Opini

Sarjana Kuburan dan Denyut Kajian Pernisanan di Nusantara

Advertisements

Oleh: M. Yaser Arafat, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, peneliti-pelaku kebudayaan, penulis buku Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pasarean Sultanagungan di Yogyakarta (Yogyakarta: Sukapress, 2021).

Sekira dua tahun lalu, saya bertemu Kang Lutfi di Yogyakarta. Ia sengaja melawat ke jantung peradaban Islam pada abad ke-16-17 itu untuk bersambung-doa ke makam-makam tua. Sebelumnya, saya pernah memintanya untuk mengisi diskusi maya perihal kuburan dan dunia terkaitnya. Waktu itu kami belum pernah bertemu. Kesamaan minat pada kuburan mempersuakan kami. Ketika ia mengambil napas di Yogyakarta itulah kami bersua-muka di bilangan Sapen, dekat kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Malam harinya, persamuhan kembali tergelar di kediaman saya. Sejak Isya kami bersenda cengkerama, bersilang kata, dan bertukar kaweruh perihal dunia kuburan. Jujur, hingga saat ini, saya masih merasa berada di bawah garis terbawah alam perkuburanan. Berbeda dengan Kang Lutfi. Ia telah menyowani makam-makam di berbagai kawasan di Jawa. Mulai dari Jakarta hingga Madura dan Bali. Pengalaman saya menyowani makam-makam tua baru sampai Aceh dan Jawa. Itupun, di Aceh, baru beberapa titik utama saja. Sedangkan di Jawa, ada banyak makam sepuh yang masih saya mesrai hanya melalui gambarnya.

Malam itu, di rumah kontrakan kami, Kang Lutfi meminta berbagai kepustakaan tentang dunia kuburan. Saya membagikan padanya beberapa file buku berbentuk PDF. Ada pula tautan karya ilmiah tentang kuburan-kuburan di Jawa. Banyak hal pula yang kami percuapkan. Termasuk pula pertautan antara makam, candi, batik, dan bangunan-bangunan tua di Jawa. Bagaimanapun, mengkaji makam menjadi tidak mungkin tanpa mengulik-ulik candi, batik, dan keseluruhan khazanah kebudayaan visual di Jawa. Di buku ini, saya sumringah karena ia memasukkan beberapa petik hasil obrolan itu dalam tulisan berjudul Nisan: Peleburan antara Candi dengan Batik dan Usaha Interpretasi atas Simbolnya (112-137).

Hal lain yang saya jumput dari pertemuan itu, setahu saya Kang Lutfi menetra kuburan dari sisi spiritualitas peziarahan. Sebagaimana ia bilang pada saat saya menggelar diskusi dunia maya di awal masa pandemi, bahwa seringkali ia melewati sebuah tempat, lalu ia merasa ada setrum dari sebuah pekuburan. Lalu ia berhenti di situ. Di hal-ihwal persetruman ini saya tertinggal jauh. Bagi kalangan akademisi, hal-hal seperti ini biasanya dianggap tidak masuk akal, namun, di dalam dunia keseharian para penekun kuburan dan tinggalan sejarah pada umumnya, pengalaman setrum-setruman seperti ini sudah biasa.

Sebelum bertemu Kang Lutfi, saya hanya menekuni dunia kuburan dari sisi peziarahan manusia awam sembari membarenginya dengan penetraan ilmu antro-arkeologi. Sesobek karya ilmiah pertama saya tentang kuburan justru adalah kajian tentang sepasang kuburan di kawasan Martubung, Medan Labuhan, Sumatera Utara. Masyarakat sekitar menyebutnya makam Datuk Tongah (Arafat 2021). Sejak menulis makam itu, saya termabukkan oleh dunia kajian nisan, budaya kematian, dan seturutnya. Hardisk laptop saya menjadi tambun berkat berlaksa artikel, buku, dan file-file unduhan dari dunia may. Semua kekayaan itu lantas saya bagikan ke siapa saja yang meminta. Termasuk kepada Kang Lutfi. Sejak persamuhan itu, ia lantas mendirikan lembaga Pernisanan (Pelestari Nisan Asli Nusantara).

