Mikrofon Kiai Balong: Suara Perlawanan dari Masa Revolusi
Berkunjung ke Museum Penerangan (Muspen) membuka pintu gerbang sejarah komunikasi massa Indonesia. Terletak di kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Muspen menggambarkan perjalanan media massa dan teknologi informasi di Indonesia. Setelah direnovasi, koleksi Muspen yang mewakili lima jenis media massa (surat kabar cetak, radio, televisi, dan film), serta alat komunikasi pramedia massa, sekarang dapat dilihat oleh pengunjung. Salah satu artefak yang menonjol di Muspen adalah Mikrofon Kiai Balong, sebuah artefak komunikasi yang memainkan peran penting selama masa Revolusi (1945-1949). Kisah di baliknya terhubung dengan Stasiun Radio Kambing, sebuah stasiun radio gerilya yang legendaris di kaki Gunung Lawu, dan artefak lain yang disimpan di Museum Monumen Pers Surakarta.
Mengapa Mikrofon Kiai Balong menjadi begitu penting dalam sejarah Indonesia? Bagaimana kisahnya mempertahankan perlawanan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus kembali ke masa Revolusi.
Kisah Stasiun Radio Kambing
Kehadiran Stasiun Radio Kambing terkait erat dengan Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948. Setelah berhasil merebut Yogyakarta, Belanda melanjutkan serangannya ke Surakarta. Salah satu target utamanya adalah Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI), infrastruktur komunikasi penting pada masa itu.
Menurut sejarawan Heri Priyatmoko, radio memegang peran vital dalam komunikasi selama Perang Kemerdekaan. Bagi pejuang RI, radio bukan hanya alat untuk memberikan komando dan menyebarkan berita perang, tetapi juga penting untuk agitasi politik.
Untuk menjaga keberlangsungan komunikasi, Kepala RRI Surakarta, R. Maladi, memutuskan untuk mengungsikan alat pemancar radio keluar Surakarta. Pemancar radio yang beratnya mencapai 1,5 ton itu diangkut secara rahasia ke Desa Balong di kaki Gunung Lawu.
Pemancar radio itu awalnya diangkut dengan truk tua menuju Tawangmangu, Karanganyar. Namun, perjalanan terhenti di Desa Punthukrejo karena kondisi jalan yang buruk. Alhasil, warga setempat membawa pemancar radio itu menggunakan tiang listrik pada malam hari untuk menghindari patroli Belanda.
Setelah empat hari perjalanan, pemancar radio RRI berhasil sampai di Desa Balong. Ditempatkan di kebun seorang warga, sebuah studio siaran dibangun di dekat kandang kambing. Karena lokasi studio yang tak biasa, sering kali siaran dari radio ini diselingi oleh suara kambing, sehingga dikenal dengan julukan Radio Kambing.
Dikejar Belanda
Monumen RRI Balong di Kelurahan Balong, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, didirikan untuk mengenang perjuangan stasiun radio darurat ini. Mikrofon Kiai Balong merupakan bagian dari kisah perlawanan Indonesia di udara. Bersama dengan pemancarnya, mereka menjadi saksi bisu dari kegigihan para pejuang di masa itu.
Dalam siarannya, stasiun radio ini mengabarkan informasi terkini tentang perlawanan Indonesia. Siaran-siaran ini juga merupakan simbol keberlangsungan Republik Indonesia yang masih eksis meskipun dalam tekanan Belanda. Tidak hanya dilengkapi dengan pemancar radio, Radio Kambing juga memiliki jaringan telegraf yang meliputi beberapa pemancar amatir dan kantor berita di luar negeri. Kode jaringan telegraf ini dikenal dengan nama RIPRESS (Republic of Indonesian Press) dan dapat terhubung dengan pemancar amatir di London, Berlin, Swiss, dan Swedia.
Mikrofon Kiai Balong dan peralatan-peralatan radio lainnya di Balong berhasil selamat dari kecamuk Revolusi. Mereka kemudian dibawa kembali ke Surakarta sebagai bagian dari sejarah perlawanan Indonesia.
Baca juga : Mengungkap Awal Mula Kebudayaan Islam
Berjuang di Udara
Mikrofon Kiai Balong adalah bagian dari jaringan radio gerilya yang vital bagi perlawanan Indonesia. Dari Sumatra hingga Jawa, stasiun-stasiun radio ini memainkan peran penting dalam menjalin komunikasi dan menyebarkan informasi tentang perjuangan kemerdekaan.
Stasiun-stasiun radio ini, termasuk Radio Kambing, adalah penjaga sejarah yang masih hidup hingga kini. Mereka adalah saksi bisu dari semangat perjuangan Indonesia yang tak kenal lelah. Semangat ini masih tercermin dalam Mikrofon Kiai Balong yang disimpan dengan baik di Muspen, sementara pemancarnya menjadi bagian dari koleksi Museum Monumen Pers Surakarta.