Waktu Senggang dan Good Life
Oleh Alfathri Adlin
Apa kiranya yang terbayangkan saat kita disodori kata “waktu senggang”? Pergi berlibur? Jalan-jalan sambil belanja di mall dan factory outlet? Pergi menonton ke bioskop? Bertamasya? Silakan bayangkan sendiri kegiatan “waktu senggang” lainnya yang lazim bagi Anda.
Namun, perhatikan lebih seksama, saat ini terlihat bahwa bayangan kita tentang waktu senggang lebih terkait dengan rekreasi. Rasanya nyaris tidak pernah “waktu senggang” dikaitkan lagi dengan reflektivitas dan kontemplasi. Di waktu senggang manusia kontemporer kini cenderung pergi, ke luar dari diri menuju perangkap-perangkap eksterior, tamasya atau bepergian ke tempat-tempat yang disebutkan di atas.
Waktu senggang merupakan saat bagi manusia untuk “kembali kepada diri”, menikmati hidupnya sebagai manusia. Karenanya, waktu senggang di sini tidak dipahami sebagai saat untuk bermalas-malasan, karena justru merupakan waktu paling produktif.
Waktu Senggang menurut Aristoteles
Bagi Aristoteles, waktu senggang adalah saat di mana manusia hidup secara paling penuh, saat di mana manusia bereksistensi sesuai dengan esensinya sebagai manusia. Maka, pelenyapan waktu senggang dari kehidupan manusia merupakan penghapusan visi kemanusiaan tersebut.
Aristoteles pernah berkata bahwa kita bekerja agar dapat menikmati waktu senggang.
Waktu senggang sebenarnya dipahami juga sebagai “human action on holiday” (holy day alias hari kudus). Hal ini mengingatkan kembali kepada tradisi hari Sabat Bani Israil: manusia harus beristirahat di hari ke tujuh sebagaimana Tuhan berhenti mencipta di hari ke tujuh. Namun, beristirahat di waktu senggang bukanlah diam pasif bermalas-malasan, tetapi mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia.
Namun, seperti dikemukakan di atas, manusia kontemporer banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya mereka semakin jarang bersentuhan dengan “totalitas diri”-nya. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontemplasi tentang yang sublim, yaitu, pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup.
Menakjubkan melihat berbondong-bondong manusia merayakan waktu senggang dengan berbelanja di berbagai factory outlet Bandung atau tamasya dengan menempuh kemacetan ke suatu tempat wisata. Mereka tampak seperti tengah menggeluti suatu urusan yang tak pernah tuntas setiap minggunya. Hal itu mengisyaratkan bahwa kini waktu senggang hanya bermakna “jeda” demi peluang lebih banyak untuk mengonsumsi, dan kebudayaan pun dikuasai oleh pengelolaan ilusi (budaya media dan konsumerisme).
Salah satu penyebab hilangnya pemaknaan waktu senggang sebagai hari kudus untuk kembali kepada diri adalah perubahan pola kerja manusia. Di kota-kota besar tidak begitu sulit untuk menemukan orang-orang yang terjebak “hidup untuk kerja” ketimbang “kerja untuk hidup”. Dunia manusia menjadi begitu gaduh dengan urusan bisnis dan kerja.
Kini, peradaban manusia identik dengan kerja total, dan dunia pendidikan pun berperan mendukung hal tersebut. Ini tak ubahnya mitos Sisifus, yang dihukum Dewa untuk terus menerus menaikan batu ke atas gunung dan menggelindingkannya, sebagai analogi bahwa kerja merupakan rantai abadi yang mengikat manusia, tanpa manusia itu sendiri menikmati buah makna dari pekerjaannya. Waktu senggang yang dipahami dalam konteks nilai-nilai kerja seperti itu lebih tampak sebagai “kemalasan untuk kembali kepada diri”.
Aristoteles menggunakan istilah “eudaimonia” yang berarti kesejahteraan spiritual yang vital, kebahagiaan—terdiri dari “eu” yang bermakna baik, suci dan “daimón”. Kata ini digunakan Aristoteles untuk kebahagiaan yang dicapai ketika potensi penuh seorang individu untuk sebuah kehidupan yang rasional sepenuhnya benar-benar terealisasi dan individu tersebut telah mengekspresikan semua kapasitasnya yang beraneka ragam, sesuatu yang pada nyatanya ingin dicapai sesuatu sesuai dengan watak inherennya.
Misalnya bahwa yang baik bagi individual adalah apa-apa yang sesuai menurut fitrah esensialnya (rasio) dan pengembangan fakultas rasionalnya secara penuh. Kebaikan tidak selalu identik dengan keinginan seseorang, karena keinginan tidak didasarkan pada watak rasional esensial seseorang. Hanya ketika seseorang berkehendak untuk mengekspresikan watak esensialnya dan berupaya melakukan hal ini, maka keduanya menjadi koheren satu sama lain; upaya keras untuk realisasi-diri ini merupakan esensi menjadi manusia.
Begitu pula bagi Phytagoras, Sōkratēs dan Platōn bahwa kebaikan sesuatu adalah eksistensinya dalam sebuah tatanan (proporsi) yang cerdas (rasional), dan dalam kasus individual ia adalah wujud individual yang diaktifkan oleh ide-ide intelektual (rasional) tertinggi. Namun mesti diingat bahwa pengertian rasional dalam khazanah Yunani kuno ini tidaklah sama dengan pengertian rasio dalam terminologi wacana Barat hari ini.
Hal Penting dalam Good Life
Menurut Robert Skidelsky dan Edward Skidelsky, tersapunya ide “good life”—yang pernah digagas oleh Aristoteles dan juga disuarakan oleh perbagai agama dan kebijaksanaan tradisional di pelbagai penjuru dunia—menghanyutkan pula empat hal penting yang lain.
Tersapunya ide good life mereduksi hakikat kehidupan yang diharapkan (desirable life) menjadi sekadar gaya hidup yang dikehendaki (desired lifestyle). Reduksi ini berpengaruh pada runtuhnya empat hal yang penting, yakni:
Pertama, pembedaan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan bersifat objektif dan mengacu pada syarat untuk mencapai hidup yang baik. Sebaliknya, keinginan merupakan gejala psikologis yang “ada di kepala” orang bersangkutan. Dihilangkannya ide hidup yang baik akan mendudukkan kebutuhan sebagai salah satu kategori keinginan.
Kedua, pembedaan antara keperluan dan kemewahan. Keperluan adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai hidup yang baik. Di sisi lain, kemewahan merupakan hal-hal yang diinginkan tetapi tidak dibutuhkan. Jika tidak ada ide hidup yang baik, “keperluan” dapat mengacu pada tuntutan peran sosial tertentu.
Ketiga, konsep “cukup”. Bagi Aristotelian, “cukup” berarti “cukup untuk mencapai hidup yang baik”. Namun, bagi ekonom modern, “cukup” berarti “cukup untuk memuaskan keinginan”. Dengan demikian, pertanyaan “berapa banyakkah cukup itu?” dapat dijawab dengan “berapa banyakkah yang Anda inginkan?” seraya mengangkat bahu.
Keempat, konsep nilai guna. Bagi Aristoteles, nilai guna suatu obyek didasarkan pada sumbangsihnya untuk mencapai hidup yang baik. Penghapusan ide hidup yang baik akan melepaskan konsep nilai guna dari obyeknya. Dengan demikian, nilai guna semata-mata bergantung dari kegunaan yang saya inginkan bukan dari kegunaan yang seharusnya saya harapkan