Siswondo Parman, Jenderal Intelijen AD Korban G30S 1965
Siswondo Parman atau yang akrab disapa S. Parman adalah salah satu dari tujuh pahlawan revolusi yang diculik oleh kelompok tentara dari Resimen Cakrabirawa pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tragedi ini menandai akhir hidup S. Parman.
Jasad S. Parman ditemukan bersama enam perwira Angkatan Darat lainnya pada tanggal 3 Oktober 1965 di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada tanggal 5 Oktober 1965.
Kenaikan Pangkat Siswondo Parman Menjadi Letnan Jenderal
Pangkat Siswondo Parman dinaikkan secara anumerta dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal, dan gelar Pahlawan Revolusi diberikan kepadanya berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. III/KOTI/Tahun 1965.
Parman merupakan tokoh tinggi dalam Angkatan Darat, sebagaimana lima rekan sejawatnya yang juga menjadi korban dalam peristiwa G30S 1965: Ahmad Yani, R. Suprapto, MT Haryono, DI Panjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo. Salah satu korban lainnya adalah Pierre Tendean, yang merupakan ajudan AH Nasution dan ikut diculik karena disangka sebagai sang jenderal.
Diantara mereka yang diculik pada G30S 1965, S. Parman memegang peran unik. Pada tahun 1965, ia telah dikenal luas sebagai seorang jenderal intelijen di Angkatan Darat. Sejak tahun 1962, Siswondo Parman menjabat sebagai Asisten I Bidang Intelijen. Seperti jenderal-jenderal lain dalam lingkaran Ahmad Yani, S. Parman memiliki orientasi politik yang berlawanan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di sisi lain, kakak kandungnya, Ir Sakirman, adalah anggota Politbiro PKI.
Biografi S. Parman dan Riwayat Kariernya hingga G30S 1965
Biografi Siswondo Parman mengisahkan perjalanan hidupnya yang penuh liku, dimulai dari masa kolonial Belanda. S. Parman lahir pada tanggal 4 Agustus 1918, di Wonosobo, Jawa Tengah. Ayahnya, Kromodiharjo, adalah seorang pedagang sukses di Wonosobo.
Sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara, S. Parman mendapatkan pendidikan tinggi pada masa penjajahan Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di HIS Wonosobo, Siswondo Parman pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di MULO. Dia kemudian menyelesaikan pendidikan menengah atas di AMS Yogyakarta.
Sebelum melanjutkan ke AMS, Siswondo Parman kembali ke Wonosobo selama dua tahun karena wafatnya Kromodiharjo, sehingga ia harus membantu ibunya dalam berdagang di toko keluarga. Setelah lulus dari AMS Yogyakarta, S. Parman melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool atau GHS) di Jakarta. Namun, studinya terhenti ketika pasukan Jepang datang tak lama setelahnya pada tahun 1942.
Era pendudukan Jepang mengubah arah karier S. Parman. Awalnya bercita-cita menjadi dokter, Siswondo Parman bergabung dengan dunia militer. Saat kunjungannya ke Wonosobo dan Cilacap, S. Parman direkrut oleh Kempetai (polisi militer Jepang) sebagai penerjemah (Kempeiho) karena kemampuannya dalam bahasa Inggris.
Menurut Harsya Bachtiar dalam buku “Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI AD” (1989), S. Parman bertugas sebagai Kempeiho di Yogyakarta dari tahun 1943 hingga 1945. Meskipun bekerja untuk Kempetai memberikannya banyak pengetahuan baru, S. Parman terpaksa menyaksikan aksi kekejaman unit tersebut.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Siswondo Parman singkatnya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia di Yogyakarta. Setelah itu, ia kembali ke dunia militer dengan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Parman bergabung dengan unit Polisi Tentara (PT) yang baru terbentuk. Dalam waktu singkat, ia naik pangkat menjadi kapten di PT. Sejak Desember 1945, ia menjabat sebagai Kepala Staf di Markas Besar Polisi Tentara Yogyakarta.
Hingga Konferensi Meja Bundar pada akhir 1949 yang menandai berakhirnya Revolusi Kemerdekaan RI, Siswondo Parman terus bertugas di apa yang kemudian berganti nama menjadi Korps Polisi Militer (CPM). Karir S. Parman di CPM relatif mulus, meskipun ia menghadapi masalah pada tahun 1948.
Dikutip dari catatan Sutrisno (1995:115), Siswondo Parman, yang pada saat itu menjabat sebagai mayor dan Kepala Staf CPM Markas Besar Komando Jawa, dipenjarakan di Wirogunan, Yogyakarta. Keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun 1948, karena aktivitas kakaknya Ir Sakirman, membuat S. Parman ditahan karena dituduh menyembunyikan keberadaan Sakirman.
Ketika Agresi Militer Belanda II dimulai pada 19 Desember 1948, Siswondo Parman baru dibebaskan. Selama periode kritis tersebut, S. Parman turut serta dalam gerilya. Setelah pemerintahan Indonesia pulih pada tahun 1950, ia diangkat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta.
Lompatan karier Siswondo Parman terjadi pada tahun yang sama ketika ia terlibat dalam penanganan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Westerling, yang melibatkan Menteri tanpa Portofolio, Sultan Hamid II. “Sultan Hamid II ditangkap pada 5 April 1950 oleh Mayor CPM S. Parman,” seperti yang dikutip dari buku “Derap 10 Nopember dalam Orde Baru” (1967).
Siswondo Parman kemudian menggantikan Ahmad Yunus Mokoginta sebagai Komandan Pusat CPM dengan pangkat Letkol dari November 1950 hingga 1953. Jabatan ini memberinya kesempatan untuk mengikuti kursus militer di Amerika Serikat selama satu tahun. Pada saat yang sama, S. Parman juga menjabat sebagai Staf Umum III Angkatan Darat.
Namun, setelah Peristiwa 17 Oktober 1952 yang melibatkan KASAD AH Nasution dan beberapa perwira militer lain di sekitarnya, Siswondo Parman mundur dari jabatan terakhirnya. Menurut Sutrisno (1995:116), S. Parman tetap aktif di Angkatan Darat setelah 1952, meskipun hanya sebagai instruktur di Pusat Pendidikan Angkatan Darat.
Benedict Anderson dan Ruth T. McVey dalam buku “Analisis Awal 1 Oktober 1965” (2009:15) mencatat bahwa Siswondo Parman termasuk tokoh kunci pendukung Nasution dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. Namun, insiden yang membuat Presiden Soekarno marah tidak sepenuhnya menghentikan karier militer S. Parman. Empat tahun kemudian, Siswondo Parman diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat pada tahun 1962, yang membuka kembali karier sebagai pemimpin senior di Angkatan Darat. Yani memilih Siswondo Parman sebagai asisten utamanya, menempati posisi Asisten I Bidang Intelijen. Sejak saat itu, salah satu tugas S. Parman adalah memantau aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI), lawan politik utama para pemimpin Angkatan Darat pada tahun 1960-an.