Monumen RRI Balong & Kisah “Radio Kambing” pada Era Revolusi
Di sebuah tanah lapang dekat Terminal Bus Balong di Kelurahan Balong, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar ada sebuah monumen sederhana menarik perhatian. Monumen tersebut tampak sederhana dengan undakan berwarna biru di bagian bawahnya. Di atasnya terdapat prasasti dan tiga pilar menjulang. Prasasti itu menggambarkan sejarah perjuangan angkasawan RRI/PHB Markas Besar Komando Jawa (GM II) selama Perang Kemerdekaan II (Clash II) tahun 1948-1949. Diresmikan oleh Menteri Penerangan Harmoko pada 11 September 1985, Monumen RRI Balong, atau dikenal juga sebagai Monumen Radio Kambing, menjadi saksi bisu dari perjuangan pada masa tersebut.
Agresi Militer II
Monumen RRI Balong memiliki kaitan erat dengan sejarah Revolusi 1945-1949 dan jaringan radio AURI yang digunakan sebagai alat komunikasi selama Agresi Militer Belanda II.
Peristiwa pendirian Monumen RRI Balong terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II dan berhasil merebut Yogyakarta, ibu kota RI pada saat itu. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, dan beberapa menteri ditawan oleh pasukan Belanda.
Dua hari kemudian, pasukan Belanda tiba di Surakarta pada tanggal 21 Desember 1948. Mereka berusaha menduduki beberapa objek penting di Surakarta, termasuk pemancar radio. Radio, sebagai alat komunikasi penting pada masa itu, merupakan sarana utama untuk menyebarkan berita, komando, dan pesan politik.
Kepala RRI Surakarta, R. Maladi, mengambil inisiatif untuk mengungsikan pemancar radio keluar Surakarta. Proses pengungsian ini tidaklah mudah, terutama dalam situasi perang. Pemancar radio berkekuatan 1 kilowatt yang beratnya mencapai 1,5 ton harus diangkut secara rahasia dan hati-hati karena patroli Belanda di sekitar Surakarta dan Karanganyar.
Pemancar radio tersebut akhirnya berhasil sampai di Desa Balong setelah empat hari perjalanan. Diselipkan di kebun seorang warga, sebuah studio siaran dibangun di dekat kandang kambing. Studio ini menjadi basis dari siaran Radio Kambing, yang kadang-kadang diselingi dengan suara kambing, sehingga mendapat julukan Radio Kambing.
Diburu Pasukan Belanda
Radio Kambing mengudara dari sekitar Februari 1949 hingga awal 1950, dengan operasi yang dilakukan oleh para pegawai RRI Surakarta yang ikut mengungsi. Radio ini menyebarkan berita tentang perlawanan Indonesia terhadap Belanda dengan menggunakan istilah “Gerilya Radio Republik Indonesia”.
Selain siaran, Radio Kambing juga melakukan hubungan dengan radio republik lain di Jawa dan Sumatera. Hal ini membuatnya memiliki peran penting dalam penyebaran informasi selama akhir Revolusi. Tak hanya dilengkapi dengan pemancar radio, Radio Kambing juga memiliki jaringan telegraf yang dapat terhubung dengan pemancar amatir dan kantor berita di luar negeri melalui kode jaringan telegraf RIPRESS.
Belanda mencoba berbagai upaya untuk melacak dan menghancurkan Radio Kambing, termasuk mengirim pasukan khusus untuk memusnahkannya. Namun, upaya tersebut gagal, dan peralatan pemancar radio itu selamat dari perang.
Setelah situasi perang mereda, pemancar radio tersebut dibawa kembali ke Surakarta. Monumen Radio Kambing didirikan di Balong untuk mengenang kisah heroik ini, sementara peralatan pemancar yang bersejarah kini dapat dilihat di Monumen Pers Nasional di pusat Kota Surakarta.