Mewujud-nyatakan Kesarjanaan

Buku yang berada di hadapan sidang pembaca ini adalah buku kedua Kang Lutfi. Buku pertama, Nyarkub Menyulam Silam, berisi catatan-catatan pengalamannya selama berziarah dari satu kuburan ke kuburan lainnya di Jawa (Ghozali 2020). Banyak hal yang ia utarakan. Sebagian besar tentang tokoh-tokoh yang telah ia ziarahi, namun, tidak tercatat oleh sejarah. Buku kedua ini tidak jauh berspasi dengan buku pertamanya. Di buku ini, Lutfi membabarkan banyak catatan berserak yang ia gurat selepas menziarahi makam-makam di berbagai wilayah. Mulai dari ujung Barat Jawa hingga Bali-Madura. Sebagian besar catatan itu telah ia unggah di akun Facebooknya.

Nilai lebih utama buku ini ada di pembahasan dan penampilan gambar-gambar nisan induk dari setiap wilayah di Jawa. Ada nisan dari Cirebon, Tralaya, Bogor, Sidoarjo, Mojokerto, Madura, Bali, Bayat, Surabaya, dan masih banyak lagi. Para penghayat kuburan tidak perlu repot-repot untuk mendatangi nisan-nisan dari masing-masing wilayah itu untuk hanya sekedar ingin menatap bentuk-rupanya. Cukuplah buku ini sebagai wasilah. Gambaran umum mengenai bentuk-rupa nisan induk di setiap wilayah di Jawa telah ditampilkan di sini. Ditambah dengan analisis atas bentuk-rupa, ragam hias, dan undangan untuk menjelajahi nisan-nisan yang belum diteliti atau ditipologisasikan.

Di buku ini Kang Lutfi juga memaparkan masalah-masalah terkait dunia kuburan dan hal-hal selingkungnya. Mulai dari kecenderungan umum para supranaturalis dalam mendeteksi kuburan berdasarkan hasil terawangan, bentuk-bentuk kuburan aneh, orang-orang linuwih, kuburan palsu, hingga eksistensi kuburan-kuburan berukuran panjang. Termasuk kebiasaan para santri yang lebih mendahulukan hasil terawangan guru-guru mereka ketimbang data antropologi, sejarah, arkeologi, dan sosiologi kuburan yang memang menanti penghampiran ilmiah. Di bagian ini, ia berulangkali mengatakan bahwa tantangan dalam mengkaji dunia kuburan tidak hanya datang dari “orang luar”, tapi justru dari orang dalam, yaitu  sesama santri atau bahkan sesama sarkub sendiri.

Memang, sejauh ini, kuburan lebih sering diterima dan diperlakukan dalam sensasi supranaturalis-poliklenik (banyak klenik). Setiap kali menyowani pesarean di pojok-pojok kampung di Yogyakarta, saya lebih sering ditanyakan oleh masyarakat sekitar perihal apakah saya bisa berkomunikasi dengan sesepuh ahli kubur di situ atau tidak. Rumit memang untuk menjelaskannya. Tapi dengan gembira saya tegaskan bahwa pisowanan saya tidak dalam rangka berkomunikasi dengan ahli kubur. Tidak pula untuk meminta nomor togel demi menjemput kekayaan. Para sesepuh yang telah terkubur itu saya sowani dalam rangka caos bekti (mempersembahkan kebaktian [birrul walidain]), mendoakan, dan tentu saja mengangsu kaweruh (inna nahnu nuhyil mauta wa naktubu) sejarah atau tilas-tilas (ma qaddamu wa atsarahum) baik yang tergurat di kijing-nisan maupun di lapisan terhalus khazanah perlambang.

Kang Lutfi, di buku ini, berupaya untuk mengajak para santri, masyarakat luas, penekun kajian sejarah, hingga para birokrat untuk mau menolehkan pandang ke masa lalu melalui pengamatan ilmiah atas kuburan-kuburan sepuh. Nyarkub, yang belakangan dijadikan kata kerja dari singkatan sarkub (sarjana kuburan), ditampilkannya sebagai istilah aplikatif, konkrit, dan kasunyatan. Nyarkub, di buku ini, ia kemas sebagai lampah rohani sekaligus ilmiah. Sowan ke kuburan tidak lagi harus identik dengan kegaiban, melainkan dengan kerja kesarjanaan. Mendoakan sekaligus meneliti. Meneliti sekaligus mendoakan.

Sarjana, dalam Bahasa Kawi, berarti orang yang utama (wong utama), wong pintêr (orang pintar) atau putus ing kawruh (telah tuntas ilmunya) (Poerwadarminta 1939, 75). Secara umum, para sarkuber atau ahli sarkub menyowani dalam rangka ngalap berkah orang-orang terbaik di dalam sejarah masa silam, menyambung cinta dengan para pendahulu, dan dengan berbagai tujuan lainnya. Ada semacam keyakinan di kalangan pesarkub bahwa seseorang akan dianggap telah menjadi “sarjana kuburan” ketika ia telah ditemui oleh sang sahibul maqam atau sosok yang ia ziarahi. Keyakinan itu tentu tidak masalah. Setiap lekuk-liku kehidupan manusia memang menyimpan kedutan ilmiah sendiri-sendiri.

Di luar itu, di buku ini, Lutfi menunjukkan bahwa nyarkub berarti sebuah upaya untuk menjadi sarjana atau orang yang purna dan pana pengetahuannya, terutama tentang kuburan dan hal-hal yang terikat dengannya. Baik kuburan bila dinetra dari nisan, ragam hias, silsilah, cerita tutur, hingga kuburan dari perspektif para supranaturalis. Kebaikan bisa datang dari mana saja. Manusia hanya bertugas menyiapkan wadahnya.

Denyut Kajian Nisan di Indonesia

Saya telah menyebut di atas bahwa Kang Lutfi menghadirkan gambar-gambar yang merupakan buah dari pertemuannya dengan nisan-nisan di berbagai daerah. Ia mengunjung-sowani makam-makam utama di berbagai wilayah seperti Madura, Bogor, Mojokerto, Sidoarjo, Bayat, Surabaya, Gresik, Yogyakarta dan di berbagai wilayah. Lalu di sini ia menyajikan gambar-gambar nisan hasil pertemuannya itu. Para pembaca, terutama para penekun kajian nisan, tentu sangat dimudahkan oleh gambar-gambar ini. Tidak perlu bersusah-keringat untuk menyowani makam-makam itu bila hanya ingin mengetahui bentuk-rupa nisan di masing-masing wilayah. Cukup hanya dengan membaca buku ini dan mendalaminya.

Sejauh ini, lembar lusuh kepustakaan tentang pernisanan di Indonesia telah tertata rapi hingga bertumpuk-tumpuk. Ada satu karya wreda (sepuh) tentang makam-makam Islam di Tralaya, yaitu karya Études Javanaises: I. Les Tombes Musulmanes Datées De Trålåyå karya LC Damais (1957). Tulisan ini telah diterjemahkan menjadi Makam Islam Bertarikh di Tralaya yang dimuat di dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis-Charles Damais (L-C. Damais 1995, 223–89).  Pada warsa 1980-an, Ambary pernah pula menulis perihal nisan-nisan makam Islam di Nusantara (1998, 104). Ia lantas mengelompokkan nisan-nisan makam di Indonesia ke dalam beberapa tipe. Pertama, tipe Aceh. Kedua, tipe Demak-Tralaya. Ketiga, tipe Bugis-Makassar. Keempat, tipe lokal.

Tipologisasi nisan hasil rumusan Ambary ini mendalilkan kekayaan peradaban nisan setiap wilayah pada setiap masa. Dapat dipastikan, pada era kesultanan atau pemerintahan tertentu, telah tercipta karya budaya berupa nisan dengan ciri khas masing-masing. Ambary, sebagaimana disinggung di atas, sebelumnya juga telah mengkaji nisan-nisan di Indonesia dalam disertasinya yang berjudul L’art Funeraire Musulman en Indonesie des Originaux aur IX Secle (1984). Setelah Ambary, Othman M. Yatim hadir dengan karya tentang nisan-nisan khas Aceh di Malaysia yang berjudul Batu Aceh: Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia (1985). Kajian tentang nisan-nisan khas Aceh di Malaysia diperluas lagi oleh Perret & Razak melalui Batu Aceh Warisan Sejarah Johor (1999).

Kajian rinci dan serius tentang nisan-nisan di Nusantara terus berdetak. Herwandi menulis tesis berjudul Nisan-nisan di Situs Mejan Tinggi, Desa Talago Gunung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat: Kajian Tentang Kelanjutan Budaya Tradisi Megalitik ke Budaya Islam (1994). Herwandi melanjutkan kajiannya dengan menulis disertasi berjudul Bungong kalimah: Kaligrafi Islam dalam Balutan Tasawuf Aceh (Abad ke-16-18 M) (2003). Karya terbaru dalam kajian pernisanan muncul kemudian dari tlatah Aceh melalui buku yang mengulas nisan-nisan Plak-Plieng di Aceh hingga “meruntuhkan” kajian nisan Aceh sebelumnya (Ibrahim 2014). Beberapa tahun kemudian, terbit sebuah buku karya saya sendiri, Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pasarean Sultanagungan di Yogyakarta (Arafat 2021).

Di buku itu, saya berbicara tentang nisan-nisan kuburan pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma di Kesultanan Mataram Islam. Saat menulis kata pengantar ini, saya juga sedang menulis dan menyelesaikan buku tentang nisan-nisan pada zaman hamengkubuwanan di Yogyakarta dan sekitarnya. Saya berharap karya serupa bisa ditulis oleh para sarjana, pelaku ziarah, dan entah siapa saja yang peduli pada tinggalan kebudayaan dari masa silam. Kerja ini tidak bisa dilakukan sendiri. Siapa saja boleh dan bahkan dianjurkan untuk menuliskan perjalanan mereka dari makam ke makam.

Sebagaimana telah diketahui, rumusan tipologi nisan di Jawa, sejak tahun 1980-an masih selalu didasarkan pada tipologi Demak-Tralaya. Pada 2021, setelah saya menerbitkan Nisan Hanyakrakusuman, saya mendapat kabar dari khalayak akademik dan pelestari kebudayaan masa lalu. Bahwa pelan-pelan umat manusia di tanah ini telah menyadari bahwa ada tipe atau tangguh nisan lain selepas Demak-Tralaya. Nisan-nisan itu dapat ditemukan di berbagai pasarean di Jawa. Dalam buku itu, saya menunjukkan bahwa di tlatah Mataraman, terutama di Yogyakarta, ada nisan tangguh baru yang diciptakan pada zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma. Tentu tiap Tangguh tidak meninggalkan pengaruh tangguh nisan sebelumnya. Sebab kebudayaan selalu bersambung-jalan. Khazanah Antropologi menyebutnya sebagai proses kontinuasi kebudayaan.

Kang Lutfi, melalui buku ini, juga menunjukkan bahwa di luar tipologi Nisan Demak-Tralaya, masih ada tipe lain yang berserak di berbagai pesarean. Umumnya, tipe-tipe itu mengacu pada pusat peradaban Islam dari berbagai wilayah, yang saat ini telah menjadi pesarean atau pekuburan. Di sana ada Nisan Giri, Nisan Sedayu, Nisan Ampel, Nisan Drajat, Nisan Sendangdhuwur, Nisan Bayat, dan masih banyak lagi. Bahkan di bagian akhir buku ini, melalui tulisan berjudul Nisan Lokal Baru (289-298) ia memaparkan bahwa masih ada tipe nisan tempatan (local type) yang “keluar” dari pakem Demak-Tralaya.

Makam-makam itu tentu saja menanti sentuhan tangan generasi hari ini, yaitu orang-orang yang gemar membenamkan diri ke dalam samudera ilmu pengetahuan. Makam-makam itu harus dikabarkan ke seluruh telinga. Bahwa mereka ingin diakrabi dengan ziarah, dikirimkan bergantang-gantang doa, dan dilestarikan dengan kajian keramat berbasis akal sehat dan metode penelitian yang sahih-ketat. Di Aceh, “undangan” untuk mengkaji dan melestarikan makam-makam tua saat ini dimotori -untuk tidak menyebutkan hanya dilakukan- oleh Komunitas MAPESA (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh).

Di Facebook, melalui gambar-gambar kuburan tua yang diunggah, Mapesa telah menggalang kepedulian berbagai kalangan. Tidak hanya menjelajahi dan mengangkat makam-makam terpendam, mereka bahkan mengidentifikasi, membaca epitaph, melacak silsilah, mendirikan museum, hingga menerbitkan buku-buku atau karya ilmiah. Saya sendiri telah membeli buku-buku yang mereka terbitkan. Di antaranya Tinggalan Sejarah Islam Samudera-Pasai  (Muhammad 2022), Tinggalan Sejarah Samudera Pasai (CISAH 2014), Jejak Sejarah Hubungan Aceh-Turki (Mahdi 2019), dan Melintasi Jejak Perjalanan Sejarah Aceh  (Mahdi 2018).

Buku-buku yang dicetak dengan bahan kertas art paper itu menampilkan gambar-gambar nisan-makam raya di Aceh. Ukiran kaligrafi dan hiasan tetumbuhan di nisan-makam itu, saya bersaksi, melebihi batas imajinasi saya tentang keindahan guratan di bebatuan. Seperti halnya candi-candi di Jawa yang jauh sebelum saya terjun ke makam-makam, lebih dulu saya sowani. Bila diberikan waktu cukup untuk menjelajahi wilayah Aceh, saya telah menanamkan niat untuk menyambung rohani dengan para wali, para sultan, dan para ulama besar di tlatah keramat itu.

