Konflik di Antara Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo
Kekecewaan Kyai Mojo
Kyai Mojo, dalam sebuah catatan, mengungkapkan kekecewaannya terhadap Pangeran Diponegoro. Menurutnya, alasan utama bergabung dengan perlawanan terhadap Belanda adalah karena Diponegoro berjanji akan mendirikan pemerintahan Islam. Namun, Kyai Mojo kemudian menemukan bahwa tujuan sebenarnya Diponegoro adalah mendirikan kerajaan baru di Jawa, bukan pemerintahan yang berlandaskan Islam.
Sebelum kekecewaannya terungkap, Kyai Mojo adalah penasihat spiritual dan panglima kepercayaan Diponegoro dalam Perang Jawa. Dia juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan dengan Belanda pada tahun 1827 di Klaten. Namun, perbedaan pandangan mulai muncul ketika Diponegoro terlihat lebih condong ke arah kejawen, sementara Kyai Mojo memegang teguh ajaran Islam.
Kyai Mojo, seorang ulama besar, memiliki harapan bahwa tanah Jawa akan diperintah dengan pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam. Namun, ketika Diponegoro mulai menggunakan simbol-simbol budaya Jawa untuk menguatkan kekuasaannya, termasuk klaim sebagai Ratu Adil dalam kampanye merekrut pasukan, Kyai Mojo merasa bahwa Diponegoro telah menyimpang dari tujuan awal perjuangan melawan Belanda.
Perdebatan Kyai Mojo dan Diponegoro
Perbedaan pandangan antara keduanya semakin terbuka saat Kyai Mojo mempertanyakan komitmen Diponegoro terhadap pembentukan pemerintahan Islam. Setelah perdebatan sengit, Diponegoro menyarankan agar Kyai Mojo berhenti berperang dan keluar dari barisan pasukannya.
Kyai Mojo akhirnya mengambil inisiatif untuk menemui Belanda dan mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Meskipun Belanda menawarkan kesepakatan yang menguntungkan Diponegoro, Kyai Mojo tidak memberikan jawaban langsung dan menyiratkan bahwa Diponegoro mungkin lebih tertarik pada gelar raja Jawa daripada pemerintahan Islam.
Baca juga : Eksplorasi tentang Kerajaan Kalingga
Perpecahan antara Diponegoro dan Kyai Mojo membuat Belanda melihat kesempatan untuk menghancurkan pasukan Diponegoro. Kyai Mojo dan pengikutnya kemudian disergap dan ditahan oleh Belanda. Kyai Mojo akhirnya diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara, di mana ia terus berdakwah hingga akhir hayatnya pada tahun 1849.
Pecahnya kongsi antara Diponegoro dan Kyai Mojo menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada akhirnya Perang Jawa. Dengan perpecahan di antara para pemimpin dan pengikutnya, pasukan Diponegoro kehilangan kekuatan dan akhirnya terdesak oleh Belanda, yang mengakhiri perang dua tahun setelah kepergian Kyai Mojo.