Resensi

Filsafat Kebahagiaan: Kebahagiaan pun Ada Filsafatnya

Advertisements

Oleh: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung

Berapa buku filsafat di lemari buku Anda? Berapa pun, setelah membaca buku-buku itu, mungkin hasilnya sama dengan saya: rieut alias mumet. Dikatakan bahwa filsafat merupakan induk ilmu-pengetahuan. Jika begitu, kita perlu karya-karya yang menyajikan filsafat dengan bahasa yang mudah dipahami. Hemat saya, mengaitkan filsafat dengan satu cabang ilmu lainnya atau dengan satu sisi kehidupan, dapat membantu memahamkan filsafat. Di saat sama, hal demikian dapat membantu meyakinkan bahwa filsafat memanglah induk ilmu-pengetahuan.

Buku terbaru yang saya punya, Filsafat Kebahagiaan, karya sahabat saya Fahruddin Faiz, alumni MAPK Jember dosen filsafat UIN Yogyakarta, memberi kita dua hal sekaligus sekaitan dengan filsafat: memudahkan filsafat dan memahamkan bahwa kebahagiaan pun ada filsafatnya. Melalui bukunya itu Mas Faiz mengintrodusir filsafat kebahagiaan melalui empat tokoh filsafat: Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram.

Empat Filsuf

“Empat filsuf yang dibahas dalam buku ini mewakili belahan dunia dan tradisi filsafat yang berbeda, juga mewakili cara pandang yang berbeda pula terhadap kebahagiaan. Plato dari tradisi filsafat Yunani yang rasional-idealis, al-Farabi dari tradisi filsafat Islam yang rasional-religius, Imam al-Ghazali dari tradisi filsafat Islam yang religius-spiritual, dan Ki Ageng Suryomentaram dari Jawa yang arif-realistis. Masing-masing dari mereka mengembangkan sebentuk filsafat kebahagiaan sesuai gaya berpikir masing-masing,” demikian Mas Faiz memberi argumen mengapa memilih empat filsuf tersebut.

Lalu mengapa topik kebahagiaan yang dipilih? Mas Faiz menerangkan bahwa orang boleh berbeda dalam banyak hal, tapi bakal bersepakat dalam satu hal: ingin bahagia. Sayangnya, makna bahagia itu tidak tunggal dan sama bagi semua orang. Bahagia bagi yang satu, boleh jadi bukan bahagia bagi yang lain. Bahagia itu ternyata macam-macam dan bisa saling bertentangan. Maka, layak sekali kalau orang bertanya: apa, sih, bahagia itu sebenarnya?

Kemudian kembali ke empat filsuf. Empat orang bijak tersebut: Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram, menawarkan konsep kebahagiaan, berikut cara-cara mencapainya. Meski masing-masing mengambil pendekatan berbeda, ada beberapa kesamaan yang kentara: bahwa orang mesti mengenal diri sendiri sebagai titik berangkat, dan orang menemukan diri sendiri sebagai titik tujuan. Mustahil orang mencapai kebahagiaan kalau tidak tahu siapa dirinya dan apa makna bahagia bagi dirinya. Buku ini, tegas Mas Faiz, bakal memberi pencerahan bagi Anda yang mencari kebahagiaan sejati.

Dari empat tokoh itu, status ini hanya akan menyajikan Plato. Ia lahir: 429 SM dan wafat: 347 SM. Plato hidup di era filsafat kuno. Karyanya antara lain: Philosophical Dialogues dan Politeia (Republik). Sebelum masuk ke tema kebahagiaan, kita harus mengerti apa pemikiran Plato tentang manusia. Pandangan Plato rentang manusia termasuk kategori yang sering disebut orang sebagai esensialisme. Intinya, bahwa manusia punya esensi. Apa esensi manusia? Jiwa. Jadi kata Plato, hakikat manusia adalah jiwanya. Badan hanya manifestasi dari jiwa. Maka, jangan terlalu percaya dengan badan. Badan bisa keliru dan menipu, karena hakikat manusia ada di jiwanya.

Di mata Plato, kebahagiaan terkait erat dengan keutamaan. Keutamaan adalah pengetahuan. Apa saja keutamaan itu? Kata Plato, kualifikasi pokoknya paling tidak ada empat: kesederhanaan, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan atau kebenaran.

Plato juga bicara tentang tahapan penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs). Dan ternyata konsep Plato tentang ini bersesuaian dengan konsep yang sama dalam ajaran sufi. Yaitu tiga tahap: Satu, takhalli: tahap pembersihan (dari kotoran, dosa, dan maksiat). Dua, tahalli: tahap pengisian dengan amal-amal baik. Dan tiga, tajalli: tahap menikmati hasil melalui penyaksian kehadiran Tuhan.

Kualitas Buku

Seperti apa “kualitas” buku ini? Pengakuan dua tokoh berikut dapat menjadi ukuran, setidaknya pertimbangan untuk memiliki dan membacanya:

K.H. Husein Muhammad, penulis Kebijaksanaan para Ulama, Sufi, dan Filsuf, mengakui: “Buku ini mengurai dengan santai tetapi indah pencarian akar kebahagiaan oleh para filsuf dan sufi yang paling melegenda, baik dari Dunia Barat, Muslim, maupun Jawa.”

Haidar Bagir, penulis Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, menulis: “Kebahagiaan—barangkali itulah hal yang paling diburu manusia. Buku ini memandu Anda ke arah penemuan kebahagiaan yang sejati, bukan kesenangan fisikal/psikologis yang dangkal, apalagi hedonisme. Sebuah buku yang penting ada dalam koleksi kepustakaan bacaan kita.”

Sementara itu, penulis buku ini sendiri, Mas Fahruddin Faiz, dengan tulisan-tangan, di halaman setelah sampul menulis: “Allah menciptakan kita untuk bahagia. Kita pun jangan mencari-cari alasan untuk tidak bahagia. Mari berbahagia, sekarang, di sini, seperti ini.”

Ada pun penulis resensi cuma bisa bilang: “Jangan lupa bahagia, meski tagihan cicilan tak mau tahu seperti apa kondisi saldo tabungan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *