Haji Rasul : Kiprah Ulama Modernis dari Sumatera Barat
Haji Rasul, atau Muhammad Rasul, lahir pada 10 Februari 1879 di Nagari Sungai Batang Maninjau, Luhak Agam, Sumatra Barat. Ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah, yang dikenal sebagai Tuanku Kisai, merupakan ulama yang berpengaruh dalam lingkungan Minangkabau pada masanya. Dari kecil, Haji Rasul tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan intelektualitas yang kuat.
Latar Belakang Haji Rasul
Pendidikan formal sekuler tidak menjadi pilihan Haji Rasul. Sebaliknya, dia belajar secara mendalam tentang Islam dari ayahnya dan ulama-ulama terkemuka di Minangkabau. Pada usia yang sangat muda, ia telah menguasai pelajaran dasar agama seperti membaca Al-Qur’an, hukum Islam, dan tafsir.
Ketertarikannya pada ilmu agama mendorongnya untuk melakukan perjalanan penting ke Makkah pada usia 15 tahun. Di sana, ia berguru kepada ulama terkemuka seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Abdullah Jamidin. Pengalaman ini tidak hanya meningkatkan pengetahuannya, tetapi juga membentuk pandangannya tentang pentingnya memperbarui pendidikan agama di Indonesia.
Kembali ke Sumatra Barat pada awal abad ke-20, Haji Rasul aktif dalam menyebarkan pemikirannya melalui tulisan dan pengajaran. Ia menjadi salah satu pemimpin gerakan “Kaum Mudo”, kelompok ulama yang gigih dalam menegakkan ajaran Islam yang murni dan menolak berbagai praktik tradisional yang dianggapnya bertentangan dengan Islam.
Pada tahun 1910-an, Haji Rasul mendirikan Sumatera Thawalib, sebuah lembaga pendidikan Islam modern yang menjadi pusat pembelajaran agama dan intelektual di Padang Panjang. Di sini, ia mendorong murid-muridnya untuk berpikir kritis dan mempertanyakan tradisi yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam Islam. Sumatera Thawalib tidak hanya menjadi sekolah agama, tetapi juga pusat diskusi dan pemikiran Islam moderat di Minangkabau.
Perjalanan Haji Rasul
Selama dekade-dekade berikutnya, Haji Rasul aktif dalam mendukung gerakan Islam moderat. Ia terlibat dalam penerbitan majalah Al-Moenir yang berfungsi sebagai corong pembaruan Islam di Sumatra Barat. Meskipun majalah ini hanya bertahan singkat karena masalah teknis, ia berhasil menyebarkan ide-ide pembaruan dalam pendidikan dan kehidupan Islam.
Pada tahun 1914, Haji Rasul menghadapi tantangan berat ketika ia ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda karena protesnya terhadap kebijakan-kebijakan yang menghambat kemajuan pendidikan dan kemerdekaan berpikir umat Islam. Pengasingannya di Sukabumi tidak menghentikan semangatnya; sebaliknya, ia menggunakan kesempatan tersebut untuk terus mengajar dan menyebarkan pemikirannya kepada para pengikutnya.
Kembali ke Sumatra Barat setelah masa pengasingan, Haji Rasul terus aktif dalam mendukung pendidikan Islam modern. Pada tahun 1926, ia bersama Haji Abdullah Ahmad diakui secara internasional dengan menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Al-Azhar, Mesir, sebagai penghargaan atas kontribusi mereka dalam pergerakan pembaharuan Islam.
Kontribusi Haji Rasul
Kehidupan dan karya Haji Rasul tidak hanya memberikan dampak pada pendidikan Islam di Sumatra Barat, tetapi juga mengilhami gerakan Islam moderat di seluruh Indonesia. Dia dikenal karena keberaniannya dalam menentang tradisi dan praktik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang murni.
Pada masa tuanya, Haji Rasul tetap menjadi figur yang dihormati dalam komunitas Islam Indonesia. Dia meninggal pada tanggal 2 Juni 1945 di Jakarta, meninggalkan warisan intelektual yang kuat dan semangat untuk melanjutkan perjuangan dalam memajukan pendidikan dan pemikiran Islam di Indonesia.
Baca juga : Sejarah Kota Surabaya dari Era Majapahit
Melalui perjalanan hidupnya yang penuh dedikasi dan pengabdian, Haji Rasul tidak hanya menjadi simbol gerakan pembaruan Islam di Sumatra Barat, tetapi juga inspirasi bagi generasi berikutnya dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dia anut.