DosenKampusOpini

“Kecelakaan” Jadi Dosen PNS

Advertisements

Oleh Ahmad Khadafi, Dosen UIN Raden Mas Surakarta

Saya punya kakak-kakak yang keren bahkan sejak saya TK-SD. Dua mas (anak nomor 1 dan 2, saya anak ke-10) ini kuliah di UGM. Tahun-tahun angkatannya Rizal Malarangeng, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, atau Nezar Patria.

Dan saya masih bocah ingusan waktu itu kadang berpikir… masuk UGM gitu, gimana caranya ya? Naik bus KOPAJA yang Jalur 7 atau Jalur 3? Hehe.

Punya kakak seperti itu, bikin kalah mental sejak embrio.

Bani MM

Yang di sebelah saya, di tengah, Mas Us, saya manggilnya begitu. Arsitektur S1-S2 di UGM. Angkatan berapa, saya lupa. Tuwa pokoknya. Sekarang sedang jadi GM salah satu bank di luar Pulau Jawa. Dulu pernah beberapa tahun tinggal di Solo karena jadi kepala cabang yang di sini.

Sedangkan yang paling kiri, adalah Mas Aman. Salah satu pendiri PPMI (bukan PMII, ya). Banyak teman saya di Pers Mahasiswa yang sudah kenal Mas Aman. Dia dan almarhum istrinya (alfatihah) adalah sedikit dari senior Pers Mahasiswa yang legend. Dari Mas Aman pula saya jadi ikut tersesat di jalur Pers Mahasiswa, dulu.

Ada satu lagi yang gak ikut, Mas Zaki. Salah satu alumni KSR IAIN Sunan Kalijaga. Sempat nderek lama sekali dengan almarhum Kiai Najib Krapyak, dan dari ndereknya itu dapat oleh-oleh hapal Qur’an dan gelar master tafsir hadis.

Dan saya, anak bontot ke-10, dan ke-4 laki-laki, adalah yang paling lemah di antara ketiga kakak saya. Di segala bidang saya kalah.

Soal karier jurnalisme. Saya kebanting jauh dengan Mas Aman. Kakak yang kariernya paling dekat dengan saya.

Jurnalis di majalah Sinar, Panji Masyarakat, Metro TV generasi awal, News Producer di AnTV, sekarang balik lagi ke Panji Masyarakat

sebagai Pemred dan ngajar Ilmu Politik di salah satu kampus mentereng di Jabodetabek.

Saya?

Jurnalis di kampus, editor di penerbitan buku, jurnalis di Tirto, tukang nulis di Mojok, eh sekarang jadi dosen di Kecamatan Kartasura.

Mas Us lebih serem lagi. BNI Syariah dari zaman pra-sejarah, dan sampai sekarang sedang di-“bajak” oleh bank lain untuk jadi General Manager-nya di sana.

Mas Zaki, ya tadi saya sudah cerita. Jadi kiai beliau-nya.

Intinya, kalau mau ambil keluarga yang kalah-kalahan. Saya kalah di semua aspek. Pinter yo ora, sugeh opo meneh, kiai yo tambah ra mbois blas.

Cuma, kakak-kakak saya tak pernah melihat hal itu. Malah sebaliknya, kakak saya seingat saya selalu membanggakan saya. Kadang tidak di hadapan orang-orang, tapi di hadapan saya langsung—kadang lewat video call.

Katanya, saya adalah satu-satunya anak Bapak yang “meneruskan” Bapak kami di jalur karier Universitas Islam. Dan satu-satunya anak kandung Bapak yang PNS. Meski di kalangan keluarga kami bukan sesuatu yang gimana gitu (baca: biasa wae), tapi itu punya arti yang dalam untuk Bapak.

Sejauh karier Bapak jadi dosen, keempat anaknya yang laki-laki tidak ada yang tertarik mengikuti jejak itu. Padahal keempat-empatnya master semua. Blas nggak menantang bagi ketiga kakak saya—mungkin. Jadi gak tertarik.

Sampai ketika kami berempat sudah kepala lima, kepala empat, dan kepala tiga… bayangan akan angan-angan Bapak yang kepengin anaknya ada yang “nerusin” dirinya bisa keturutan juga, meski lewat jalur saya yang rada ada kecelakaannya.

Tanggung jawab itu, akhirnya, terlimpahkan ke saya. Dan mau nggak mau, saya yang harus menyelesaikannya.

Jadi kesimpulan dari cerita ini adalah: semua Bapak di dunia ini sebenarnya punya bayangan profesi untuk anak-anaknya nanti. Kalau kamu gagal meng-kader anak yang pertama, coba terus ke adiknya. Masih gagal? Coba ke adiknya lagi.

Masih gagal? Coba terooos. Sampai nanti ke adiknya lagi, adiknya lagi. Begitu seterusnya. Insya Allah di 10 percobaan, kamu akan berhasil.
Lalu, kalau udah berhasil, nanti anakmu bisa foto buka puasa bareng kayak begini.

2 komentar pada ““Kecelakaan” Jadi Dosen PNS

  • Pingback: Berapa Gaji Dosen di Indonesia? - DUNIA PENDIDIK

  • VIIN PUJI LESTARI

    Artikel yang Anda bagikan mengisahkan perjalanan hidup seorang anak bungsu dari sepuluh bersaudara yang merasa dirinya “terkalahkan” oleh prestasi kakak-kakaknya yang luar biasa. Cerita ini dituturkan dengan nada humoris dan penuh kebanggaan, meski diwarnai dengan sedikit ironi dan perasaan inferior. Setiap kakaknya memiliki pencapaian yang mengagumkan dalam berbagai bidang, mulai dari akademik di universitas ternama hingga karier profesional yang cemerlang.

    Kisah ini tidak hanya menggambarkan prestasi kakak-kakak yang menginspirasi, tetapi juga menyentuh pada tema keluarga dan harapan orang tua. Sang penulis akhirnya menemukan dirinya mengambil tanggung jawab yang secara tidak langsung diinginkan oleh sang ayah, menjadi dosen dan mengikuti jejak karier akademis ayahnya di universitas Islam, meski tidak langsung seperti kakak-kakaknya.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *