Politikus Ulung Abad ke-18: Hamengkubuwana I dari Mataram
Raden Mas Sulajana lahir sebagai putra dari penguasa Kasunanan Kartasura, Amangkurat IV (1719-1726), namun ia bukan putra mahkota karena ibunya hanya seorang selir. Yang memiliki hak atas takhta adalah saudara tirinya, Raden Mas Prabasuyasa, putra dari permaisuri.
Setelah kematian mendadak Amangkurat IV pada Maret 1726, Prabasuyasa, yang saat itu masih berusia 15 tahun, dinobatkan sebagai raja yang baru dengan gelar Pakubuwana II. Di masa pemerintahan Pakubuwana II, Kartasura mengalami kehancuran dan berubah menjadi Kasunanan Surakarta sebagai penerus Dinasti Mataram.
Awalnya, Mangkubumi mendukung kakak tirinya yang menjadi raja, membantunya dalam menghadapi berbagai pemberontakan, termasuk yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, kakak dari Amangkurat IV. Namun, peran Mangkubumi semakin membesar. Bagi Mangkubumi, tidak ada yang abadi dalam persahabatan maupun perseteruan. Dengan kebijaksanaannya, Mangkubumi akhirnya menjadi pendiri Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I, cabang Mataram yang bertahan hingga sekarang.
Politik Kekuasaan Mangkubumi
Setelah PB II naik tahta menggantikan Amangkurat IV, Raden Mas Said melawan. Said merasa berhak atas takhta karena menurutnya yang seharusnya menjadi raja adalah ayahnya, Arya Mangkunegara, bukan Amangkurat IV. Namun, Mangkunegara diasingkan ke Sri Lanka karena konfliknya dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Belanda.
VOC kemudian mengangkat Amangkurat IV, saudara Mangkunegara, sebagai raja di Kartasura, yang kemudian digantikan oleh PB II. Raden Mas Said menentang hal ini dan mengklaim haknya sebagai raja yang sah, menganggap PB II tidak memiliki hak atas takhta.
Situasi semakin tegang setelah Said bersekutu dengan komunitas Tionghoa yang merasa terpinggirkan oleh PB II dan VOC. Pada 30 Juni 1742, istana Kartasura direbut oleh pasukan gabungan pemberontak dalam apa yang dikenal sebagai Geger Pacinan. Menurut Ngadijo dalam bukunya, “Panembahan Senopati” (1986), PB II terpaksa melarikan diri ke Ponorogo, Jawa Timur.
Pangeran Mangkubumi melihat peluang dalam kekosongan kepemimpinan yang diakibatkan oleh kekacauan ini. Seperti yang diungkapkan Zainuddin Fananie dalam “Restrukturisasi Budaya Jawa” (2000), Mangkubumi mengunjungi Semarang, pusat VOC di Jawa Tengah, dan meminta dirinya diakui sebagai pemimpin. Namun, VOC menolak permintaannya. Mangkubumi marah dengan penolakan VOC, tetapi ia tidak kembali mendukung PB II. Kekecewaannya semakin mendalam setelah PB II tidak memenuhi janji untuk memberinya imbalan atas bantuannya dalam menghadapi Raden Mas Said. Akibatnya, Mangkubumi memutuskan untuk bersekutu dengan Raden Mas Said untuk melawan PB II dan VOC.
Sementara itu, VOC berhasil menghancurkan pemberontakan Tionghoa. Menurut Daradjadi dalam “Perang Sepanjang 1740-1743: Tionghoa-Jawa Melawan VOC” (2008), PB II kembali dari pengasingannya pada November 1743 dan menemukan istananya di Kartasura telah hancur, sehingga ia membangun kraton baru di Surakarta. Inilah awal berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat (hal. 247).
Said dan Mangkubumi mengungsi ke barat Surakarta, ke daerah pedalaman yang sekarang dikenal sebagai Yogyakarta, dan mendirikan markas di sana. Untuk memperkuat ikatan antara dua pangeran Mataram ini, Said menikahi putri Mangkubumi, Raden Ayu Inten.
Baca juga : Abdul Halim Perdanakusuma: Kosmopolitan dari Madura
Di Surakarta, PB II jatuh sakit dan meninggal dunia pada 20 Desember 1749. Sebelum kematiannya, PB II terpaksa menyerahkan takhta Surakarta kepada VOC. Beberapa hari sebelum PB II meninggal, tepatnya tanggal 12 Desember 1749, Mangkubumi menyatakan dirinya sebagai raja dengan gelar Pakubuwana III. Penobatan ini didukung sepenuhnya oleh Raden Mas Said, yang diangkat sebagai mahapatih oleh Mangkubumi.
VOC menolak klaim Mangkubumi dan justru mengangkat putra PB II yang masih kecil, Raden Mas Soerjadi, sebagai penerus takhta Mataram di Surakarta, dengan gelar Pakubuwana III. Pada saat itu, terdapat dua PB III yang bersamaan, yaitu Mangkubumi di Yogyakarta dan Raden Mas Soerjadi di Surakarta.