Ki Mas Hindi & Perlawanan yang Memancar dari Palembang
Palembang, salah satu pusat perdagangan utama di pantai timur Sumatra, mengalami transformasi besar menjadi pusat kebudayaan Islam pada abad ke-16. Sebelumnya, wilayah ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Buddha dari Kerajaan Majapahit.
Proses Islamisasi di Palembang
Djohan Hanafiah dalam bukunya “Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang” (1995) menceritakan bahwa proses Islamisasi di Palembang ditandai dengan kedatangan Arya Damar atau Arya Dillah yang disebut dalam “Babad Tanah Jawi”. Setelah era Arya Dillah, catatan sejarah Palembang sempat kosong sampai munculnya Ki Gede Ing Suro dari Demak pada abad ke-16.
Setelah Ki Gede Ing Suro, Palembang bergantian berada di bawah kekuasaan raja-raja Jawa—mulai dari Demak hingga Mataram. Meskipun demikian, penguasa Palembang pada periode ini memiliki status seperti Pangeran Miji (pangeran dengan status hampir setingkat raja di Jawa), walaupun wilayahnya cukup kuat untuk menjadi kerajaan mandiri.
Menurut Nawiyanto dan E.C. Endrayadi dalam buku “Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budaya” (2017), wilayah Palembang saat itu meliputi sebagian besar Provinsi Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, dan sebagian Bengkulu.
Di sisi lain, Palembang memiliki dinamika sendiri yang terpisah dari kepentingan politik raja-raja Jawa. Situasi Palembang yang kompleks kemudian menjadi pemicu perlawanan besar yang mengubah panggung politik Jawa dan Sumatra Selatan. Dan inilah yang dilakukan oleh Ki Mas Hindi.
Terjepit di Antara Dua Arus
Ki Mas Hindi lahir di Palembang sekitar saat Sultan Agung turun tahta di Mataram, sekitar pertengahan abad ke-17. Ia adalah anak dari penguasa Palembang, Pangeran Sido ing Pasarean, yang lahir dengan nama Pangeran Ario Kesumo Abdurrahim. Pada masa mudanya, Ki Mas Hindi tinggal di bawah pemerintahan kakaknya, Pangeran Sido ing Rajek, di Kraton Kuto Gawang yang didirikan oleh Ki Gede Ing Suro di wilayah timur Kota Palembang saat ini.
Seperti yang disebutkan dalam “Jalan Menuju Kelahiran Kesultanan Palembang 1675” (2021) karya Aulia N. Dhita dan S. Nofradatu, selama pemerintahan Pangeran Sido ing Rajek, Ki Mas Hindi menyaksikan penderitaan yang dialami kakaknya akibat campur tangan Kerajaan Mataram Islam sebagai penguasa di Palembang.
Sejak masa pemerintahan Sultan Agung, Palembang berkali-kali mengirimkan upeti sebagai tanda kesetiaan kepada Mataram, meskipun sering kali ditolak. Djohan Hanafiah dalam “Melayu-Jawa” (1995) bahkan menyebut bahwa Palembang terpaksa memaksa diri untuk menjaga hubungan baik dengan Mataram. Hal ini disebabkan oleh luka lama Palembang akibat serangan Banten pada tahun 1596 dan tekanan terus-menerus dari Kesultanan Jambi di ujung barat Pulau Jawa melalui persekutuan mereka. Mataram, yang diharapkan bisa membantu vasalnya, ternyata tetap acuh tak acuh dalam konflik sejarah di Sumatra bagian selatan.
Di sisi lain, Palembang juga harus berurusan dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda sejak pemerintahan Pangeran Sido Kenayan (1636-1650), pendahulu ayah Ki Mas Hindi pada awal abad ke-17.
Seperti yang dikutip dari Farida dalam “Konflik Politik di Kesultanan Palembang (1804-1821)” (2007), VOC, seperti di banyak tempat lain di Nusantara, awalnya meminta izin untuk membangun loji dagang. Setelah mendapat persetujuan untuk mendirikan loji di pinggiran Sungai Musi, mereka kemudian menandatangani kontrak monopoli perdagangan lada dengan Palembang pada tahun 1641. VOC tidak terlalu mempermasalahkan hubungan Palembang dengan Mataram, karena kontrak dagang ini justru mempengaruhi situasi politik internal Palembang.
Sebagian bangsawan di Palembang, terutama yang dari generasi tua, lebih mempertimbangkan hubungan politik dan budaya mereka dengan Mataram lebih penting. Sebaliknya, beberapa bangsawan yang lebih pragmatis melihat pentingnya membangun hubungan dengan VOC, terutama karena perusahaan dagang ini baru saja menaklukkan Melaka dan mendirikan Kota Batavia—dua jalur perdagangan utama Palembang.
Terbakar dan Membara
Perseteruan politik dan ekonomi, baik secara internal maupun eksternal, mencapai titik kulminasi dengan pembakaran Kraton Kuto Gawang pada tahun 1659. Hanafiah mengisahkan bahwa pembakaran Kraton Kuto Gawang oleh VOC terjadi sebagai balasan atas pembunuhan Cornelis Ockerz, perwakilan dagang mereka yang terkenal sombong. Akibatnya, VOC menuntut ganti rugi dari Pangeran Sido Rejek, yang menolaknya. Ekspedisi besar-besaran dikirim pada 7 Oktober 1659 di bawah pimpinan J. van der Laen.
Serangan terhadap Palembang berhasil. Pasukan VOC berhasil menembus tiga benteng di delta dan pinggiran Sungai Musi serta menyerang Kraton Kuto Gawang. Tidak mampu bertahan dari serbuan meriam VOC, Pangeran Sido Rejek melarikan diri meninggalkan istananya dan mengungsi ke Indralaya, di mana tidak lama kemudian meninggal di Sakatiga.
Kosongnya takhta memudahkan VOC untuk mengatur suksesi. Atas rekomendasi dari penguasa Jambi—yang masih berkerabat dengan keluarga pangeran Palembang—VOC mengakui Ki Mas Hindi sebagai Pangeran Palembang berikutnya.
Segera setelah naik tahta, seperti yang disebutkan oleh R.A. Triacitra dalam tesisnya “Dari Kuto Gawang ke Kuto Besak: Pasang Surut Perdagangan pada Masa Kesultanan Palembang tahun 1804-1821” (2021), Ki Mas Hindi kembali ke Palembang dan mendirikan istana baru yang diberinya nama Bringin Junggut. Ia segera menyusun strategi di tengah situasi yang rumit sejak masa pemerintahan pendahulunya, terutama terkait hubungan Palembang dengan Mataram.
Pada tahun 1668, untuk terakhir kalinya Ki Mas Hindi mengirimkan upeti dan permohonan maaf kepada Sunan Amangkurat I di Mataram atas konflik yang terjadi di Palembang. Namun, sekali lagi, utusan Palembang ditolak oleh Sunan dan ditahan di Demak selama 15 hari. Sunan menginginkan agar Pangeran Palembang sendiri yang datang ke Mataram untuk berdamai.
Permintaan Sunan Amangkurat I tidak pernah dipenuhi oleh Ki Mas Hindi, karena ia merasa bahwa hubungan patronase dengan Mataram tidak lagi memberi manfaat. Hal ini karena ia telah menjalin hubungan erat dengan VOC. Ki Mas Hindi membayar mahar perdamaian dengan menyetujui rekonstruksi loji dagang VOC tepat di depan istana baru yang ia bangun.
Baca juga : Proses Penulisan “The History of Java” oleh Thomas Raffles
Sebagai akhir dari “penghinaan” dan kelalaian Mataram terhadap Palembang, Ki Mas Hindi memberikan balasan dengan menobatkan dirinya sebagai Sultan dan Susuhunan Palembang pada tahun 1675. Kedua gelar prestisius ini dalam hierarki Mataram—gelar yang hanya disandang oleh Sultan Agung—menandai deklarasi Palembang sebagai kerajaan yang merdeka. Ki Mas Hindi kemudian dikenal sebagai Susuhunan/Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Iman, pendiri Kesultanan Palembang.
Ki Mas Hindi adalah seorang tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama terkait dengan perjuangan melawan penjajah Belanda pada masa Perang Jawa (1825-1830). Nama Ki Mas Hindi dikenal sebagai salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro. Berikut adalah rangkuman singkat mengenai sejarah kehidupan Ki Mas Hindi:
Awal Kehidupan
Informasi detail mengenai awal kehidupan Ki Mas Hindi tidak banyak tersedia dalam catatan sejarah yang ada. Namun, diketahui bahwa ia berasal dari kalangan bangsawan Jawa dan memiliki latar belakang yang membuatnya dekat dengan Pangeran Diponegoro.
Keterlibatan dalam Perang Jawa
Ki Mas Hindi adalah salah satu panglima perang yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa. Perang Jawa sendiri merupakan konflik besar yang terjadi antara pasukan kolonial Belanda dan para pemberontak Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Perang ini berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830 dan merupakan salah satu perlawanan terbesar terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia.