Dalam beberapa hal kadangkala bedanya jauh.
Sikap Kritis Tradisi Kesarjanaan
(1-Pertama), materi keislaman yang dianggap sebagai referensi atau sumber (dalam beragama) adalah data dan diperlakukan sebagai data akademik. Data-data itu tidak perlu disakralkan, dicium-cium atau selalu dipuji-puji. Data itu dikaji dan dibaca secara kritis. Terhadap ayat-ayat Quran atau hadis nabi (jika mengkaji itu) tentu saja dihormati sebagai kitab suci, ada “adab yang pantas” terhadap keduanya, tetapi tetap diperlakukan sebagai teks yang muncul abad ke-7 Masehi dan memiliki banyak sekali konteks, pemikiran dan penafsiran, yang sangat mungkin menghasilkan “pembacaan baru” yang terus menerus berbeda dari yang sudah ada.
Semua pemikiran dan penafsiran para ulama, termasuk pemikiran dan keyakinan mereka terhadap kitab suci dan hadis, harus dibaca secara kritis dan dianggap relatif kebenarannya. Tidak ada yang mutlak benar, karena mereka adalah “orang-orang” (rijal) yang sedang menafsir, bukan Tuhan. Dalam ilmu agama, konon yang mutlak hanya Tuhan, tapi bagaimana kita tahu bahwa satu pemikiran atau keyakinan adalah ilmu/kehendak Tuhan yang mutlak? Kita tahunya kan dari (“bacaan”-“penafsiran”) manusia.
Sikap kritis terhadap data/referensi dan penulisnya, dalam tradisi scholarship, adalah bagian dari “kebebasan akademik”. Ilmu adalah hasil ciptaan atau konstruksi orang (ulama atau sarjana) yang lekat dengan subyektifitasnya dan ada banyak konteksnya ketika ilmu itu muncul, yang sangat mungkin diapresiasi, juga sangat mungkin dikritik. Dalam tradisi kebebasan akademik, tidak ada yang kebal kritik. Ilmu itu hasil ciptaan orang, masak ilmu mau disakralkan/ atau diislamkan? Meskipun disebut “Ini ilmu dari Tuhan” atau “ini ilmu Tuhan” tapi siapa yang ngomong? Siapa yang menjelaskan? Siapa yang memahami? Orang! Bukan Tuhan.
Tesis-Anti-Tesis
Ilmu itu, termasuk ilmu agama, “semakin disekulerkan semakin berkembang”. Ada ilmu baru atau teori baru namanya Tesis. Kalau ada yang tidak setuju dengan Tesis itu, ia tulis Tesis baru untuk mengkritiknya, namanya Anti-Tesis. Kalau ada orang yang mendamaikan Tesis dan Anti-Tesis namanya Sintesis. Tetapi Sintesis itu sebenarnya Tesis baru. Siklus atau sirkulasi Tesis-Anti-Tesis dan Sintesis itulah yang membuat ilmu pengetahuan berkembang. Itu dilakukan di Barat.
Kalau ilmu sudah disakralkan atau diislamkan atau dikristenkan atau diYahudikan atau diHindukan, ilmu itu akan “jumud” alias “mandek” karena tidak ada sirkulasi tiga Tesis di atas. Di negara-negara sekuler ilmu pengetahuan terus diupdate dan berkembang, karena itu temuan-temuan dan inovasi terus bermunculan. Sebagian masyarakat muslim itu kadangkala bersikap hipokrit: Barat dibenci, tapi putera-puteri mereka, ribuan pemuda muslim tiap tahun belajar ilmu pengetahuan, ilmu agama dan sains ke Barat.
Sikap kritik-mengkritik dalam tradisi scholarship biasa saja. Sebagai manusia beradab tentu saja kita harus menunjukkan sikap hormat terhadap sesama, apalagi terhadap ulama. Tapi soal kritik-mengkritik “pemikiran” harus dipisahkan dengan sikap menghormati. Saya menikmati kritik Nasr Hamid Abu Zayd terhadap imam Syafi’i. Ada 14 poin saya catat kritik Nasr Hamid.
Sarjana-sarjana muslim modern yang mendalam ilmu keislamannya dan sangat dihormati seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Hassan Hanafi, Fazlur Rahman dll dikritik keras melalui satu karya ilmiah, termasuk dikritik oleh murid-muridnya. Itu biasa aja. Dulu ada profesor dari UIN Imam Bonjol, Profesor Eka Putra Wirman, melalui bukunya “Restorasi Teologi, Meluruskan Pemikiran Harun Nasution (2013)”, mengkritik tajam Pak Harun yang sangat dihormati oleh murid-muridnya di banyak UIN/IAIN. Menurut Eka Putera, banyak pandangan dan kesimpulan Pak Harun soal Abduh dan Muktazilah yang keliru/salah. Kritik itu positif, ilmiah dan menyegarkan.
Tapi dalam tradisi keulamaan sekarang ini agak sulit mentradisikan kritik-mengkritik. Ada perasaan takut kualat, takut ilmunya tidak berkah dan takut ini-itu untuk mengkritik ulama-ulama yang dihormatinya. Atau karena memang bersifat doktriner maka terpikirkan pun tidak untuk mengkritik. Yang terjadi adalah manut dan taklid aja dan terus mencari-cari pembenaran ilmiah untuk membenarkan para ulama itu, meskipun tidak sedikit pandangan mereka sudah tidak relevan lagi di masa kini. Padahal ulama-ulama dulu seperti Ibn Rusyd dan al-Ghazali saling mengkritik.
“Kebenaran” dalam Tradisi Kesarjanaan
(2-Kedua), Dalam tradisi scholarship, soal kebenaran (kesempurnaan) Islam yang bersifat final sebenarnya adalah “tafsir” para ulama dan sarjana soal itu. Karena itu ada banyak pandangan soal ini. Para ulama klasik dan Abad Pertengahan menyatakan bahwa karena kebenaran Islam bersifat final, maka semua ajaran, doktrin dan aspek Islam bersifat kaafah, tidak perlu lagi mengambil referensi dari luar Islam.
Tapi bagi Gus Dur dan banyak sarjana muslim modern beda lagi. Justru yang dimaksud kesempurnaan Islam itu adalah kesediaan orang-orang Islam untuk terus menerus menerima nilai-nilai yang baik dari luar Islam. Bukan malah menutup diri. Itu yang terjadi pada masa keemasan Islam dulu. Mereka membuka diri terhadap berbagai ilmu dan pengetahuan dari kebudayaan lain.
Bagi seorang Profesor seperti Nurcholish Madjid misalnya, yang dulu mengkampanyekan “pembaharuan, kebebasan berfikir, idea of progress dan sikap terbuka”, kebenaran tidak pernah bersifat final. Muslim dengan sikap rendah hati harus terus menerus mencari kebenaran dengan sikap lapang dada dan terbuka. Cak Nur mengutip ayat Quran yang memerintahkan kaum Muslim untuk “mendengarkan ide-ide dan mengikuti mana yang paling baik” (yastami’unal qawla fayattabi’una ahsanahu).
Termasuk jika ada ide atau pemikiran yang terdengar “sangat aneh” sekalipun, harus diberi ruang untuk dinyatakan. Karena banyak sekali pikiran-pikiran aneh dan gila yang semula dituduh sesat, palsu dan menyesatkan, ternyata di kemudian hari terbukti benar dan diikuti oleh banyak orang terpelajar.
Perbedaan Dua Tradisi
Di sini tradisi keulamaan dan kesarjanaan sering tidak ketemu dan tidak nyambung. Bagi tradisi keulamaan, “Islam sudah bersifat final”, tidak boleh diutak atik lagi. Padahal sebenarnya yang disebut “Islam bersifat final” itu adalah “penafsiran ulama”. Tapi ini kan Quran loh yang menyatakan! Ini Nabi yang menyatakan! Iya betul, tapi mengapa “penafsiran” orang (ulama dan sarjana Muslim) terhadap ayat-ayat dan hadis soal itu malah berbeda-beda, tidak seragam. Karena pada dasarnya yang menafsirkan adalah orang, bukan Tuhan. Qur’an ternyata menghasilkan multi tafsir dan multi pemikiran.
Karena itu, ketika ada perdebatan antara seorang Profesor Studi Islam dengan mahasiswa Pascasarjana di Timur Tengah, saya lihat gak nyambung, karena beda paradigma dan beda metodologi. Yang satu berangkat dari tradisi scholarship dengan data-data Islam klasik dan Barat yang kaya sekali, yang satu selalu memandang dari sisi “iman” dan “akidah” (meskipun merujuk kepada referensi). Gak nyambung.
Sama seperti seorang Kyai, yang mendalam ilmu agamanya, yang punya sikap akademik yang kritis yang menulis satu buku akademik tentang nasab Ba’alawi yang terputus kepada Nabi Muhammad. Ia menyajikan data-data primer dan sekunder yang sah secara akademik. Tapi direspons oleh tradisi keulamaan bahwa Kyai ini adalah “agen Yahudi”, “menghujat dan menyakiti Nabi”, “menghujat keturunan nabi”, “Su’ul adab” dan hujatan-hujatan yang basisnya adalah “keyakinan” bukan “ilmu”.
Kalau tidak suka dengan Tesis Kyai itu bikinlah karya akademik baru dengan data-data baru yang bisa membantah Tesis itu. Data diadu dengan data. Pendekatan dan metodologi dilawan dengan pendekatan dan metodologi. Tapi umumnya tradisi keulamaan seringkali merespons dengan basis “keyakinan” dan standar “akhlak agama” dan seterusnya.
Tradisi keulamaan juga suka menghujat, menyesatkan, menyerang secara personal dan mengkafirkan model-model studi Islam yang basisnya adalah tradisi scholarship. Dalam sejarahnya, tradisi keulamaan memang begitu. Di antara ulama-ulama Asy’ariyah, Muktazilah dan Syiah saling mengkafirkan satu sama lain. Di antara para ulama saja saling mengkafirkan apalagi terhadap tradisi Islamic scholarship. Mestinya mengkritik ya mengkritik aja, apa materinya atau metodologinya dikritik-dipreteli, tanpa perlu mengkafirkan.
Sikap seperti itu sekarang sudah tidak relevan. Satu “pembacaan ilmiah” terhadap Islam atau satu “karya akademik” tentang Islam yang di dalamnya ada perangkat metodologis (ada pendekatan dan teori) hanya bisa diverifikasi oleh para ilmuwan/ahli dalam bidang itu. Masak karya ilmiah tunduk dan mau dibatalkan oleh Ormas Islam hanya karena dianggap “menyimpang” dari syariat Islam menurut versi Ormas. Ini aneh. Fenomena ini hanya akan memunculkan pandangan bahwa agama (Islam) atau studi ilmiah Islam sering bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sayang sekali.
Pendekatan Terhadap Ilmu
(3-Ketiga), Dalam tradisi keulamaan orang belajar Islam umumnya hanya menggunakan satu pendekatan, yaitu pendekatan teologis. Orang memahami Islam atau mendakwahkan Islam melalui dalil-dalil: ayat-ayat Quran, hadis dan tulisan para ulama klasik, pertengahan dan modern. Jadi orang memahami agama melalui “dalil”. Karena itu, para ulama sering menyatakan “mana dalilnya”? “ini dalilnya”, “itu dalilnya”. Maksudnya dalil teologis.
Kalaupun ada pendekatan historis maka yang dimaksud adalah “sejarah agama” seperti asbab nuzul, asbab wurudil hadis, konteks munculnya pemikiran dan fatwa ulama. Ada lagi ilmu bantu lain seperti manthiq (logika) dan ilmu kalam, tapi semua ilmu itu sudah disetting: penjelasan-penjelasan rasional “untuk memperkuat iman/agama”, bukan mau mencari kebenaran akademik/ilmu. Namanya juga belajar agama tentu harus untuk memperkuat akidah dan iman.
Kalau lihat pengajian konvensional, ceramah atau studi Islam dalam tradisi keulamaan, kita lihat seorang ulama (Kyai, ustadz, Gus) menjelaskan Islam, dengan ilmu-ilmu Islam (teologi), kepada masyarakat muslim, tentang berbagai persoalan keislaman. Jadi model ini hanya untuk satu komunitas, bahkan seringkali hanya untuk komunitas terbatas dan tertutup (eksklusif). Padahal katanya Islam itu bersifat internasional, rahmatan lil a’alamin dan cocok bagi umat manusia pada setiap ruang dan waktu. Kita tidak mungkin menemukan non-muslim yang ahli tentang studi Islam dapat terlibat di situ. Atau sarjana disiplin ilmu-ilmu umum yang sudah mahir mengkaji Islam ikut menjelaskan kekayaan Islam di situ.
Dalam tradisi scholarship, orang memahami, mengkaji, dan mendalami Islam dengan berbagai pendekatan: sosiologis, antropologis, psikologis, teologis, historis, fenomenologis, filosofis, politik, ekonomi dan lain-lain, yang kemudian menjadi subyek ilmu: sosiologi agama, antropologi agama, psikologi agama, teologi agama (ilmu kalam), filsafat agama, fenomenologi agama, sejarah agama dan seterusnya.
Islam, apakah Islam normatif (seperti yang tertulis dalam teks) dan Islam historis (living Islam), terlihat kaya sekali. Islam bukan hanya dikaji dan diperbincangkan oleh para sarjana muslim tapi juga ada banyak sarjana non-muslim atau bahkan ateis yang ahli Islam terlibat aktif mendiskusikan dan membedah Islam, dari berbagai aspeknya. Studi Islam mampu berdialog dengan berbagai disiplin ilmu lain yang sangat kaya: humaniora, ilmu-ilmu sosial dan sains. Studi Islam model ini, bukan hanya dialog dengan dunia yang lebih luas tapi juga kontribusinya luas: untuk umat manusia, tidak hanya bagi kaum muslim.
Jika dalam tradisi keulamaan kaum orientalis selalu dihujat dan dipandang jahat, sebaliknya dalam tradisi Islamic scholarship, temuan-temuan studi Islam para orientalis diapresiasi dan dianggap berkontribusi besar dalam memperkaya pemahaman soal Islam dan studi Islam (dan sebenarnya sekarang sudah gak ada lagi istilah orientalis itu). Raksasa-raksasa orientalis dari Jerman, Belanda dan Inggris kontribusinya keren banget buat studi Islam. Dulu memang terjadi perdebatan panjang, mana yang lebih obyektif orang mempelajari Islam: orang Islam itu sendiri (insider) atau orang di luar Islam (outsider)? Tapi perdebatan ini sekarang sudah tidak relevan. Baik insider maupun outsider punya kontribusi yang kaya bagi Islam dan studi Islam.
Dalam konteks inilah menurut saya, memang jauh beda antara tradisi keulamaan dan tradisi Islamic scholarship. Tradisi Islamic scholarship, menurut saya, lebih unggul dan lebih memperkaya Islam. Anak-anak muda muslim sekarang harus dibiasakan digembleng dalam tradisi Islamic scholarship. Punya sikap kritis dan membaca Islam dengan aneka ragam pendekatan.
Terlepas dari perbedaan dua tradisi besar itu, apakah tradisi keulamaan punya keunggulan? Pasti punya.
Apakah mungkin menggabungkan/memadukan dua tradisi itu? Dalam beberapa aspek sangat mungkin.
Ijin menanggapi pak dosen.
Mohamad Yusuf Efendi
Garis besar pembahasan dalam Artikel ini tentang dua tradisi besar dalam studi Islam: tradisi keulamaan dan tradisi kesarjanaan, perbedaannya adalah : untuk Tradisi Keulamaan: Dalam tradisi ini, ilmu Islam dianggap sakral dan dipandang sebagai cahaya yang berasal dari Allah. Tujuan utama mempelajari ilmu agama adalah untuk memperkuat iman dan mengajak masyarakat untuk berperilaku sesuai ajaran Islam. Ciri pokoknya adalah bahwa kebenaran Islam dianggap final dan tidak boleh diganggu gugat. Sikap kritis terhadap ulama dan sumber kitab-kitab dianggap kurang umum, dan silsilah keilmuan sangat dipentingkan. Selanjutnya mengenai Tradisi Kesarjanaan: Dalam tradisi ini, studi ilmiah Islam bersifat objektif , dengan data empiris, sikap kritis, dan pendekatan eksploratif. Penafsiran terhadap Islam lebih terbuka dan relatif, dengan hipotesa pendekatan multi-disiplin. Kebenaran Islam dipahami sebagai sebuah proses yang terus berkembang, bukan sesuatu yang final. Jadi harus terus selalu ada studi lanjutan kedepannya.
Moon maaf jika terlalu simpel. Itu yang saya tangkap pak dosen .🙏😊
Izin menanggapi pak dosen
SHOLEH_A34
Tradisi keilmuan Islam memiliki akar yang dalam dan luas. Ini mencakup berbagai disiplin ilmu seperti ilmu kalam (teologi), fiqh (hukum Islam), tasawuf (mystisisme), sejarah Islam, dan lain-lain. Tradisi ini telah berkembang sepanjang berabad-abad, dimulai dari zaman awal Islam hingga saat ini, dengan berbagai kontribusi dari para cendekiawan Muslim di seluruh dunia.