Pangeran Diponegoro dan Sikap Terhadap Etnis Tionghoa
Perang Diponegoro adalah salah satu babak bersejarah dalam perjalanan Indonesia yang, jika dilihat dari sudut pandang kontemporer, dapat dianggap sangat dipengaruhi oleh rasisme. Sentimen anti-asing yang terjadi di antara pengikut Diponegoro termanifestasi dalam bentuk kekerasan dan pembunuhan. Orang Belanda dihujat sebagai penguasa asing kafir yang ingin mengeksploitasi kekayaan tanah Jawa, sementara etnis Tionghoa disalahkan karena dianggap sebagai sekutu dan kaki tangan Belanda.
Komunitas Tionghoa Menjadi Sasaran Serangan Pasukan Dipnegoro
Hanya beberapa bulan setelah dimulainya perang, sebuah komunitas Tionghoa di Ngawi menjadi sasaran serangan pasukan Diponegoro. Sejarawan Peter Carey, yang telah mendalami Perang Jawa selama lebih dari 40 tahun, menjelaskan bahwa serangan pada bulan September 1825 dipimpin oleh seorang panglima perempuan bernama Raden Ayu Yudokusumo.
Yudokusumo dikenal sebagai sosok yang tegas. Ia tidak menunjukkan belas kasihan kepada komunitas Tionghoa. Dalam penelitiannya, Carey mencatat bahwa seluruh komunitas Tionghoa di Ngawi dihancurkan dengan kekejaman, mayat-mayat mereka dibiarkan berserakan, dan darah mengalir di jalanan.
Pembantaian Etnis Tionghoa Menyebar ke Seluruh Jawa Tengah
Kekerasan terhadap etnis Tionghoa tidak hanya terjadi di Ngawi. Pembantaian menyebar ke seluruh Jawa Tengah sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. Para pengungsi dari komunitas Tionghoa terpaksa melarikan diri ke pesisir utara Jawa setelah pemukiman Tionghoa terbesar di Bagelen timur dihancurkan.
Menurut Carey, sentimen xenofobia yang dipadukan dengan chauvinisme telah menjadi bagian dari budaya bangsawan Jawa sejak awal abad ke-19. Banyak di antara mereka yang mengeluhkan penunjukan orang Tionghoa sebagai pejabat pemerintah. Ketidakpuasan semakin meningkat ketika orang-orang Tionghoa, yang terampil dalam urusan keuangan, diangkat sebagai pemimpin di kantor-kantor bea cukai, terutama dengan meningkatnya tuntutan pajak.
Sistem fiskal yang diperkenalkan oleh Belanda memungkinkan sebagian orang Tionghoa untuk mengeksploitasi rakyat. Peraturan-peraturan pajak yang tidak adil menimpa tidak hanya petani dan pedagang, tetapi bahkan kaum ibu yang membawa anak di punggung mereka diminta membayar pajak karena dianggap membawa barang dagangan. Kemarahan atas penindasan ini pada akhirnya memicu kekerasan dan pembunuhan terhadap penjaga gerbang bea cukai yang kebetulan orang Tionghoa.
Ketika situasi di wilayah luar kerajaan semakin memanas, Gubernur Jenderal van der Capellen membuat keadaan semakin buruk dengan mengubah sistem sewa lahan pedesaan yang dimiliki oleh bangsawan Jawa. Pemilik tanah menuduh van der Capellen hanya memperhatikan kepentingan pengusaha asing, sebagian besar adalah orang Tionghoa. Akibatnya, bangsawan Jawa, terutama pengikut Kesultanan Yogyakarta, memilih untuk memberontak di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Namun, meskipun xenofobia memainkan peran besar, Carey menegaskan bahwa adalah kesalahan jika Perang Diponegoro dianggap secara mutlak sebagai pembantaian anti-Tionghoa. Seiring berjalannya perang, sikap terhadap orang Tionghoa mulai berubah, dan mereka tidak hanya dilihat sebagai musuh. Mereka menjadi mitra bisnis, menyediakan persediaan senjata dan obat-obatan untuk pasukan Diponegoro. Bahkan ada yang memeluk Islam dan bergabung dalam perjuangan bersama tentara Diponegoro.
Sikap dan Pandangan Pangeran Diponegoro
Dalam pandangan Diponegoro, tidak ada penentangan khusus terhadap keberadaan orang Tionghoa di pasukannya. Ia hanya membenci Belanda yang selalu disebutnya sebagai bangsa kafir. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pengalaman keluarganya, seperti salah satu panglimanya yang lahir dari perkawinan antara kakeknya, Hamengkubuwono II, dengan seorang perempuan Tionghoa.
Namun, sikap Diponegoro berubah setelah tahun 1826. Ia mulai melarang para komandan pasukannya menjalin hubungan dekat dengan orang Tionghoa. Bahkan ia melarang panglima terdekatnya, Raden Ario Sosrodilogo, untuk tidak berhubungan kelamin dengan perempuan Tionghoa, apalagi menjadikannya selir.
Dalam catatan Babad Dipanegara, Diponegoro mengaku bahwa ia pernah tergoda oleh seorang perempuan Tionghoa yang ditangkap di Pajang. Peristiwa ini terjadi dua hari sebelum kekalahan Diponegoro dalam Pertempuran Gawok pada 15 Oktober 1826. Menurut Carey, secara tersirat Diponegoro mengakui bahwa perselingkuhan ini menjadi salah satu penyebab kekalahan dalam pertempuran tersebut.
Diponegoro percaya bahwa hubungan seksual antara orang Jawa dan perempuan Tionghoa bisa mendatangkan malapetaka. Ketakutan akan kehilangan identitas Jawa adalah dasar dari kegelisahan terhadap hubungan antar-ras tersebut.
Jadi, Perang Diponegoro bukan hanya sekadar pertempuran fisik melawan penjajah Belanda. Ia juga mencerminkan kompleksitas hubungan antar-etnis dan budaya di Jawa pada masa itu, yang terkadang dipenuhi dengan ketakutan, prasangka, dan konflik internal.