Drama William Soeryadjaya
Oleh Hamid Basyaib
PANITIA penerbitan memoar William Soeryadjaya, “Semangat Hidup dan Pasrah Kepada Tuhan” (KPG, 2024) menampilkan sesuatu yang baru dalam peluncurannya. Perayaan bukan dilakukan seperti kebiasaan di mana-mana, berupa diskusi buku ataupun parade komentar orang-orang yang mengenal dekat subjek buku.
Yang disajikan adalah sebuah drama pendek yang ceritanya diangkat dari buku tersebut, yang merupakan rekaman perbincangan si subjek dengan penulis Ramadhan KH. Penerbitan buku ini, seperti ditonjolkan di sampul buku, “Terbit setelah 20 tahun lebih tertunda.”
Penyajian drama pendek itu (kurang lebih 40 menit) menjanjikan kebaruan yang segar dalam konteks peluncuran buku. Tapi di situ pula muncul masalah besar.
Penulis naskah terlihat tidak mampu menonjolkan aspek-aspek terbaik atau “dramatis” dari subjek sebagaimana direkam oleh buku. Adegan demi adegan — dengan point of view si pewawancara, Ramadhan KH — berlangsung datar sepenuhnya, tanpa dinamik apapun, dengan dialog yang banyak diselingi klise (“manusia hanya berusaha, Tuhanlah yang menentukan”), dan dengan akting dua aktor yang pas-pasan.
Aktor Reza Rahadian (yang menjadi jualan favorit para sineas dan pernah menjadi siapa saja dalam film-film — BJ Habibie, Benyamin S, bos perusahaan yang konyol dan entah siapa lagi), tampaknya lebih tertarik menjadi dirinya sendiri; ia terlihat sangat kurang mempelajari dan menghayati tokoh Ramadhan KH dan profesinya.
Dan dengan kualitas naskah yang menyedihkan serta ketersediaan para aktor seperti itu, rupanya Sutradara Agus Noor tidak punya banyak pilihan — mungkin juga gairah — untuk menghadirkan penyutradaraan yang memadai.Dengan tata rias panggung yang sederhana dan baik, juga tata cahaya yang bagus, ilustrasi musik yang didominasi perkusi pada umumnya sulit dirasakan persambungan nadanya dengan adegan.
Maka satu-satunya yang membekas pada penonton adalah kejengkelan yang sangat susah untuk diredam.
Kejengkelan itu makin terasa jika kita ingat betapa dramatis perjalanan bisnis dan hidup William Soeryadjaya, seperti terekam cukup lengkap dalam buku, sebagaimana diceritakan sendiri oleh Pak William.
Dua Strategi Gampang
Sebetulnya sedikitnya ada dua “strategi gampang” bagi penulis yang mendasarkan naskahnya pada buku semacam ini.
Pertama, yang lebih mudah, adalah memilih dan menampilkan sisi-sisi dramatik dalam biografi subjek — sejalan dengan rukun standar dalam seni pertunjukan. Untuk kasus William Soeryadjaya, sisi-sisi ini pastilah cukup banyak yang layak dipetik dari buku setebal hampir 500 halaman.
Misalnya, Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari); suatu kegemparan besar yang dituturkan dalam bab tersendiri dalam buku, yang menjadikan William Soeryadjaya sebagai salah satu sasaran utama, karena dia adalah importir dan agen utama Toyota dalam demonstrasi besar anti produk Jepang itu. Dalam drama, kasus Malari tidak sedikit pun disinggung.
Kedua, dengan mentransendensikan apa yang tertulis dalam buku; dengan mengelaborasi, mengintensifkan ataupun memperkaya dan memperluas makna dan konsekuensi dari suatu peristiwa, sepanjang penulis memahami, menghayati dan setia pada substansi peristiwanya.
Pementasan drama (atau film) bukanlah reproduksi mekanis atas teks buku (atau realitas), bahkan kalaupun ia didasarkan pada sebuah memoar/biografi. Penulis naskah tidak perlu kuatir sajiannya meleset/menyimpang dari teks buku. Keduanya, buku dan drama/film, memang adalah dua peristiwa yang berbeda, meski berhubungan.
Justeru dengan secara sengaja menghindari reproduksi mekanis itulah sebuah tontonan yang dibuat berdasarkan buku berpeluang untuk menghadirkan pemaknaan yang lebih kaya.
Sejarah, tentu saja juga sejarah personal, tidak pernah hanya terdiri dari fakta. Sejarah selalu merupakan paduan antara fakta dan interpretasi. Apalagi jika kita ingat bahwa di dalam apa yang disebut “fakta” pun niscaya terkandung elemen interpretasi, terutama jika fakta yang disajikan itu telah terjadi di masa lampau yang jauh.
Sayang sekali, semua itu absen dari drama tentang seorang kapten industri yang kebesaran kerajaan bisnisnya justeru semakin meningkatkan humanismenya, dan orang yang mungkin paling tak menyukainya pun harus mengakui reputasi tingginya yang menimbulkan rasa hormat.