Pencagar-budayaan Kuburan Tua

Setahu saya, lembaga pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian cagar budaya, akademisi atau para ilmuwan sosial-humaniora, dan terlebih lagi penekun kajian arkeologi saat ini belum begitu tertarik untuk masuk ke kajian pernisanan. Sebagian besar penelitian dan upaya konservasi masih dibatasi hanya pada tinggalan kebudayaan klasik atau sering disebut masa pra Islam. Padahal, makam-makam yang berserak di berbagai kampung di Jawa, seperti telah ditunjukkan oleh Kang Lutfi di sini, paling tidak telah berusia lebih dari 100 tahun. Tentu saja syarat agar makam-makam tersebut bisa diajukan sebagai benda cagar budaya telah terpenuhi.

Sayangnya, harapan itu masih jauh hidung dari mulut. Makam-makam tua di sudut-sudut kampung masih terbengkalai. Bahkan warga yang mendiami kawasan itu sering tidak mengetahui identitas tokoh-tokoh yang dimakamkan di sana. Dalam rangka mengisi kekosongan ilmiah dalam kajian pernisanan, bila sarjana ilmu sosial-humaniora dan instansi terkait pelestarian tinggalan kebudayaan tidak bergerak, biarkan sarjana kuburan yang bertindak. Paling tidak, seperti diteladankan Kang Lutfi di buku ini, para pesarkub telah memberi pesan kepada seluruh umat manusia agar mereka: jangan datang ke kuburan hanya ketika mereka nanti dikuburkan!

Wallahu a’lam.

Rujukan:

Ambary, Hasan Muarif. 1984. L’art Funeraire Musulman En Indonesie Des Originaux Aur IX Secle. Disertasi Ecole Des Hautes Etudes En Sciences, Paris.

———. 1998. Menemukan Peradaban: Arkeologi Dan Islam Di Indonesia. Jakarta: Puslit Arkenas.

Arafat, M. Yaser. 2021a. “Makam Keramat Datuk Tongah: Pembacaan Etnografis Akademisi Pelaku Ziarah.” JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam) 8311: 92–108. http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/juspi/article/view/8498.

Arafat, M.Yaser. 2021b. Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat Dari Pasarean Sultanagungan Di Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press.

CISAH. 2014. Tinggalan Sejarah Samudera Pasai. Lhokseumawe: CISAH.

Damais, Louis-Charles. 1957. “Études Javanaises: I. Les Tombes Musulmanes Datées de Trålåyå.” Bulletin De L’École Française D’Extrême-Orient 48(2): 353–415.

———. 1995. Epigrafi Dan Sejarah Nusantara Pilihan Karangan Louis Charles Damais. Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Ghozali, M. Lutfi. 2020. Nyarkub Menyulam Silam. Malang: Arah Baca.

Herwandi. 1994. “Nisan-Nisan Di Situs Mejan Tinggi, Desa Talago Gunung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat: Kajian Tentang Kelanjutan Budaya Tradisi Megalitik Ke Budaya Islam.”

———. 2003. Bungong Kalimah: Kaligrafi Islam Dalam Balutan Tasawuf Aceh (Abad Ke-16-18 M). Padang: Andalas University Press.

Ibrahim, Husaini. 2014. Awal Masuknya Islam Ke Aceh: Analisis Arkeologi Dan Sumbangannya Pada Nusantara. Banda Aceh: Aceh Multivision.

Mahdi, Mizuar, ed. 2018. Melintasi Jejak Perjalanan Sejarah Aceh. Banda Aceh.

———, ed. 2019. Jejak Sejarah Hubungan Aceh-Turki. Banda Aceh: Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA).

Muhammad, Taqiyuddin. 2022. Tinggalan Sejarah Islam Samudera-Pasai. Aceh: Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA).

Othman, Mohd Yatim. 1985. “Batu Aceh : A Study of 15-19 Century Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia.” Durham University.

Perret, Daniel & Kamaruddin Ab. Razak. 1999. Batu Aceh: Warisan Sejarah Johor. Malaysia: EFEO-Johor Bahru.

Poerwadarminta, W J S. 1939. “Bausastra Jawa.” Groningen: JB Wolters’ Uitgevers Maatschappij.

[1] Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, peneliti-pelaku kebudayaan, penulis buku Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pasarean Sultanagungan di Yogyakarta (Yogyakarta: Sukapress, 2021).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *