Evie Poetiray: Perempuan Pemberani dari Maluku
Evie Poetiray adalah salah satu dari banyak orang Indonesia yang turut serta dalam perlawanan terhadap Nazi Jerman selama Perang Dunia II di Belanda. Kelahiran Besuki, Surabaya, Evie tiba di Belanda pada tahun 1937 untuk mengejar studi dalam bidang analis kimia. Kedatangannya ke Eropa ini bukan sekadar untuk pendidikan, tetapi juga menjadi awal dari keterlibatannya dalam perjuangan melawan pendudukan Nazi serta imperialisme kolonial.
Pada bulan Mei 1940, pasukan Jerman menyerbu Belanda, yang menyebabkan pendudukan Jerman di negara tersebut. Meskipun Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan dalam pengasingan, serta Putri Mahkota Juliana menyelamatkan diri ke Kanada, banyak warga Indonesia yang saat itu berada di Belanda ikut terlibat dalam perlawanan terhadap kekuasaan Jerman.
Kontribusi Evie Poetiray
Evie Poetiray terlibat aktif dalam Perhimpoenan Indonesia (PI), sebuah organisasi yang berjuang melawan Nazi Jerman. PI, yang telah dilarang oleh pemerintahan Jerman sejak tahun 1940, menjadi tempat bagi banyak mahasiswa dan pemuda Indonesia untuk menyuarakan aspirasi kemerdekaan Indonesia serta melawan fasisme internasional.
Sebelumnya, Evie Poetiray telah menghadapi berbagai tragedi keluarga, dengan kehilangan ayahnya George Henricus Alfaris Gerard Poetiray ketika ia masih kecil, diikuti oleh kematian ibunya, Sara Suzanne Huppe, sembilan tahun kemudian. Bersama saudari kandungnya, Reny Poetiray, Evie tinggal di panti asuhan di Surabaya sebelum akhirnya berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya.
Keterlibatan Evie dalam Kegiatan Politik dan Perlawanan
Di Belanda, Evie bergabung dengan Indonesische Christen Jongeren (IJC), sebuah organisasi yang menghimpun mahasiswa Indonesia yang beragama Kristen. Selain fokus pada studinya dalam analis kimia di laboratorium di Keizersgracht, Evie juga terlibat dalam kegiatan politik dan perlawanan bawah tanah melawan pendudukan Jerman. Ia terlibat dalam membaca surat kabar dan majalah ilegal, serta menulis untuk terbitan-terbitan seperti Vrij Nederland, De Vrije Katheder, De Waarheid, dan Het Parool.
Aktivitas berbahaya seperti menjadi kurir untuk menyebarkan materi-materi ilegal juga dilakukannya. Menurut Harry A. Poeze, Evie dipercaya oleh rekan-rekannya untuk mengumpulkan dan mendistribusikan surat kabar ilegal serta mencari alamat-alamat tempat persembunyian, karena kehadiran seorang wanita dianggap kurang mencurigakan oleh pihak berwenang. Selain keterlibatannya dalam perlawanan bawah tanah, Evie juga menjadi penghubung utama antara PI dan IJC. IJC tidak dilarang oleh pemerintah Jerman pada saat itu, sehingga tetap aktif melakukan kegiatan sosial dan politik di Belanda.
Pada musim panas tahun 1943, situasi semakin berbahaya bagi Evie ketika salah satu tokoh utama PI ditangkap. Dia diminta untuk menghentikan kegiatan bawah tanahnya dan bersembunyi untuk menghindari penangkapan. Evie menyembunyikan dirinya di loteng sebuah rumah di Amsterdam barat, keluar hanya jika situasi dianggap aman.
Keteguhan dan Keberania Evie
Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Belanda pada Mei 1945, Evie bergabung dengan satuan Indonesia di Nederlandse Binnenlandse Strijdkrachten (NBS). Satuan ini, yang dibentuk pada September 1944, bertugas membantu pasukan Sekutu dan menjaga ketertiban setelah kepergian pasukan Jerman.
Evie terlibat dalam perjalanan bersepeda menuju Leiden pada Januari 1945 untuk menghormati seorang anggota NBS Indonesia yang tewas dalam pertempuran. Bersama lima orang lainnya, Evie menempuh perjalanan tersebut, menunjukkan keteguhan dan dedikasinya terhadap perjuangan kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajahan.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Evie kembali ke tanah air dan aktif dalam perjuangan politik. Dia menikahi Marangi Siantoeri, koleganya di PI, dan terus berperan dalam gerakan untuk mengakhiri dominasi kolonialisme Belanda.
Evie Poetiray, yang dikenal sebagai salah satu figur yang gigih dalam perjuangan anti-Nazi di Belanda dan sebagai orator yang tegas dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meninggal pada 27 Agustus 2016 di Jakarta. Warisannya sebagai seorang pejuang kemerdekaan dan perempuan yang berani tetap hidup dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan.