Resensi

Bersama Alatas Memahami Otoritas

Advertisements

Oleh: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung

Apa itu otoritas? Otoritas, sebagaimana dijelaskan Hannah Arendt, adalah relasi hierarkis yang menghubungkan sekelompok orang dengan masa lampau yang mereka anggap fondasional. Sosok yang memiliki otoritas dipercaya memiliki kapasitas untuk menyampaikan dan mentransformasikan masa lampau tersebut sebagai suatu pranata, model, uswah, atau petunjuk untuk masa kini. Otoritas tidak bertumpu pada nalar publik atau kuasa pemimpin, melainkan pada pengakuan terhadap hierarki yang dianggap benar dan absah oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Penjelasan Arendt ini dapat menjadi acuan dalam memahami otoritas keagamaan Islam. Dari penjelasan Arendt juga didapatkan tiga unsur pokok otoritas: imaji tentang (dan hubungan dengan) fondasi temporal, kapasitas untuk mentransformasikan fondasi tersebut sebagai pranata, serta kemampuan untuk mendorong kepatuhan tanpa paksaan.

Buku “What Is Religious Authority?” karya Ismail Fajrie Alatas ini mengajukan argumen bahwa otoritas para pemuka agama Islam didasarkan pada pengakuan terhadap hubungan mereka dengan masa lampau kenabian dan bergantung pada relasi hierarkis yang memungkinkan mereka mengartikulasikan ajaran Nabi kepada yang lain tanpa menggunakan paksaan. Berarti, pembentukan otoritas mensyaratkan kerja-kerja berkelanjutan untuk memproduksi, mereproduksi, dan merawat relasi tersebut. Suatu relasi merupakan capaian, hasil dari kinerja yang bergantung pada banyak hal (kontingen) dan riskan, serta tidak terbentuk begitu saja. Kerja-kerja tersebut tidak akan pernah usai jika relasinya diharapkan dapat terus berlanjut dan berkembang menjadi komunitas yang bertahan lama.

Buku ini menyanggah konsep “karisma” dan “rutinisasi” yang diajukan Max Weber yang telah mendominasi kajian tentang otoritas keagamaan Islam. Buku ini menguak peran sentral dan kontingensi kinerja dalam membentuk dan merawat otoritas dan komunitas religius, termasuk pada otoritas dan komunitas yang kerap digambarkan sebagai otoritas karismatik. Konsep karisma boleh jadi berguna ketika menilik pembentukan awal tradisi keagamaan, namun kegunaannya sangat terbatas dalam memahami otoritas religius pasca masa pembentukan awal. Buku ini berusaha membongkar otoritas religius dengan menyingkap jaringan dan relasionalitas yang membentuk sekaligus mampu membuyarkan otoritas, seraya menyoroti peran sentral kinerja.

Ingat penjelasan Arendt di atas tentang otoritas yang mengandung tiga unsur pokok: fondasi temporal, transformasi fondasi, dan kepatuhan tanpa paksaan. Secara konkret, dalam buku ini, tiga unsur pokok tersebut adalah sunnah, penghubung, dan jamaah. Ketiganya saling membentuk secara kontingen; mengungkap cara lain dalam memahami penyebaran Islam. Selama ini penyebaran Islam umumnya digambarkan sebagai proses linear yang di dalamnya ajaran Islam yang telah baku (dan sering dianggap berbeda dari budaya) disampaikan, disebarkan, dan dilokalkan atau dibumikan hingga mengakar dalam, melebur dengan, serta membentuk konteks sosiokultural baru. Tetapi, dengan mengikuti para aktor penyebaran Islam, kita memperoleh perspektif bahwa penyebaran itu merupakan proses yang jauh lebih rumit; bahwa penyebaran Islam itu sejatinya merupakan proses formasi sosial yang sporadis, sangat kontingen, dan lekat dengan lingkup lokal yang menghimpun berbagai unsur ke dalam bentukan baru sehingga masa lampau kenabian dapat diingat, direpresentasikan, dan ditransformasikan ke dalam pranata, atau sunnah, bagi masa kini dan masa mendatang.

Arah Buku

Jika masih agak kesulitan memahami paragraf-paragraf di atas, cerita berikut kiranya dapat membantu memahami arah dari buku ini:
Seorang mursyid duduk khidmat di kursi berlengan dikelilingi murid-muridnya yang duduk di lantai beralaskan karpet. Seorang murid membaca bab tentang wudhu dari Fath Al-Bâri, kitab berjilid-jilid dari abad ke-15 yang berisi syarah atau penjelasan tentang hadis. Mursyid itu adalah Habib Luthfi. Ia memberi isyarat kepada sang murid untuk berhenti membaca. la kemudian berbicara selama setengah jam, menjelaskan kepada para hadirin dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Jawa tentang cara berwudhu Nabi Muhammad, sembari mencontohkannya dengan gerakan tubuh.

Para murid menyimak baik-baik peragaan praktik Nabawi oleh sang mursyid. Habib Luthfi memberi tahu para muridnya bahwa ia belajar cara berwudhu yang sesuai sunnah Nabi bukan hanya dari membaca keterangan dalam kitab, melainkan juga dari menyaksikan contoh yang diperagakan gurunya. “Keterangan tentang perbuatan Nabi dalam kitab kadang membingungkan,” jelanya, “itulah sebabnya kita perlu melengkapi bacaan kitab dengan menyaksikan langsung bagaimana perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang terhubung dengan Nabi.” Sebagian besar murid sibuk mengamati Habib Luthfi dan mencatat.

Berbekal penjelasan Arendt tentang otoritas, dari kisah di atas kiranya kita dapat menunjuk tiga unsur pokok otoritas: mana fondasi temporal (sunnah), mana yang mentransformasikan fondasi (penghubung), dan mana kepatuhan tanpa paksaan (jamaah). Buku ini memang mengangkat Habib Luthfi serta para wali dan ulama lainnya untuk menjawab pertanyaan besar: What is religious authority? Habib Luthfi, para wali dan ulama lainnya, berkat kerja uletnya berhasil mengembangkan jamaah yang berfungsi sebagai situs transmisi dan realisasi sosial ajaran Nabi. Aktor-aktor tersebut mengartikulasikan visi yang spesifik dan acap saling berlawanan tentang sunnah atau pranata normatif Nabi Muhammad. Sebagai kumpulan ucapan, perbuatan, dan kebiasaan Nabi, Sunnah Nabi diyakini oleh kaum Muslim sebagai penjelasan konkret atas wahyu Ilahi yang diabadikan dalam Al-Qur’an–dari cara berbusana dan tata cara ibadah hingga aturan berperang.

Memang sunnah tidak pernah dituliskan semasa Nabi hidup. Benar bahwa entekstualisasi dan pengumpulan riwayat yang menggambarkan sunnah–disebut hadis–berlangsung selama berpuluh-puluh tahun dan bahkan berabad-abad sepeninggal Nabi dan, karena itu, tidak serta-merta merupakan dokumentasi sejarah ihwal perkataan dan perbuatan Muhammad yang sezaman. Juga benar bahwa umat Muslim tidak pernah bersepakat soal kandungan spesifik sunnah. Namun, mereka semua mengakui otoritasnya sebagai salah satu sumber dasar Islam.

Dalam perkembangannya, berbagai aktor mendaku berbicara mewakili Nabi dengan menunjukkan hubungan ke masa lampau kenabian (prophetic past) guna meminjam otoritas sunnah. Mereka merekonstruksi masa lampau kenabian menggunakan pelbagai cara untuk menentukan cakupan sunnah sebagai respons terhadap tantangan sosial khusus yang mereka hadapi di lokalitas dan momen sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, persoalan seputar cakupan sunnah dan siapa yang dapat mengartikulasikannya merupakan motor diversifikasi sejarah Islam. Upaya menjawab persoalan-persoalan tersebut telah memunculkan persaingan sengit di antara berbagai klaim yang tidak ajek dari para ulama, wali, dan pemuka Muslim beserta jamaah yang mereka rangkai.

Pada tataran yang paling luas, buku ini menyampaikan kisah polifonik tentang bagaimana sunnah mengakar dalam dan termodulasi oleh realitas sosial-budaya yang khas. Buku ini berargumen bahwa persoalan abadi seputar translasi, mobilisasi, kolaborasi, kompetisi, dan konfik merupakan dinamika yang terus mengisi muatan dan juga memberi kekuatan dan energi khas kepada sunnah dan, karena itu juga, kepada Islam. Pokok persoalannya adalah tidak ada satu komunitas atau umat Islam global yang tunggal. Justru dalam sejarahnya, selalu ada banyak komunitas yang masing-masing bertumpu pada pelbagai artikulasi sunnah.

Terlepas dari itu, buku ini tidak bertolak dari soal bagaimana kaum Muslim menggunakan tradisi tekstual untuk memandu praktik sosial. Buku ini bertolak dari gagasan tentang masa lampau fondasional yang telah berlalu, bukan teks-teks fondasional yang masih ada saat ini. Renggang waktu dengan masa Kenabian yang telah lampau itu memerlukan kerja/kinerja (labor) untuk menghubungkan (merekonstruksi dan merepresentasikan) ke masa lampau tersebut sebagai suatu model, atau sunnah, bagi kaum Muslim pada umumnya.

Kinerja ini mencakup pemeriksaan kesahihan riwayat-riwayat yang beredar serta peninjauan praktik-praktik yang turun-temurun. Pada periode awal perkembangan Islam, kerja-kerja ini bahkan termasuk menarik batas antara wahyu Ilahi dan sabda Nabi. Semua kinerja tersebut berlangsung dalam lingkup sejarah, geografi, dan budaya tertentu. Bersamaan dengan itu, sebagai produk ideologi dan narasi, waktu sendiri terus direka dan direka ulang. Berbagai konstruksi waktu pun muncul menambah lapisan kerumitan dan keragaman dalam cara kaum Muslim memahami masa lampau kenabian dari masanya sendiri serta membayangkan hubungan mereka dengan masa lampau Kenabian (prophetic past). Masa kini di saat kerja-kerja itu terjadi berfungsi sebagai jangkar yang memodulasi masa lampau dalam rangka mencari bukan yang-autentik dari Islam, melainkan yang-esensial dari Islam untuk masa kini dan masa depan yang dihadapi.

Persoalan esensi, sebagaimana diingatkan Talal Asad, tidak mesti disamakan dengan persoalan autentisitas. Lagi pula, apa yang esensial dalam suatu agama tidak dapat ditentukan secara netral karena sangat dipengaruhi argumen agonistik dan antagonistik di kalangan sesama penganut Islam. Oleh karena itu, rekonstruksi dan representasi masa lampau kenabian yang dilakukan oleh berbagai aktor boleh jadi tampak berbeda antara satu dan yang lain. Dinamika semacam itu membuat sunnah menjadi beragam dan khas. Ia memunculkan pelbagai teks, praktik, dan pranata keislaman yang menghadirkan aneka bentuk otoritas religius—dari khalifah dan fuqaha hingga wali karismatik, mujahid, dan mursyid–yang masing-masing mendaku menghubungkan kaum Muslim dengan masa lampaunya yang fondasional.

What Is Religious Authority?

Seperti telah disinggung, buku ini judul aslinya adalah “What Is Religious Authority?: Cultivating Islamic Community in Indonesia”. Tapi oleh Penerbit Mizan diterjemahkan menjadi: “What Is Religious Authority? Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah.” Terjemahan Penerbit Mizan ini seperti tarjamah-tafsiriah; terjemahan yang dimaksudkan memberi penjelasan tentang anasir inti yang terdapat pada topik utama buku, yakni otoritas.

Anasir itu, seperti dalam pemetaan Hannah Arendt, fondasi temporal (sunnah), transformasi fondasi (penghubung), dan kepatuhan tanpa paksaan (jamaah). Anak-judul: “Menyemai Sunnah” mengacu pada unsur yang pertama, sedang anak-judul: “Merangkai Jamaah” mengacu pada unsur yang ketiga. Jadi, Anda jangan punya anggapan anak-judul “Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah” rekaan Penerbit Mizan itu secara spesifik mengacu ke golongan tertentu dalam Islam. Ingat, buku ini tentang otoritas keagamaan yang relevan bukan hanya bagi satu-dua golongan atau kelompok tertentu saja, melainkan bagi golongan atau kelompok mana pun, kapan dan di mana pun, yang terdapat di dalamnya tiga unsur utama otoritas keagamaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *