Pernyataan Kemendikbudristek: Orang Miskin Tidak Bisa Kuliah?
Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR, mengekspresikan kekecewaannya terhadap pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjani, yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan bagian dari pendidikan tersier. Baginya, pernyataan tersebut semakin menegaskan anggapan bahwa orang miskin tidak bisa kuliah.
“Kami prihatin dengan pernyataan Prof. Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional. Bagi kami, pernyataan ini semakin menguatkan persepsi bahwa orang miskin tidak boleh kuliah. Seolah-olah kampus adalah tempat elit dan hanya untuk mereka yang punya uang,” ujar Syaiful Huda dalam pernyataannya pada Sabtu (18/5/2024).
Huda mengakui bahwa ada benarnya dalam pernyataan tersebut, namun ia merasa bahwa penekanan yang diberikan kurang tepat. Terlebih lagi, pernyataan tersebut diucapkan sebagai tanggapan terhadap protes atas kenaikan UKT di beberapa perguruan tinggi negeri.
“Jika respons terhadap protes atas kenaikan UKT seperti ini, tentu itu sangat memprihatinkan,” ungkapnya.
“Ironisnya, ketika ada keluhan tentang biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat, sepertinya pihak berwenang ingin menghindar,” tambahnya.
Huda juga menegaskan bahwa kesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat terbatas. Menurut data BPS tahun 2023, Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia masih berada pada angka 31,45 persen. Angka ini jauh tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49 persen), dan Singapura (91 persen).
“Salah satu alasan utama dari rendahnya Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi di Indonesia adalah masalah biaya,” tambahnya.
Padahal, lanjut Huda, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun cukup besar, yakni sekitar 20 persen dari APBN. Bahkan tahun ini saja, ada alokasi APBN sebesar Rp 665 triliun untuk pendidikan.
“Ini mengundang pertanyaan, mengapa ada kenaikan UKT yang besar-besaran di beberapa perguruan tinggi negeri yang mengundang banyak protes dari mahasiswa? Apakah ada masalah dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain yang berperan?” tegasnya.
Pejabat Kemendikbudristek Sebut Pendidikan Tinggi sebagai Tersier
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merespons gelombang kritik dan protes terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang semakin mahal.
Tjitjik Sri Tjahjandarie, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, menjelaskan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa disediakan secara gratis seperti di negara lain. Hal ini disebabkan karena bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum mencukupi semua kebutuhan operasional.
Menanggapi protes yang semakin meningkat terhadap UKT, Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi dianggap sebagai pendidikan tersier yang tidak termasuk dalam wajib belajar selama 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya mencakup 12 tahun, mulai dari SD, SMP, hingga SMA.
“Kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan bagian dari wajib belajar. Artinya, tidak semua lulusan SMA atau SMK diwajibkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ini adalah pilihan,” ujar Tjitjik.
“Tetapi, apa implikasinya karena ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan lebih difokuskan dan diprioritaskan pada pembiayaan wajib belajar karena itu adalah amanat undang-undang,” lanjutnya.
Tetap Bertanggung Jawab
Meskipun begitu, Tjitjik menegaskan bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab dengan memberikan pendanaan melalui BOPTN. Namun, dana tersebut tidak cukup untuk menutupi seluruh Biaya Kuliah Tunggal (BKT), sehingga sisa biaya tersebut ditanggung oleh setiap mahasiswa melalui UKT.
Ia menambahkan bahwa UKT tidak mengalami kenaikan, namun ada penambahan kelompok UKT di beberapa perguruan tinggi negeri. Penambahan ini dilakukan oleh beberapa PTN untuk memberikan fasilitas kepada mahasiswa dari keluarga mampu.
“Jadi bukan kenaikan UKT, tapi penambahan kelompok UKT karena untuk memberikan fasilitas kepada mahasiswa dari keluarga yang mampu,” jelasnya.
Baca juga : Politik, Tata Kelola dan Kebijakan Perguruan Tinggi
Tjitjik menjelaskan bahwa permasalahan terjadi ketika beberapa perguruan tinggi memberlakukan lonjakan biaya UKT yang signifikan, terutama dari golongan empat ke golongan lima, dengan peningkatan rata-rata antara lima hingga 10 persen. Hal ini menimbulkan kontroversi dan memicu demonstrasi mahasiswa di beberapa daerah.
Namun demikian, pemerintah telah mengatur bahwa setiap perguruan tinggi wajib memiliki UKT golongan satu dan dua minimal 20 persen untuk memastikan bahwa masyarakat tidak mampu tetap memiliki akses ke pendidikan tinggi berkualitas. Tjitjik juga mengingatkan perguruan tinggi yang akan menyesuaikan kelompok UKT untuk mengusulkannya terlebih dahulu kepada Kemendikbudristek.
Pingback: Melihat Anggaran Pendidikan 2024 di Tengah Kontroversi UKT - DUNIA PENDIDIK