Kiai

Kiai Asnawi Kudus: Kisah Mufti Mesir, Dasi, dan Abjad Pegon

Advertisements

Kiai Haji Raden Asnawi, dikenal luas dengan sebutan Kiai Asnawi, lahir di Kudus pada tahun 1861. Dia berasal dari garis keturunan ke-14 Sunan Kudus dari sisi ayahnya, dan dari garis ibunya, ia turunan ke-5 dari Kiai Mutamakkin, seorang ulama sufi terkemuka dari Pati. Kiai Mutamakkin sendiri muncul dalam karya Raden Pandji Djajasoebrata, Serat Cebolek (1892), meskipun digambarkan sebagai tokoh antagonis.

Kiai Asnawi menghabiskan waktu yang cukup lama di Makkah, sekitar 22 tahun. Keberangkatannya bersama ayahnya ke Tanah Suci diperkirakan terjadi pada tahun 1891 ketika ia berusia sekitar 30 tahun. Meskipun ayahnya meninggal dalam perjalanan haji, Kiai Asnawi tetap bertekad untuk menetap di Makkah. Sebelumnya, pada tahun 1886, dia sudah pernah melaksanakan ibadah haji. Selama tinggal di Makkah, Kiai Asnawi menetap di kampung Syami’ah setelah menikahi Hamdanah, putri dari Syekh Hamid Manan, seorang ulama Makkah yang juga guru dari banyak ulama ternama, termasuk Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani.

Kiai Asnawi Aktif Dalam Kegiatan Keagamaan di Makkah

Di Makkah, Kiai Asnawi aktif memberikan pengajaran di Masjidil Haram, menarik sejumlah murid dari Indonesia. Dia juga terlibat dalam diskusi keagamaan dengan ulama besar seperti Mufti Makkah, Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi, yang berasal dari Minangkabau. Diskusi mereka, meskipun tidak dijelaskan secara detail, menunjukkan bahwa keduanya memiliki pendapat yang berbeda dalam beberapa masalah keagamaan.

Ketika merasa perlu mendapatkan fatwa yang lebih jelas, Kiai Asnawi mengirimkan naskah-naskah yang berisi pandangannya serta pandangan Syekh Ahmad Khathib kepada seorang Mufti Mesir terkemuka, Sayyid Husein Bek. Ketika Sayyid Husein Bek membaca surat-surat tersebut, ia tertarik untuk bertemu dengan Kiai Asnawi. Pertemuan itu diadakan di rumah Syekh Hamid Manan di Makkah, di mana Kiai Asnawi memberikan jamuan kepada Sayyid Husein Bek. Sang mufti terkejut mengetahui bahwa orang yang dia cari adalah Kiai Asnawi yang telah lama ia jamu.

Aktif juga Dalam Organisasi Politik

Selain kegiatan keagamaan, Kiai Asnawi juga aktif dalam organisasi politik. Dia turut mendirikan cabang Sarekat Islam (SI) di Makkah pada tahun 1912 dan menjadi komisaris di dalamnya. Setelah pulang ke tanah air pada tahun 1916, dia aktif di SI Cabang Kudus dan menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh penting seperti HOS. Cokroaminoto, Agus Salim, dan Semaun.

Selama di Makkah dan pengalamannya yang luas di luar negeri, Kiai Asnawi terpengaruh oleh berbagai aliran pemikiran, termasuk semangat nasionalisme dan antikolonialisme. Dia menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang beberapa kali membuatnya dikenai denda. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, dia ditahan karena dituduh menyembunyikan senjata api.

Salah satu sikap kerasnya terhadap penjajah adalah pandangannya terhadap budaya kolonial, seperti pemakaian dasi. Kiai Asnawi memandang dasi sebagai simbol penjajah dan mengharamkan penggunaannya. Sikapnya ini tidak hanya terbatas pada pandangan pribadi, tetapi juga dia berusaha menerapkannya dalam komunitasnya.

Karya dan Kontribusi Kiai Asnawi

Karya tulis Kiai Asnawi, termasuk karya akidah berjudul Mu’taqad Seket dan buku praktis tentang salat yang diberi judul Fashalatan, ditulis dalam bahasa Jawa pegon. Aksara pegon, sebuah sistem penulisan Jawa dengan menggunakan huruf Arab beserta tanda tambahan, dipilihnya agar karya-karyanya tidak mudah diawasi atau dicegah oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kiai Asnawi juga terlibat dalam pendirian Madrasah Qudsiyyah dan Masjid Menara di Indonesia. Pada tahun 1926, dia turut mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) dan meskipun tidak bisa hadir secara langsung, dia mengirimkan utusan untuk berbicara dengan Raja Ibnu Saud untuk menyuarakan aspirasi ulama Indonesia.

Baca juga : Evie Poetiray: Perempuan Pemberani dari Maluku

Kiai Asnawi adalah sosok ulama yang tidak hanya berpengaruh dalam ranah keagamaan, tetapi juga aktif dalam gerakan politik dan sosial. Pemikirannya yang kritis terhadap kolonialisme dan semangatnya untuk memperkuat identitas keagamaan dan nasionalisme membuktikan bahwa kontribusinya tidak terbatas pada satu bidang saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *