Menjadi Muslim yang nJawani
Oleh: Dr. KH. Rijal Mumazziq Z., Rektor Universitas Al-Falah Assunniyah Jember
Saya orang Jawa, namun dalam pemaknaan keislaman dan ke-Jawa-an, saya tidak ikut pemahaman Sobat Rahayu yang menihilkan peranan Islam dalam peradaban Jawa sekaligus membangkitkan kembali hasrat dan memori Jawa-Pra Islam. Ini bisa disimak dalam karya Dhamar Sashangka dan juga diskusi di grup Mojopahitan.
Saya juga BUKAN bagian dari kubu Jawa-Sentris yang menonjolkan watak Chauvinistik secara tersirat dengan kalimat kasar, “Usir Yaman dari Bumi Nusantara!”, “Pulangkan saja Habaib itu ke negerinya!”, “Indonesia tidak butuh Habib!”, dan makian kasar bernada rasis. Tidak, ini kalimat yang bermasalah, sebagaimana dulu cacian demikian tertuju pada keturunan Tionghoa saat ada gejolak ekonomi. Bagi saya jelas, semua anasir yang mulanya asing bisa bertumbukan meng-Indonesia. Lebur. Walaupun tetap ada ciri khas masing-masing.
Saya juga tidak setuju dengan beberapa habaib yang merendahkan ulama “lokal” dengan kalimat, jika tidak ada leluhur kami, maka kalian masih menyembah batu! Atau kalimat superioritas lain. Wis fix ya. Nggak kubu-kubuan. Protes silahkan, saya siap mempertanggungjawabkan secara ilmiah apa yang saya tulis. Tak perlu melarang saya menulis isi pikiran dengan komentar “jangan memperuncing masalah”, “tak perlu memperluas isu”, dll. Tidak, nulis ya nulis. Ente setuju, silahkan. Anda tidak sepakat, ya monggo. Bodo Amat.
Watak Orang Jawa
Oke, lanjut. Saya melihat apabila watak ke-Nusantara-an sangat lentur, mudah larut tapi mempengaruhi citarasa. Ya, sebagaimana telaah Ibnu Khaldun, kondisi sosio-kultural-antropologis mempengaruhi watak manusianya, demikian pula watak orang Jawa. Persis kunyit yang bisa tumbuh di manapun dan pas dipakai campuran jamu apapun. Kunyit, kita tahu, adalah tumbuhan khas di bumi Nusantara ini, sebagaimana khasiat jintan hitam di kawasan Arab dan ginseng di wilayah China dan Indochina. Allah menganugerahkan unsur penyembuh di setiap jengkal tanah-Nya.
Karena itu, pada saat agama Budha masuk di Jawa, misalnya, manusianya menyesuaikan diri, demikian pula dengan Hindu. Anasirnya diserap dan disesuaikan dengan falsafah ke-Jawa-an. Contoh yang paling gamblang adalah gubahan cerita Arjuna Wiwaha, Gatotkacasraya, Bharatayuddha, hingga Kresnayana. Ini kultur kuat India yang disesuaikan dengan citarasa Jawa. Juga penambahan tokoh Punakawan yang berkarakter khas Jawa (yang bijak hingga konyol) ke dalam lakon Mahabharata yang elitis India sentris. Wong Cilik yang disisipkan ke dalam epos para raja dan dewa. Elitisme para Dewa, feodalisme para menak, yang kemudian diporak-porandakan melalui rajutan cerita gubahan para dalang wayang kulit.
Lalu, ketika Islam masuk dan mulai berkembang, terjadi tumbukan pengetahuan yang kolaboratif. Dari Penanggalan Jawa Islam yang disusun era Sultan Agung, hingga penyusunan Primbon Betaljemur Adamakno yang basis filosofis Jawa-Islamnya kuat. Termasuk pada tradisi komunal: dari Selametan, Tasyakuran, Sedekah Desa, tradisi Grebeg hingga kenduri kematian.
Di wilayah pedagogik, pesantren dan etika relasi kiai-santri-masyarakat sebagian diramu dari watak pendidikan Jawa saat itu, dari Mandala, Ashram, hingga Padepokan, dan sentuhan kitab etik bagi pelajar seperti Ta’limul Muta’allim dan pesulukan. Mas Dr. KH. Aguk Irawan Mn melacak akar etika pesantren ini dalam bukunya “Akar Etika Pesantren” (Bandung: Iiman, 2019). Penelusuran yang menarik.
Di kemudian hari, literatur Islam mempengaruhi cara pandang ulama dan pujangga Jawa melalui berbagai karyanya. Silahkan dicek karya para ulama dan pujangga Jawa dalam kurun empat abad terakhir.
Penggunaan kitab fiqh, seperti al-Muharrar-nya Imam Rafi’i, Taqrib-nya Abu Syuja’ al-Ashfihani, Tuhfatul Muhtaj-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Lubabul Fiqh-nya Imam al-Mahamili, hingga Fathul Wahhab-nya Imam Zakariya al-Anshari mempengaruhi cara pandang para fuqaha era Mataram hingga zaman Ngayogyakarta Hadiningrat dan keraton lain tumbuh.
Di bidang tasawuf, Tuhfatul Mursalah Ila Ruhin Nabi-nya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri turut menyuburkan penyebaran Tarekat Syattariyah di kalangan bangsawan Jawa, termasuk keluarga Hamengkubuwono II dan jaringan Pangeran Diponegoro. Di bidang teologi, kitab Aqidatul Ushul-nya Syekh Abu Laits Assamarqandi juga menjadi referensi, termasuk syarahnya, Bahjatul Ulum. Beberapa nama kitab yang menjadi referensi di zaman Mataram Islam disebut dengan pelafalan Jawa dalam Serat Centhini, salah satu karya monumental pujangga Jawa.
Dalam “Saya, Jawa dan Islam” (2019), Mas Irfan Afifi mengupas dengan baik interaksi ilmiah antara literatur Islam dengan unsur Jawa. Para ulama bertindak sebagai koki intelektual yang mengolah dengan baik agar citarasa keilmuan Islam bisa dikunyah dengan sepenuh oleh “alam pikiran” dan “Roso” manusia Jawa. Karya-karya pujangga Jawa mayoritas dipengaruhi bangunan epistemologi Islam yang mapan di abad pertengahan namun diolah dengan “olah batin dan pikir” ala Jawa melalui serat, suluk, primbon, kitab hingga babad. Di sinilah letak keasyikan tumbukan peradaban itu. Menghasilkan semacam sintesa kebudayaan yang khas namun dengan ciri keotentikan yang kuat.
Di kawasan keraton, ulama menulis karya dengan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil. Raden Bagus Arfah menyusun terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Jawa, dengan aksara Jawa (honocoroko) dan berbahasa halus (Krama Inggil) pada 1905. Judulnya Kur’an Jawi. Dua tahun sebelumnya, Kiai Sholeh Darat Assamarani menulis tafsir berbahasa Jawa pesisiran. Ditulis menggunakan aksara Arab Pegon, menggunakan bahasa Jawa periferal. Baik Raden Bagus Arfah dan Kiai Soleh Darat melakukan upaya vernakulisasi (membahasa-lokalkan) wahyu dengan realitas zamannya. Dilanjutkan oleh KH. Bisri Musthofa dengan Tafsir Al-Ibriz dan adiknya, KH. Misbah Zainal Musthofa, dengan Tafsir al-Iklil. Ulama kakak beradik yang sama-sama punya karya tafsir berbahasa Jawa. Aduhai, betapa kerennya!
Tidak Setuju Arabisme
Saya juga tidak sepakat dengan cara pandang bahwa “Arabisme” adalah segalanya dan Jawa tidak berdaya, pasif, dan tunduk. Sekali lagi, tidak setuju! Klaim-klaim demikian kudu dipatahkan. Faktanya, ada banyak pesantren purba yang menjadi titik keilmuan di sekujur Jawa pada kurun pasca Walisongo hingga kedatangan gelombang massif para imigran Yaman di pertengahan hingga menjelang akhir abad ke-19. Di kurun separuh milenium ini, ulama lokal aktif berperan menjaga nafas peradaban Islam. Cek, silahkan cek, banyak kok nama-nama ulama lokal yang menginternasional, baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Ada yang keturunan Arab, iya, dan lebih banyak yang “pribumi”. Jadi hilangkanlah sikap superioritas yang menafikan para ulama lokal itu dalam kurun waktu separuh milenium terakhir!
Berbeda dengan era Walisongo yang masih dalam proses pembentukan awal pesantren, di era Kesultanan Mataram hingga era Ngayogyakarta dan Kartasura, kronik yang menyebutkan keberadaan pesantren dan nama pengasuhnya, sayangnya, sangat terbatas. Kecuali kita dapati dalam salah satu mahakarya R. Ng. Yasadipura II, Serat Centhini. Syekh Amongraga, keturunan Sunan Giri, dikisahkan menjadi santri kelana yang melakukan rihlah ilmiah di berbagai pesantren di sekujur Pulau Jawa.
Dalam pengelanaan ini, sebagaimana diceritakan dalam Serat Centhini, yang dijuluki sebagai Ensiklopedi Jawa, terlacak bahan bacaan para santri saat itu (abad XVIII-XIX). Di bidang pekih, menggunakan Mukarrar, Sudjak, Kitab Ibnu Kajar, Ilah, Sukbah, dan Kitab Sittin. Selain itu, dalam bait-bait Centhini, juga tertera kitab di bidang teologi. Antara lain, Semarakandi, Kitab Durat, Talmisan, Asanusi, Patakul Mubin, Bayan Tasdik, Sail, dan Djuahiru. Dalam bidang tafsir, disebut Tepsir Djalalen dan Tepsir Baelawi. Di bidang tasawuf, digunakan silabus kitab-kitab yang mengajarkan kesempurnaan hidup dan pola tazkiyatun nafs, antara lain Nglumudin, Adkia, dan Insan Kamil. Selain Insan Kamil karya al-Jili yang filosofis dan rumit, semua referensi di atas masih mayoritas digunakan oleh para santri hingga saat ini.
Dalam perkembangannya, kita temukan juga sudut pandang yang menarik atas referensi yang digunakan di berbagai pesantren pada saat Pangeran Diponegoro hidup. Selain Taqrib, sang pangeran juga mempelajari al-Muharrar-nya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H/1226 M) dan Lubab al-Fiqh karya al-Mahamili (w. 415 H/1024 M). Di sisi lain, dia juga belajar Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Anshari (w. 926 H). Ketika pada akhirnya bergerilya, Diponegoro mengajarkan Taqrib dan juga kitab politik At-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali, kepada para bangsawan pendukungnya. Sedangkan Kiai Mojo, penasehatnya, kebagian tugas mengajarkan Fath al-Wahhab kepada para laskar ulama. “Bahkan, kitab fiqh ini dijadikan sebagai rujukan dalam bernegosiasi dengan kompeni Belanda saat mengajukan perundingan damai.” tulis Ahmad Baso dalam “Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia”.
Saling Mengisi
Keislaman dan ke-Jawa-an bagi saya saling mengisi, berinteraksi secara harmonis. Bisa dilacak melalui karya Yosodipuro, maupun Ronggowarsito. Juga melalui cara pandang Kiai Sholeh Darat dalam beberapa karyanya. Perkembangan dunia tasawuf Jawa diulas menarik oleh Prof Simuh dalam salah satu karyanya, “Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa”.
Denga demikian, kalau melihat sejarah ke-Jawa-an dan ke-Nusantara-an, khususnya ke-Jawa-an ada banyak fakta menarik bagaimana identitas etnik ini bertumbukan dan membentuk “cluster pemikiran dan kebudayaan” yang baru. Misalnya kawin silang Jawa-Tionghoa maupun Jawa-Arab. Sri Sultan Hamengkubuwono II bahkan punya dua menantu dari kalangan Alawiyyin: Sayyid Alwi Ba’abud, imigran Hadrami, yang menikahkan putranya, Sayyid Hasan Munadi Ba’abud dengan BRA Samparwadi yang melahirkan Sayyid Ibrahim Ba’abud, sahabat masa kecil hingga dewasa Pangeran Diponegoro yang kelak bergelar Pekih (Faqih) Ibrahim yang menjadi pengawal sang Pangeran dalam Perang Jawa.
Menjadi Jawa Muslim atau Muslim yang nJawani
Menjadi Jawa Muslim, atau Muslim yang nJawani bagi saya indah. Tetap berpijak pada tradisi, sekaligus bernafas dengan nilai Islam.
Kalau ingin memahami betapa indahnya men-Jawa sekaligus menjadi muslim, saya kutipkan bait-bait tembang indah dalam “Mantra Yoga” yang dianggit oleh Ki Trunarimong dan Sang Indrajati. Konon, ini adalah tembang yang disusun oleng Kanjeng Sunan Kalijogo. Perhatikan, betapa indahnya:
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman
(Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakub pendengaranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi rambutku. Ali sebagai kulitku. Abu Bakar darahku dan Umar dagingku. Sedangkan Usman sebagai tulangku.)
Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal
(Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Aminah sebagai kekuatan badanku. Nabi Ayub ada di dalam ususku. Nabi Nuh di dalam jantungku. Nabi Yunus di dalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.)
Akhirnya, untuk menjadi Jawa, tidak perlu rasis. Untuk menjadi muslim, tidak usah fasis. Biasa saja. Urip mung sakmadyo!
Wallahu A’lam Bishshawab
Gus Rijal menggambarkan pentingnya interaksi antara keislaman dan ke-Jawa-an dalam membentuk identitas budaya yang kaya dan beragam di Nusantara. Dengan merujuk pada karya-karya seperti Yosodipuro, Ronggowarsito, dan Kiai Sholeh Darat, serta penelitian Prof Simuh tentang Sufisme Jawa, Gus Rijal menyoroti bagaimana pengaruh Islam dan tradisi Jawa saling memperkaya satu sama lain. Hal ini tercermin dalam konteks sejarah, di mana pernikahan silang antara budaya Jawa dengan budaya Tionghoa dan Arab, serta keterlibatan tokoh-tokoh seperti Sultan Hamengkubuwono II dengan keluarga Alawiyyin, menciptakan “cluster pemikiran dan kebudayaan” yang baru di Jawa. Penggambaran ini mengilustrasikan dinamika budaya yang kompleks dan proses akulturasi yang terjadi di Nusantara, di mana identitas etnik dan agama saling bertemu dan berdampingan dengan harmonis. Ini juga menunjukkan bahwa sejarah Nusantara tidak hanya dipengaruhi oleh satu elemen budaya atau agama, tetapi merupakan hasil dari interaksi dan integrasi yang berkelanjutan antara berbagai tradisi dan keyakinan.