Sekolah

Patok, Tombak dan Pemberontakan dalam Perang Jawa

Advertisements

Ketika kabar penggusuran kebun-kebunnya menyebar, Pangeran Dipanegara terkejut bukan main. Patok-patok telah menjamur di lahan-lahan yang telah ia rawat sejak muda, warisan dari Nyai Ageng, leluhurnya yang tercinta. Sejak kecil, Dipanegara diasuh oleh Nyai Ageng di Tegalrejo, dan kini tanah-tanah itu menjadi sumber keberlangsungan hidupnya.

Pemasangan Patok oleh Pangeran Dipanegara

Kejutan Dipanegara tidak terletak pada pemasangan patok itu sendiri, melainkan pada kurangnya pemberitahuan sebelumnya. Tidak ada kabar dari Residen, Patih, atau siapa pun yang memberitahukan bahwa tanahnya akan digunakan sebagai jalur jalan raya. Tanah-tanah itu memiliki nilai sentimental yang tinggi, bukan hanya sebagai sumber penghasilan, tetapi juga sebagai tempat peristirahatan abadi leluhurnya.

Sebulan sebelum pemasangan patok, Residen Yogyakarta, Anthonie Henrik Smissaert, memerintahkan perbaikan dan perluasan jalan lingkar di luar kota Yogyakarta. Tujuannya adalah untuk meningkatkan perdagangan dan pendapatan negara. Meski Smissaert tidak memiliki pengalaman di Jawa Tengah, ia dianggap tepat untuk tugas tersebut karena reputasinya dalam urusan keuangan.

Kedatangan Smissaert, seorang yang gemuk dan pemalu, memperumit hubungan antara Dipanegara dan pemerintah kolonial. Konflik internal dalam keraton semakin meruncing sejak Danureja IV diangkat sebagai Patih. Smissaert membuat keadaan semakin rumit dengan tindakan-tindakannya.

Dipanegara merasa bahwa Danureja terlalu pro-Belanda dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Dipanegara melihat Danureja sebagai simbol kebobrokan moral di keraton, yang terlihat dari gaya hidupnya yang hedonis dan pengaruh Belanda yang kental. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan Dipanegara terhadap otoritas moral keraton.

Dalam pikiran Dipanegara, keraton tidak lagi layak memegang peranan penting dalam membimbing rakyat Jawa. Ini mendorongnya untuk memisahkan kekuasaan politik dan spiritual, sebuah konsepsi yang berlawanan dengan tradisi Jawa yang menggabungkan keduanya.

Pada 17 Juni 1825, saat patok-patok mulai dipasang di kebun Dipanegara, keadaan semakin tegang. Para pengikut Dipanegara merasa terganggu karena tidak dapat bekerja di kebun seperti biasa. Konflik mulai memuncak, dan pada awal Juli 1825, massa yang berkumpul di Tegalrejo membuat pemerintah kolonial khawatir akan pecahnya kerusuhan.

Penggantian Patok dengan Tombak

Dalam keadaan genting ini, Dipanegara menyepi untuk memohon petunjuk dari Tuhan. Namun, kebuntuan dengan Belanda dan Danureja membuatnya semakin yakin bahwa perang tak bisa dihindari. Dia memutuskan untuk menantang Belanda dengan mengganti patok-patok dengan tombak, sebuah tindakan yang jelas merupakan tantangan perang.

Pada hari patok-patok diganti dengan tombak, Dipanegara memerintahkan keluarganya untuk mengungsi ke Selarong. Mereka membawa sejumlah besar uang dan barang berharga, yang nantinya akan digunakan untuk biaya perang. Danureja dan Smissaert menyadari bahwa pemberontakan sudah di ambang pintu, dan Smissaert mengeluarkan ultimatum kepada Dipanegara untuk datang ke Yogyakarta.

Ketika Dipanegara menolak ultimatum tersebut, Smissaert mengirim pasukan besar ke Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Pertempuran pecah, dan meskipun Dipanegara berhasil melarikan diri, perang tidak bisa dihindari lagi. Pada 21 Juli 1825, Dipanegara dan pengikutnya berkumpul di Selarong, menancapkan panji pemberontakan, dan dari sinilah Perang Jawa meledak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *