Resensi

Metodologi Fatwa KUPI

Advertisements

Oleh: Dr. Zaprulkhan, Dosen UIN Bangka Belitung

Sebagaimana judulnya, buku yang ditulis oleh Faqih Abdul Kodir ini membahas metodologi fatwa KUPI, kepanjangan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Secara general, buku ini berisi empat korasan atau empat bagian. Korasan pertama, menguraikan sejarah pembentukan fatwa KUPI yang mencakup berfatwa dengan merujuk pada pengalaman perempuan, fatwa KUPI bagian dari ijtihad Islam Indonesia sampai pelaksanaan musyawarah keagamaan KUPI.

Korasan kedua, mengelaborasi paradigma dan pendekatan fatwa KUPI yang meliputi sembilan nilai dasar dalam paradigma KUPI, fondasi kerahmatan dari ayat dan hadis, kerangka maqashid asy-syariah, hingga tiga pendekatan fatwa KUPI yakni pendekatan makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki. Pada korasan ketiga inilah, kita bisa mengetahui epistemologi sekaligus metodologi KUPI sebagai pijakan dalam merumuskan fatwa-fatwanya terhadap problematika yang dihadapi kaum perempuna.

Korasan ketiga, menjelaskan posisi paradigmatik KUPI atas sumber-sumber keimanan, pengetahuan, dan gerakan yang mencakup Allah, alam, dan manusia, teks-teks sumber: Al-Qur’an dan Hadis, warisan tradisi dan khazanah peradaban Islam, realitas kehidupan dan pengalaman perempuan serta konstitusi, perundang-undangan dan komitmen global.

Korasan keempat, memaparkan struktur perumusan musyawarah keagamaan KUPI yang meliputi deskripsi, dasar rujukan, analisis, sikap dan pandangan keagamaan, rekomendasi, referensi hingga lampiran.

Korasan kelima, penutup yang berisi ikhtisar mengenai paradigma dan pendekatan fatwa KUPI yang dapat membawa kemaslahatan bagi lelaki dan perempuan—bukan hanya bagi lelaki tetapi juga berisi sebuah imbauan agar pula memberi peran yang seimbang dengan perempuan untuk berkontribusi sebagai khalifah yang memakmurkan bumi dan merasakan kemakmurannya dalam kehidupan nyata. Yang menarik, buku ini juga dilengkapi dengan prolog oleh Dr. Nur Rofiah dan epilog oleh Prof. Dr. Euis Nurlaelawati yang menjadikan buku ini semakin bernas.

Karena luasnya spektrum pembahasan dalam buku ini, disini saya akan memfokuskan pada paradigma dan pendekatan fatwa KUPI saja. Dalam resensi ini, saya akan meringkas poin-poin sembilan dasar paradigma KUPI serta tiga pendekatan KUPI yaitu pendekatan makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki. Disini saya akan menayangkan sekilas paradigma KUPI dan tiga pendekatan yang digunakan dalam kerja-kerja intelektual dan sosialnya.

Paradigma Fatwa KUPI

Menurut Kang Faqih, paradigma KUPI meliputi sembilan nilai dasar yaitu kehidupan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Namun pijakan pertama, berangkat dari konsep tauhid. Tauhid, sebagai ajaran inti Islam, adalah deklarasi faktual mengenai ketuhanan Allah SWT semata dan kehambaan siapa pun dan apa pun yang selain-Nya. Tauhid juga sekaligus menjadi ajaran normatif untuk mendorong manusia menjadi insan kamil yang menerjemahkan sifat rahamutiyyah dan rubübiyyah dalam kehidupan nyata. Tauhid adalah keimanan akan keesaan Allah SWT. Kalimat “la ilâha illallah” yang sering diucapkan setiap Muslim adalah proklamasi tentang keesaan Allah SWT, sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak.

Memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal, pertama pengakuan akan keesaan Allah SWT dan kedua pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Tiada tuhan kecuali Allah SWT, berarti tidak ada perantara antara hamba dengan Tuhannya, dan bahwa sesama manusia tidak boleh yang satu menjadi tuhan terhadap yang lain. Raja bukan tuhan bagi rakyatnya, majikan bukan tuhan bagi buruhnya, juga suami bukan tuhan bagi istrinya. Dus, laki-laki sama sekali bukan rujukan utama bagi perempuan. Keduanya harus merujuk pada Tuhan yang sama, Allah SWT.

Tauhid merupakan basis teologis bagi kesetaraan manusia. Kesetaraan ini yang menjadi basis relasi resiprokal antara laki-laki dan perempuan. Sistem sosial apa pun yang menjadikan salah satu ras, jenis kelamin, atau golongan sebagai superior dan yang lain sebagai inferior adalah menyalahi tauhid. Patriarki, karena itu, bisa dianggap sebagai tindakan menyalahi tauhid. Bahkan bisa disebut sebagai tindakan syirik atau menyekutukan Tuhan. Dalam sistim patriarki, jati diri perempuan lebih rendah dari laki-laki. Untuk bisa diakui di mata agama dan masyarakat, kiprah perempuan harus melewati laki-laki.

Sementara tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya, tanpa perantara laki-laki. Karena hubungan vertikalnya hanya kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal dimana keduanya adalah setara. Yang harus dibangun di antara mereka, kemudian, adalah hal-hal yang mengacu pada nilai-nilai kerja sama dan kesalingan, bukan superioritas hegemoni dan dominasi. Relasi resiprokal ini, kata ulama perempuan Amina Wadud, bertumpu pada dua karakter utama. Yaitu, saling mengenal (ta’âruf, QS. al-Hujurât 49: 13), dan saling mendukung (ta’âwun, QS. al-Mâidah 5:2).

Dengan demikian, masih dalam pernyataan Amina Wadud, tauhid memiliki dimensi vertikal antara hamba dengan Tuhannya, dan dimensi horizontal antara manusia sebagai sesama hamba-Nya. Jika tauhid vertikal menguatkan relasi seseorang dengan Allah SWT, tauhid horizontal menyatukan rasa kemanusiaan. Dalam perspektif tauhid, transformasi sosial harus terus digerakkan untuk perubahan dari relasi patriarki, misalnya, ke resiprositi, dominasi ke persekutuan, hegemoni ke kesalingan, dan dari kompetisi ke kerja sama.

Transformasi ini adalah nilai dasar dalam relasi fundamental antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah domestik maupun publik. Jadi, jika patriarki mengembangkan sistem sosial yang dominatif dan hegemonik, dari laki-laki kepada perempuan, maka tauhid menuntut adanya sistim sosial yang resiprokal, kesederajatan, tolong-menolong, dan kerja sama. Ketauhidan sosial horizontal ini pada gilirannya juga mengantarkan pada ajaran keadilan. Sehingga, tidak boleh ada orang yang diposisikan secara timpang dan atau menjadi korban sistim sosial yang hegemonik dan dominatif.

Jadi, ajaran tauhid meniscayakan kesetaraan dan keadilan dalam berelasi antara laki-laki dan perempuan, dan mendorong hadirnya kerja sama yang partisipatif, adil, dan memberi manfaat kepada keduanya tanpa diskriminasi. Ruang publik tidak seharusnya hanya dibangun oleh dan hanya nyaman untuk laki-laki. Ruang domestik pun tidak hanya dibebankan kepada atau dikuasi oleh perempuan. Partisipasi di publik dan domestik harus dibuka secara luas kepada laki-laki dan perempuan secara adil, sekalipun bisa jadi dengan cara, model, dan pilihan yang berbeda-beda.

Bagi Kang Faqih, dalam situasi yang masih timpang dan diskriminatif terhadap perempuan, perspektif kesalingan bisa saja menuntut agar ruang publik dibuka lebih lebar lagi bagi perempuan, dan laki-laki didorong untuk berpartisipasi lebih aktif lagi dalam ranah domestik. Ini untuk memastikan penghormatan kemanusiaan benar nyata hadir dalam dua ranah tersebut. Ini juga sekaligus untuk memastikan hadirnya prinsip-prinsip ta’awun (saling menolong), tahäbub (saling mencintai), tasyáwur (saling memberi pendapat), tarādhin (saling rela), dan ta’âsyur bil ma’ruf (saling memperlakukan secara baik) dalam relasi laki-laki dan perempuan, baik di ranah domestik maupun publik.

Relasi kesalingan gender ini baru utuh dan sempurna ketika seluruh pengalaman biologis dan sosiologis dipertimbangkan sebagai rujukan pengetahuan dan kebijakan. Sebagaimana diketahui, perempuan memiliki kondisi khas biologis dan sosiologis yang tidak dialami laki-laki. Yang biologis adalah bisa menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Yang sosiologis itu bisa mengalami stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda semata-mata hanya karena menjadi perempuan. Kondisi khas sosial yang dialami perempuan ini biasa disebut sebagai lima bentuk ketidakadilan gender.

Dengan kesadaran pada dua kondisi khas perempuan ini, pengetahuan dan kebijakan harus dipastikan tidak membuat perempuan semakin terpuruk, sakit, dan mengalami ketidakadilan. Melainkan memfasilitasi perempuan mampu melalui lima kondisi biologis secara baik dan prima di satu sisi, dan meniadakan kelima bentuk ketidakadilan sosial yang dialami perempuan di sisi lain.

Kang Faqih menggarisbawahi prinsip tauhid sebagai gerakan transformatif:

“Demikianlah, tauhid, dalam pandangan KUPI, harus berubah menjadi gerakan yang mentransformasikan pengetahuan dan kebijakan yang melemahkan perempuan dan merusak alam, menjadi yang menguatkan dan memberdayakan perempuan, serta melestarikan alam.”

Dari fondasi tauhid Allah SWT, Tuhan yang Rahmân dan Rahim kepada semesta, mandat utama pengangkatan khalifah ini diberikan Allah SWT kepada manusia. Yaitu mewujudkan kebaikan-kebaikan di muka bumi, memakmurkan kehidupan di dalamnya, untuk seluruh umat manusia dan segenap semesta. Inilah misi yang terus-menerus diingatkan melalui para nabi ‘alaihim as-salâm kepada umat manusia. Sejak Nabi Adam as sampai nabi akhir zaman, Nabi Muhammad Saw, yang membahasakan misi tersebut sebagai akhlâq karîmah, moralitas yang mulia dan luhur.

Secara literal kata majemuk akhlâq karîmah sering diartikan sebagai perilaku, karakter moral, atau kepribadian mulia. Ini benar, tetapi masih abstrak. Yang konkret adalah ketika perilaku ini terbentuk dalam sikap dan perilaku yang saling mewujudkan kemaslahatan, sebagaimana menjadi mandat dari kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Karena itu, kata majemuk akhlâq karîmah ini, di sini lebih tepat dimaknai sebagai misi kemaslahatan Islam yang dimandatkan kepada manusia. Yaitu segala perilaku mulia dengan mengupayakan kebaikan-kebaikan konkret bagi diri, keluarga, orang lain, segenap manusia, dan juga lingkungan alam sekitar.

Lalu, untuk memastikan misi kemaslahatan ini mewujud dalam kehidupan nyata, ia memerlukan kerangka nilai. Utamanya adalah nilai kesetaraan, kesalingan, dan keadilan. Nilai kesetaraan adalah ketika semua manusia yang berbagai diri, jenis kelamin, ras, suku, bahasa, dan agama diposisikan sama-sama berhak atas kemaslahatan yang menjadi objek kepentingan bersama. Di sisi lain, mereka semua secara setara harus terlibat dan dilibatkan dalam mewujudkan misi tersebut.

Setelah posisi setara ini, mereka dituntut untuk saling bekerja sama, saling mendukung, saling melengkapi, dan saling menguatkan dalam mewujudkan misi tersebut. Begitupun dalam menikmati hasil dan manfaatnya. Satu sama lain saling mendukung dan kerja sama, agar semua bisa menikmati objek kemaslahatan bersama tersebut. Seseorang tidak utuh sebagai manusia, jika maslahat sendiri tanpa yang lain, dan tidak tersentuh dengan penderitaan yang lain. Demikianlah makna dari nilai kesalingan yang dimaksudkan.

Karena itu, ketika salah satu memiliki kapasitas atau manfaat lebih, nilai keadilan menuntutnya untuk menggunakannya bagi pemberdayaan dan penguatan mereka yang kurang kapasitas dan sedikit memperoleh manfaat. Nilai keadilan menuntut seseorang untuk tidak mempecundangi yang lain, melainkan melindungi. Tidak memperdayakan, melainkan memberdayakan. Tidak melemahkan, melainkan menguatkan.

Kemudian ketiga nilai dari misi kemaslahatan ini (kesetaraan, kesalingan, dan keadilan), dalam kehidupan kontemporer yang penuh berbagai tantangan, perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang kontekstual. Yaitu nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Nilai kebangsaan untuk memastikan misi kemaslahatan ini benar-benar memberi manfaat kepada segenap warga negara dalam suatu negara, seperti Republik lndonesia. Tidak primordial dan tidak rasial. Di sisi lain, misi ini juga melibatkan mereka semua, dengan berbagai latar belakang, dari seluruh warga negara.

Nilai kemanusiaan untuk memastikan misi ini tidak menjadi chauvinist, membenci dan menegasikan bangsa-bangsa lain, dari negara yang berbeda, melainkan bekerja sama dan bersama segenap bangsa-bangsa dunia, mewujudkan kemaslahatan dunia dan semesta. Nilai kemanusiaan menuntut kerja sama bersama seluruh penduduk dunia, menghormati kesepakatan, menerapkan keadilan, mengupayakan kesejahteraan, dan melestarikan lingkungan.

Karena itu, nilai kesemestaan memberi penegasan agar misi kemaslahatan kita sebagai manusia mempertimbangkan secara konkret kelestarian dan keseimbangan lingkungan dan alam. Manusia adalah bagian dari alam dan semesta. Kita tidak boleh egois dan etnosentris, mementingkan kehidupan manusia belaka, dengan merusak kelestarian alam. Mementingkan alam, sesungguhnya, juga mementingkan kehidupan dan kelestarian manusia.

“Demikianlah”, tulis Kang Faqih, “fondasi ketauhidan menumbuhkan visi kerahmatan. Visi kerahmatan membuahkan misi kemaslahatan. Misi kemaslahatan harus dimplementasikan dalam naungan tiga nilai prinsipal: kesetaraan, kesalingan, dan keadilan. Misi kemaslahatan ini juga, dalam konteks kontemporer, harus dirawat dan dikelola dalam buaian tiga norma utama: kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Jika digenapkan, semuanya ada sembilan nilai paradigma KUPI: ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.”

Tiga Pendekatan Fatwa KUPI

Pertama, pendekatan makruf. Disini, Kang Faqih mengadopsi pendekatan yang digulirkan Badriyah Fayumi, Pengasuh Pesantren mahasiswa Bekasi dan salah satu tokoh kunci KUPU. Badriyah mengenalkan pendekatan dengan konsep makruf dalam menyelesaikan problem-problem sosio-teologis umat Islam, terkait isu-isu relasi sosial manusia, terutama bagi kelompok rentan, seperti perempuan, anak, dan kaum minoritas. Tawaran ini dihasilkan dari telaahnya yang mendalam terhadap ayat-ayat pernikahan (munâkahat) dalam Al-Qur’an, yang banyak sekali menggunakan kata ma’rûf sebagai pokok etika sekaligus pendekatan dalam menyelesaikan relasi marital, maupun familial.

Dalam penelusuran Mbak Nyai Badriyah, kata makruf (ma’rüf), disebutkan 34 kali dalam Al-Qur’an. Dari semua penggunaan kata dalam berbagai ayat, ia memiliki makna yang berkisar pada “kebenaran, kebaikan, dan kepantasan yang diketahui dan diterima oleh umum karena dianggap layak secara akal dan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran etika, watak, dan tabiat umum masyarakat (common sense) serta fitrah manusia”. Makna-makna inilah yang dikembangkan para ulama tafsir dan fiqh dalam mengkonsepsikan ma’rûf sebagai salah satu istilah kunci dalam tradisi Islam, terutama yang menyangkut hukum.

Mbak Nyai Badriyah mendefinisikan konsep makruf sebagai: “Segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran, dan kepantasan yang sesuai dengan syari’at, akal sehat, dan pandangan umum suatu masyarakat.” Ayat 19 dari Surat an-Nisa [4] yang mengharuskan suami memperlakukan istri secara ma’růf, artinya dengan sesuatu yang disukai dan diterima oleh perasaan, dibenarkan menurut syari’at, serta dipertegas tradisi dan kebiasaan masyarakat (‘urf).

Konsep makruf dalam Al-Quran mengandung tiga ide dasar yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Pertama makruf sebagai salah satu prinsip relasi sosial, di samping prinsip keadilan, kesalingan, dan kerja sama. Relasi sosial yang dimaksud menyangkut relasi antar individu, marital antara pasangan suami istri, familial dalam sebuah keluarga, maupun yang lebih luas dalam komunitas, bangsa, maupun penduduk dunia. Dengan konsep makruf, relasi ini harus didasarkan pada etika hubungan berdasarkan kepantasan umum yang bersifat lokal-temporal. Hal ini penting untuk menciptakan dan memelihara “suasana sosial yang harmonis, di mana aspek opini, rasa, dan kesan kepantasan, dapat terjaga dengan baik.”

Kedua, makruf sebagai salah satu bentuk apresiasi dan referensi pada tradisi baik yang diterima dan diamalkan suatu masyarakat. Ulama fiqh menyebutnya sebagai ‘urf, ‘adah, atau adat kebiasaan. Termasuk kebiasaan-kebiasaan di kalangan komunitas tertentu, atau profesi tertentu. Ini artinya kerja-kerja induktif untuk menemukan kebaikan yang telah mentradisi di kalangan masyarakat menjadi penting dan perlu dikembangkan. Selama tidak bertentangan secara nyata dengan prinsip-prinsip Islam, kebaikan dari tradisi mana pun bisa masuk dalam bingkai ajaran Islam yang universal.

Ketiga, makruf sebagai pendekatan dalam menurunkan dan mengkontekstualisasikan nilai-nilai universal Islam, seperti keharusan untuk saling rela dan saling musyawarah “ke dalam sistem aplikasi sosial yang bersifat partikular dan kasuistik, di mana nilai-nilai kepantasan lokal menjadi unsur pertimbangan utama”, di samping juga “kondisi riil orang-orang yang sedang mengalami persoalan serta kemungkinan-kemungkinan yang ada secara kontekstual.” Sehingga, masing-masing orang, keluarga, atau komunitas, sekalipun merujuk pada nilai Islam yang sama, sangat mungkin mengambil solusi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kemungkinan masing-masing.

Menurut Kang Faqih, konsep makruf bisa menjadi pendekatan dalam mengelola dialektika teks yang otoritatif yang bersumber pada wahyu dan konteks yang berdasar pada fakta-fakta realitas, dengan menemukan secara induktif kebaikan-kebaikan yang disepakati, diterima, diamalkan, dan dijadikan acuan suatu masyarakat, baik dalam skala kecil maupun besar, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariah Islam yang biasanya dipahami secara deduktif dari sumber-sumbernya. Pendekatan ini juga bisa dikembangkan dalam membuat keputusan-keputusan fatwa sosial keagamaan, di mana pengalaman realitas kehidupan, ilmu pengetahuan, data-data lapangan, kebiasaan dan tradisi, kesepakatan yang berlaku, peraturan dan perundang-undangan, bahkan kesepakatan global bisa menjadi rujukan dalam menemukan kebaikan yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam, terutama yang telah diadopsi sebagai sembilan nilai dasar KUPI.

Kedua, pendekatan mubadalah. Sebagaimana kita ketahui bersama, pendekatan mubadalah dicetuskan oleh Kang Faqih. Menurut Kang Faqih, dalam pembahasan mengenai metodologi ini, mubâdalah lebih tepat untuk diungkapkan sebagai pendekatan dalam perumusan fatwa KUPI. Yaitu dengan menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara ketika merujuk kepada teks-teks sumber, memaknainya, membuat keputusan-keputusan hukum darinya, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.

Begitu pun ketika menimba pengetahuan dan pembelajaran dari realitas kehidupan, harus dengan pendekatan mubâdalah yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara. Semua konsepsi yang dijelaskan dalam paradigma KUPI di atas, dalam pendekatan mubâdalah, meniscayakan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan adalah subjek setara yang harus disapa, disertakan, diajak secara aktif untuk melakukan kebaikan dan memperolehnya, serta untuk menjauhi keburukan dan dijauhkan darinya.

Pendekatan mubâdalah ini didasarkan pada tiga premis ajaran dalam Islam. Pertama, bahwa lslam hadir dengan seluruh teks dan ajaran-ajarannya untuk laki-laki dan perempuan. Sehingga, suatu teks, yang bisa jadi karena konteks tertentu baru menyapa lak-laki, ia sesungguhnya juga menyapa perempuan. Begitu pun yang baru menyapa perempuan, karena sesuatu dan lain hal, sesungguhnya juga menyapa laki-laki. Dalam metotode tafsir mubadalah, harus ada upaya untuk menemukan makna primer yang bisa berlaku bagi laki-laki dan perempuan, dalam mewujudkan kebaikan (jalb al-mashálih) dan menjauhkan keburukan (dar’ al-mafâsid).

Kedua, bahwa prinsip relasi antara keduanya adalah kerja sama dan kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan. Setiap keputusan hukum yang mengarah pada model relasi yang hegemonik dan despotik adalah bertentangan dengan prinsip ini. Karena itu, harus ada upaya pemaknaan ulang dengan pendekatan mubâdalah agar keputusan hukum yang lahir selaras dengan prinsip kerja sama dan kesalingan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. at-Taubah 9: 71). Ketiga, untuk menyelaraskan dengan kedua prinsip di atas, seluruh teks-teks sumber adalah terbuka untuk dimaknai ulang, dan seluruh keputusan hukum, selama menyangkut hal-hal teknis kontekstual, adalah juga bisa berubah. Ini semua karena kedua premis di atas adalah jelas senafas dengan visi rahmatan lil ‘âlamin dan akhlâq karîmah dalam Islam.

Konsep makruf, seperti dijelaskan di atas, dalam pendekatan mubâdalah harus menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara. Ketika makruf didefinisikan sebagai kebaikan yang diterima masyarakat, maka artinya diterima laki-laki dan perempuan. Penerimaan perempuan harus benar-benar terjadi sebagaimana penerimaan laki-laki. Begitu pun, ketika diartikan sebagai tradisi dan kebiasaan baik, maka ia juga harus berangkat dari pengalaman dan kebiasaan perempuan, sebagaimana juga dari laki-laki. Begitu pun sebelumnya, kerangka maqashid asy-syariah dengan al-kulliyât al-khams, berupa perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-‘aql), harta (hifzh al-mál), keluarga atau kehormatan (hifzh an-nasl), dan agama (hifzh ad-din).

Dalam pendekatan mubádalah, ia harus benar-benar melindungi jiwa, akal, harta, agama, dan kehormatan perempuan, dengan mengambil pelajaran dari pengalaman mereka yang nyata dan langsung. Bukan diatasnamakan oleh laki-laki, atau hanya dari pengalaman laki-laki. Surat An-Nisâ 4: 19 yang dikutip Nyai Badriyah sebagai landasan konsep makruf di atas, dalam pendekatan mubadalah, tidak hanya tentang suami yang harus memperlakukan secara baik terhadap istrinya, tetapi juga tentang istri terhadap suaminya. Artinya, menurut mubadalah, ayat ini sejatinya adalah tentang pasangan suami istrn, di mana satu sama lain dituntut untuk saling berbuat baik kepada pasangannya, dengan kebaikan yang berangkat dari perasaan, harapan, dan pengalaman keduanya.

Perempuan dan laki-laki adalah subjek setara. Keduanya adalah sama-sama hamba-Nya yang dijadikan khalifah di muka bumi. Keduanya adalah manusia yang utuh, dalam kaitannya dengan kebaikan-kebaikan yang harus dihadirkan dalam kehidupan domestik maupun publik, maupun keburukan-keburukan yang harus dihindari dan dijauhkan. Keduanya berhak atas kebaikan dan atas partisipasi aktif dalam mewujudkannya (amar ma’ruf). Begitu pun berhak terhindar dari keburukan dan atas partisipasi aktif dalam menghapuskannua dari kehidupan (nahy munkar). Fatwa-fatwa KUPI sangat kentara mengadopsi pendekatan mubadalah yang sudah diresmikan dalam Korngres di Cirebon pada bulan April 2017.

