Kisah Tjamboek Berdoeri: Memoar Perjuangan Jurnalis Indonesia
Di era 1960-an, Benedict Anderson, seorang akademisi yang tertarik pada sejarah Indonesia, menemukan sebuah buku yang menarik perhatiannya di pasar loak Surabaya. Buku itu berjudul “Indonesia dalam Api dan Bara”, ditulis oleh seorang penulis tak dikenal bernama Tjamboek Berdoeri. Namun, keunikan buku ini tidak hanya terletak pada isinya yang kontroversial, tetapi juga pada misteri di balik identitas penulisnya.
Mengungkap Seseorang Dibalik Tjamboek Berdoeri
Anderson, yang kemudian menjadi terkenal dengan karyanya tentang nasionalisme dan bangsa-bangsa terbayang, termotivasi untuk mengungkap siapa sebenarnya Tjamboek Berdoeri. Ia menemukan bahwa sedikit yang diketahui tentang sosok ini, bahkan di kalangan teman-teman dekatnya di Indonesia pada waktu itu. Hanya sedikit yang pernah membaca buku tersebut, dan mereka pun tidak memiliki petunjuk konkret mengenai siapa Tjamboek Berdoeri.
Biografi Singkat Tjamboek Berdoeri
Kwee Thiam Tjing adalah nama asli dari Tjamboek Berdoeri. Lahir di Pasuruan pada 9 Februari 1900, Kwee menghabiskan masa kecilnya dalam suasana diskriminasi rasial yang menghinggapi masyarakat Tionghoa-Indonesia pada masa itu. Ketika memulai pendidikan di Europese Lagere School (ELS), Kwee mengalami perlakuan yang merendahkan karena keturunannya. Namun, dorongan untuk berprestasi membawanya melewati semua rintangan itu.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Kwee makin tertarik pada dunia jurnalistik. Dia mulai karirnya sebagai juru tulis di Perusahaan S.L. Nierop S. di Surabaya, di mana ia menunjukkan bakatnya dalam menulis dan menganalisis isu-isu sosial politik yang mempengaruhi masyarakat pada saat itu.
Peran Kwee dalam jurnalisme semakin menonjol ketika ia pindah ke harian Pewarta Soerabaja yang dipimpin oleh Liem Koen Hian. Di bawah bimbingan Liem, Kwee berkembang menjadi seorang jurnalis yang kritis dan berani. Pada tahun 1923, ketika Liem mendirikan harian baru Soeara Publiek, Kwee diundang untuk menjadi bagian dari dewan redaksi. Di sinilah Kwee menggunakan nama samaran “Tjamboek Berdoeri”, sebuah nama yang menjadi identitasnya dalam dunia jurnalistik.
Tentang Karya-Karya dan Kontribusi Kwee
Karya Kwee yang paling terkenal, “Indonesia dalam Api dan Bara” (1947), menjadi bukti nyata keberaniannya dalam mengungkapkan pandangan kontroversialnya tentang hubungan antara Belanda dan Jepang. Dalam bukunya, Kwee dengan tajam menulis tentang hubungan kolonial yang rumit dan mencela praktik penjajahan yang ada.
Pada tahun 1925, Kwee menulis laporan kontroversial yang menyebabkannya dipenjara oleh otoritas kolonial Belanda. Laporan ini mengkritik hubungan yang dibangun antara Belanda dan Jepang, dan mengakibatkan Kwee dijebloskan ke Penjara Kalisosok. Pengalaman ini menjadi titik balik dalam kehidupan Kwee, di mana ia mulai menyadari ketidakadilan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di bawah penjajahan.
Selama pendudukan Jepang, Kwee terlibat dalam organisasi Tonarigumi, sebuah kelompok sukarelawan yang bertujuan untuk membantu masyarakat saat masa perang. Meskipun Jepang telah menaklukkan Indonesia, Kwee tetap kritis terhadap kebijakan pendudukan Jepang yang menindas.
Setelah Revolusi Indonesia, Kwee menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam ketenangan, meskipun ia tidak pernah melupakan peranannya dalam pembentukan identitas nasional Indonesia. Pada tahun 1971, ia kembali ke Indonesia dan menulis serangkaian artikel untuk harian Indonesia Raya sebelum akhirnya meninggal dunia pada tahun 1974.
Warisan dan Pengaruh
Kehidupan dan karya Kwee Thiam Tjing, atau Tjamboek Berdoeri, merupakan cerminan dari perjuangan seorang jurnalis yang tidak hanya melawan penindasan kolonial, tetapi juga berkontribusi besar dalam perkembangan jurnalisme dan identitas nasional Indonesia. Karya-karyanya yang berani dan kritis masih relevan hingga saat ini, memotivasi generasi baru untuk mengeksplorasi sejarah bangsa dan menghargai perjuangan para pahlawan yang berani bersuara dalam masa ketidakpastian.