Mewarisi Budaya Maritim Suku Bajo di NTB
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), melalui Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), baru-baru ini melaksanakan ekspedisi multidisiplin untuk meneliti budaya, bahasa, dan simbol kemaritiman masyarakat Bajo. Kegiatan ini melibatkan kolaborasi dengan akademisi dan lembaga terkait untuk menggali lebih dalam mengenai warisan budaya Suku Bajo di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sekitarnya.
Fokus Penelitian
Kepala OR Arbastra, Herry Jogaswara, menjelaskan bahwa penelitian ini berfokus pada masyarakat Bajo yang tersebar di berbagai wilayah NTB, termasuk Sumbawa dan Pulau Lombok. Penjelasan ini disampaikan saat webinar berjudul “Budaya Maritim Bajo (Nusa Tenggara Barat)” yang diselenggarakan pada Senin, 26 Agustus.
Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN, Ade Mulyanah, menambahkan bahwa studi kali ini menggali budaya etnis Bajo, juga dikenal sebagai Bajau, yang mayoritas hidup di laut atau di atas perahu. Masyarakat Bajo dikenal karena pengetahuan mereka dalam bidang bahari dan keterampilan menyelam. Mereka sering bekerja sebagai pengrajin yang memanfaatkan sumber daya laut. Ade juga menyoroti bahwa riset PR BSK terhadap masyarakat Bajo dimulai pada tahun 2022, dengan tujuan mengungkap kekayaan budaya dan bahasa lokal mereka.
Dedi Supriadi Adhuri, peneliti dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, memaparkan bahwa suku Bajo lebih dominan di Indonesia bagian timur. Dedi menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh orang Bajo dalam mempertahankan sistem budaya dan bahasa mereka. Ia juga menunjukkan bahwa belum ada data yang akurat mengenai jumlah suku Bajo di Indonesia timur. “Perkiraan jumlahnya sekitar 200.000 jiwa, namun angka ini mungkin lebih tinggi menurut keterangan suku Bajo sendiri,” katanya.
Dedi mengidentifikasi tiga kategori orang Bajo di Indonesia berdasarkan konteks spasial sosial budaya mereka: pertama, mereka yang masih tinggal di perahu; kedua, mereka yang tinggal di atas perairan; dan ketiga, mereka yang menetap di pesisir daratan. Ia mencatat bahwa kondisi orang Bajo yang hidup di laut sangat memprihatinkan, karena mereka beroperasi di wilayah tiga negara—Indonesia, Filipina, dan Malaysia—tanpa mendapatkan pengakuan atau hak status kewarganegaraan yang memadai.
Peneliti dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, Erwan Husnan, menanggapi opini yang menyatakan bahwa orang Bajo adalah pendatang dengan menegaskan bahwa mereka merupakan warga asli NTB. Erwan menjelaskan bahwa kehidupan mereka sangat tergantung pada perubahan iklim dan mereka menggunakan pengetahuan musiman lokal untuk menangkap ikan, yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Baca juga : Kaitan Antara Makanan Berlebih dan Risiko Kecemasan serta Depresi
Metode Orang Bajo Menentukan Pasang Surut
Dalam praktik melaut, orang Bajo memiliki tiga metode utama untuk menentukan pasang surut: “ngetis” yang menandakan air laut kering, “pangerik” yang merujuk pada air surut yang teratur, dan “mallohe” yang berarti memindahkan. Mereka juga menggunakan strategi bernama “bungin,” yakni menangkap ikan di lokasi pulau-pulau kecil dengan berpindah dari satu pulau ke pulau lain untuk menghindari ombak, dan “maringkik,” yang dilakukan untuk menyeberangi selat tanpa pulau-pulau.
“Orang Bajo mampu beradaptasi dengan perubahan iklim berkat pengetahuan melaut mereka. Mereka memanfaatkan kondisi arus untuk memperoleh hasil tangkapan seperti lobster, cumi, dan berbagai jenis ikan laut lainnya,” pungkas Erwan.