Ketiga, pendekatan keadilan hakiki. Pendekatan ini diprakarsai oleh Nur Rofiah. Menurut Nur Rofiah, karena perempuan dianggap sebagai manusia utuh dan subjek yang setara, keadilan hakiki meniscayakan pertimbangan pada pengalamannya yang bisa berbeda secara biologis dan sosial dari laki-laki. Dalam pendekatan keadilan hakiki, kebaikan yang harus diterima perempuan adalah yang berangkat dari pengalamannya yang khas dan bisa berbeda dari pengalaman laki-laki. Sebagai subjek yang setara dan manusia utuh, laki-laki dan perempuan berhak atas segala kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan. Namun, jenis kebaikan yang diterima laki-laki bisa berbeda dari yang diterima perempuan. Begitu pun bentuk kemaslahatan yang didefinisikan bagi perempuan, karena pengalamannya yang khas, bisa berbeda dari yang didefinisikan bagi laki-laki.

Setidaknya, dari perbedaan alat reproduksi, perempuan memiliki lima pengalaman yang tidak dialami laki-lak. Yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Sehingga, kesakitan terkait hal ini, atau kesehatan, dan juga kebaikan mengenai semua hal ini, tidak bisa didefinisikan oleh laki-laki dan dalam forum-forum yang hanya berisi laki-laki. Melainkan dari pengalaman nyata para perempuan yang satu sama lain bisa beragam, dan keputusan forum yang harus melibatkan mereka.

Sehingga konsep makruf, misalnya, dalam pendekatan keadilan hakiki, harus memastikan benar-benar baik bagi perempuan melalui lima pengalaman biologis yang khas ini. Sesuatu tidak bisa dianggap makruf, sekalipun didukung berbagai penafsiran, jika perempuan didiskriminasikan karena lima hal biologis tersebut. Begitu pun keputusan hukum atau suatu kebijakan tidak bisa dipandang makruf jika menafikan pengalaman khas perempuan, atau justru hasilnya membuat perempuan, dengan kondisi khas tersebut, tambah sakit dan sengsara.

Pengalaman lain adalah kondisi sosial yang dalam ribuan tahun perempuan mengalami stigmatisasi (pelabelan negatif), subordinasi (tidak dianggap penting dalam sistem kehidupan), marginalisasi (peminggiran dari sistem keputusan), beban ganda antara domestik dan publik, serta kekerasan, baik fisik, psikis, seksual maupun yang lain. Sesuatu dianggap makruf, misalnya, adalah jika mempertimbangkan pengalaman sosial perempuan yang rentan terhadap lima bentuk ketidakadilan ini, sehingga yang diputuskan harus mampu mentransformasikan kondisi perempuan menjadi manusia dengan martabat mulia, sebagai pusat kehidupan sebagaimana laki-laki, dilibatkan dalam perumusan keputusan dan kebijakan, berbagi beban dengan pasangan, dan terbebas dari segala bentuk kekerasan. Semua fatwa KUPI adalah terang benderang, dengan pendekatan keadilan hakiki, mengupayakan tansformasi sosial ini, mendorong agar perempuan tidak didiskriminasi ketika mengalami pengalaman biologis tersebut dan berupaya menghapuskan segala bentuk ketidakadilan gender.

Menurut Kang Faqih, kesembilan nilai dan prinsip tersebut (ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan,kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan), dengan cara pandang mubâdalah dan keadilan hakiki dalam relasi gender, adalah paradigma KUPI dalam metodologi Musyawarah Keagamaan. Perspektif mubâdalah untuk memastikan cara pandang terhadap perempuan sebagai subjek utuh kehidupan dan manusia yang setara dengan laki-laki, dan keadilan hakiki untuk meniscayakan pentingnya mempertimbangkan pengalaman biologis dan sosial perempuan yang berbeda. Mubâdalah dan keadilan hakiki ibarat dua sisi satu mata uang: keadilan gender Islam.

Demikianlah paradigma yang diadopsi KUPI, dengan sembilan nilai dan tiga pendekatan, yang diimplementasikan dalam kerja-kerja intelektual dan sosialnya, termasuk dalam perumusan fatwa-fatwa oleh forum yang disebut sebagai Musyawarah Keagamaan.
Paradigma ini mewarnai KUPI dalam merujuk sumber-sumber pengetahuan dalam kehidupan ini, baik yang bersumber pada wahyu seperti Al-Qur’an dan Hadits, maupun pada dinamika sosial antara teks sumber tersebut dan realitas, seperti tafsir. fiqh, qanun, adat kebiasaan, kesepakatan sosial dan global, serta sumber-sumber pengetahuan yang lain.

KUPI juga menggunakan kerangka maqashid asy-syariah sebagai metodologinya. Cukup di sini, saya turunkan pandangan Nur Rofiah tentang konsep-konsep kunci maqashid asy-syariah yang enam (al-kulliyat as-sittah) mesti menjangkau pengalaman kemanusiaan khas perempuan. Menjaga agama (hifzh ad-din) adalah termasuk menjaga perempuan untuk tidak direndahkan kualitas agama mereka karena pengalaman reproduksi khasnya. Menjaga jiwa (hifzh an-nafs) adalah termasuk menjaga perempuan dari kematian akibat melahirkan (marital mortality). Menjaga akal (hifzh al-‘aql) adalah termasuk mendorong perempuan untuk sekolah setinggi mungkin. Menjaga kehormatan (hifzh al-‘irdh) adalah termasuk menjaga perempuan dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Menjaga keturunan (hifzh an-nasl) adalah termasuk menjaga sistem reproduksi perempuan dari setiap tindakan yang membahayakannya. Menjaga harta (hifzh al-mal) adalah termasuk membuka akses perempuan untuk memperoleh dan memiliki harta, dan sebagainya.

Penutup

Dengan sekelumit paparan di atas, kita melihat bahwa KUPI dengan seluruh aktornya telah melakukan suatu ijtihad intelektual dalam merespons puspa ragam problematika yang dihadapi kaum perempuan era kontemporer. Mereka berpijak pada Al-Qur’an dan hadis sebagai satu kesatuan yang bersifat integral dan holistik dalam membumikan visi besar Islam rahmatan lil ‘alamin dan akhlak karimah. Lalu merumuskan sembilan nilai paradigma KUPI dengan tauhid sebagai fondasi utama yang diikuti dengan nilai kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.

Kemudian diperkaya juga dengan tiga pendekatan yakni pendekatan makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki. Tidak hanya itu, KUPI juga menggunakan kerangka maqashid as-syariah secara integral-holistik dengan menghubungkan setiap problematika yang dihadapi kaum perempuan dengan seluruh kandungan al-kulliyat al-khams, prinsip-prinsip lima. Kemudian semua prinsip, nilai, paradigma, pendekatan, dan kerangka maqashid diimplementasikan secara kontekstual-kondisional dengan berbagai problematika yang dihadapi kaum perempuan Indonesia—dalam masyarakat luas, sehingga jawaban-jawaban yang diberikan oleh KUPI dapat menemukan relevansi dan aktualitasnya ditengah-tengah masyarakat.

Walaupun demikian, rekonstruksi metodologi yang dikonstruksi oleh Kang Faqih dan kawan-kawan tampaknya perlu diapreasiasi secara lebih kritis untuk memberikan jawaban kreatif-solutif terhadap puspa ragam problematika yang menimpa sebagian besar masyarakat dewasa ini, khususnya kaum perempuan. Karenanya, setiap ijtihad ilmiah, baik era klasik maupun kontemporer seperti yang dilakukan oleh Kang Faqih harus dipandang sebagai respons kreatif terhadap pelbagai persoalan yang sesuai dengan konteks sosial historisnya masing-masing. Dengan demikian, yang diperlukan adalah reinterpretasi tanpa henti atau pemaknaan kembali secara kontinuitas yang sesuai dengan kebutuhan ruang dan zamannya masing-masing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *