Sekolah

Perang Banjarmasin: Latar Belakang & Kronologi Sejarah

Advertisements

Sejarah Perang Banjarmasin, juga dikenal sebagai Perang Banjar atau Perang Banjar-Barito di Kalimantan Selatan, dimulai dari persaingan untuk merebut takhta Kesultanan Banjar setelah Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1825-1857) meninggal dunia. Pada saat itu, tiga putranya, yaitu Pangeran Hidayatullah II, Pangeran Anom, dan Pangeran Tamjidillah II, bersaing untuk menduduki posisi kepemimpinan.

Belanda ikut campur dalam perselisihan ini dan mendukung Pangeran Tamjidillah II untuk menjadi sultan berikutnya. Pangeran Tamjidillah II adalah anak dari selir tertua Sultan Adam dan memiliki hubungan yang erat dengan Belanda. Belanda ingin Tamjidillah II menjadi sultan agar dapat mengendalikan izin tambang batu bara di wilayah Kesultanan Banjar.

Pada 3 November 1857, Belanda secara sepihak menobatkan Pangeran Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar di bawah pengawasan Residen Belanda E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg. Sementara itu, Pangeran Hidayatullah II hanya diangkat sebagai mangkubumi pada 9 Oktober 1856. Pangeran Anom, yang juga memiliki klaim atas takhta, diasingkan ke Bandung karena masalah dengan Belanda.

Kronologi Sejarah Perang Banjarmasin

Penobatan Pangeran Tamjidillah II oleh Belanda memicu perlawanan di luar istana. Dari pedalaman, Panembahan Muning atau Aling, mantan pengikut Sultan Adam, memimpin perlawanan terhadap keputusan Belanda. Panembahan Muning mendukung Pangeran Antasari, keponakan Pangeran Hidayatullah II, untuk menduduki takhta Kesultanan Banjar.

Pangeran Antasari menerima ajakan Panembahan Muning untuk bersatu melawan Belanda. Mereka juga mendapat dukungan dari Kesultanan Paser dan Kesultanan Kutai Kertanegara, serta bala bantuan dari Tumenggung Surapati yang memimpin orang-orang Dayak.

Pada tanggal 25 April 1859, pasukan Pangeran Antasari menyerang kawasan tambang batu bara Pengaron. Serangan ini berhasil membakar tambang dan pemukiman orang Belanda, yang kemudian menjadi pemicu meletusnya Perang Banjarmasin.

Jalannya Perang Banjarmasin

Belanda akhirnya memberhentikan Sultan Tamjidillah II pada 25 Juni 1859 dan mengasingkannya ke Bogor karena kondisi semakin memanas. Belanda kemudian mencoba menawarkan takhta sultan kepada Pangeran Hidayatullah II untuk meredam perlawanan. Namun, Pangeran Hidayatullah II justru memilih bergabung dengan Pangeran Antasari untuk melawan Belanda.

Pada September 1859, Pangeran Hidayatullah II dinobatkan sebagai Sultan Banjar di Amuntai. Tindakan ini membuat Belanda murka, dan pada 11 Juni 1860, mereka menghapus Kesultanan Banjar.

Pasukan gabungan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II memberikan perlawanan sengit kepada Belanda. Untuk menghadapinya, Belanda menerapkan strategi licik dengan menyandera ibu Pangeran Hidayatullah II. Situasi ini memaksa Pangeran Hidayatullah II untuk menyerah pada 2 Maret 1862.

Menurut Yanuar Ikbar dalam “Pelurusan Sejarah Perang Banjarmasin (1859-1863),” Pangeran Hidayatullah II dibawa ke Martapura dan kemudian diasingkan ke Cianjur pada 3 Februari 1862.

Akhir Perang Banjarmasin

Setelah Pangeran Hidayatullah II pergi, Pangeran Antasari tetap memimpin perlawanan melawan Belanda. Pada 14 Maret 1862, ia dinobatkan sebagai Sultan Banjar oleh rakyat Banjar dan Dayak.

Belanda mengintensifkan serangannya dengan membawa bala bantuan dari Batavia. Pangeran Antasari harus menerapkan strategi perang gerilya karena kalah jumlah pasukan. Namun, dalam menjalankan perang gerilya, Pangeran Antasari terserang penyakit dan meninggal dunia pada 11 Oktober 1862.

Baca juga : Politikus Ulung Abad ke-18: Hamengkubuwana I dari Mataram

Perang Banjarmasin kemudian mendekati akhir, dan para pemimpin yang tersisa dari pihak rakyat Banjar dibunuh, ditangkap, atau diasingkan oleh Belanda. Pangeran Antasari diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional atas perjuangannya pada 27 Maret 1968.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *