Tiga Tantangan Global Abad 21
Oleh: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung
Sudah agak lama saya tidak menulis yang “agak serius”. Saya tidak hendak menutupi kemalasan menulis itu dengan mengatakan bahwa saya lumayan sibuk di tri wulan belakangan ini. Kemalasan adalah kemalasan. Ia jelek pada dirinya dan tidak akan menemukan pembenaran untuk memolesnya menjadi baik.
Di ruang tunggu pemberangkatan; di Juanda, Soekarno-Hatta, Kualanamu, atau Malikus Saleh misalnya, sebenarnya saya dapat memanfaatkan masa-tunggu dengan membaca atau menulis. Nyatanya, di sana saya hanya sibuk mengunggah poto diri sedang pura-pura pegang laptop atau tablet agar-supaya dapat “sedekah” jempol atau pun komen.
Dari “sedekah” itu pun saya tidak mendapat selain “kesenangan semu” sebab setiap tanda jempol yang terkumpul tidak dapat dikonversi, misalnya, menjadi transferan ke rekening yang nominalnya “istiqomah”; praktis tidak berubah, malah cenderung tergerus.
Padahal sejak 1 Juli tahun ini, di rak ada buku baru karya Yuval Noah Harari, “21 Lessons for the 21st Century”. Kemudian diterjemahkan dengan sangat apik oleh Penerbit Global Indo Kreatif: “21 Adab untuk Abad 21”. Sebetulnya, buku ini selalu saya bawa ketika bepergian. Tapi, itu tadi, di ruang tunggu pemberangkatan saya lebih suka pamer poto, selain untuk meraup jempol demi jempol, juga berharap dicitrakan sebagai orang sibuk. Sejatinya kesibukan bukan alasan untuk berhenti membaca-menulis. Jadikan membaca-menulis bagian terpenting dari kesibukan. Jiaaah, sok iye!
Berisi 21 Buah Pikiran Harari
Data Buku
Seperti “terpantau” dari judulnya, buku ini berisi 21 buah pikiran Harari tentang bagaimana “seharusnya” kita menjalani dan menghadapi Abad 21. Dari 375 halaman, saya membacanya baru sampai di halaman 231. Dari 21 “wejangan” yang disajikan, saya baru sampai di “wejangan” ke 14. Hampir 70%-nya. Lumayan lah. Walau pun kalau diingat bahwa buku ini sudah saya punya sejak tiga bulan lalu, membaca 231 halaman itu tergolong lambat.
Dan lagi, saya tidak hendak menambal keterlambatan itu dengan kata-kata sok bijak: “Late is better than never”. Kemalasan dan keterlambatan adalah penyakit yang hanya akan sembuh bukan dengan menghibur diri, melainkan dengan rajin dan sigap. Tapi, bukankah kata-kata “Lumayan lah” itu kata-kata “menghibur diri?”
Dari 14 “wejangan” Harari yang telah saya baca, saya pilih nomor 7: Nasionalisme. Pada poin ini, Harari sebenarnya tidak sedang mengupas-tuntas pengertian dan ruang-lingkup nasionalisme. Ia sedang menunjukkan tiga tantangan besar abad ini lalu bertanya apakah nasionalisme menawarkan solusi nyata untuk masalah dunia-global kita yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jangan sampai, demikian Harari, nasionalisme menjadi semacam kegemaran untuk melarikan diri dari kenyataan yang dapat membawa manusia dan seluruh biosfer ke dalam malapetaka.
Isu Nasionalisme
Ada beberapa catatan umum tentang nasionalisme: Pertama, harus diingat bahwa seluruh umat manusia sekarang merupakan peradaban tunggal. Dengan semua orang kita berbagi tantangan dan peluang bersama.
Kedua, kita harus membuang mitos bahwa nasionalisme merupakan bagian alami dan abadi dari jiwa manusia serta berakar pada biologi manusia. Selama ratusan ribu tahun homo sapiens dan leluhur hominidnya tinggal di komunitas kecil yang jumlahnya tidak lebih dari beberapa lusin orang. Kala itu manusia dengan mudah mengembangkan kesetiaan kepada kelompok-kelompok kecil yang intim seperti satu suku atau satu kompi prajurit.
Tidak alami bagi manusia untuk setia kepada jutaan orang yang tidak dikenalnya sama-sekali. Kesetiaan massal seperti itu baru muncul dalam beberapa ribu tahun terakhir, atau baru kemarin-pagi dalam terminologi evolusi. Kesetiaan Anda pada massa yang “tidak jelas” bukanlah warisan dari nenek moyang pemburu-pengumpul Anda, melainkan lebih merupakan keajaiban sejarah baru-baru ini. Ketiga, kalau pun orang-orang mau bersusah-payah membangun konstruksi kolektif nasional, itu karena mereka menghadapi tantangan yang tidak dapat diselesaikan oleh suku-suku tunggal.
Nasionalisme Tidak Salah
Namun begitu, tidak berarti ikatan rantai nasional (nasionalisme) adalah salah. Sistem yang besar tidak dapat berfungsi tanpa kesetiaan massal. Memperluas lingkaran empati manusia memiliki kelebihannya. Mempercayai bahwa bangsa Anda adalah unik, bahwa itu pantas untuk kesetiaan Anda, dan bahwa Anda memiliki kewajiban khusus terhadap anggotanya, mengilhami Anda untuk peduli terhadap orang lain dan berkorban atas nama mereka.
Berbahaya untuk membayangkan bahwa tanpa nasionalisme kita akan hidup di surga liberal. Kita malah akan hidup dalam kekacauan antar suku. Negara-negara yang damai, makmur dan liberal seperti Swedia, Jerman dan Swiss semuanya menikmati nasionalisme yang kuat. Negara-negara yang tidak memiliki ikatan nasional yang kuat, seperti Afghanistan, Somalia, dan Kongo, adalah negara gagal. Singkatnya, tidak ada yang salah dengan nasionalisme positif.
Lalu apa saja tiga tantangan besar abad ini yang harus kita hadapi bersama, sembari kita tetap berpegang pada “ajaran” nasionalisme masing-masing dalam pengertian dan cakupannya yang positif? Tiga tantangan itu adalah: tantangan nuklir, tantangan ekologis, dan tantangan teknologi.
Tiga Tantangan Global
Tantangan Nuklir
Nuklir merupakan ancaman nyata. Para pakar dan orang awam sama-sama takut bahwa manusia tidak memiliki kebijaksanaan untuk mencegah kehancuran, dan bahwa hanya masalah waktu sebelum Perang Dingin menjadi panas terik. Memang manusia berhasil mengatasi tantangan nuklir. Amerika, Soviet, Eropa dan Tiongkok mengubah cara geopolitik mereka yang telah dilakukan selama ribuan tahun, sehingga Perang Dingin berakhir dengan sedikit pertumpahan darah, dan tatanan dunia para internasionalis yang baru memupuk era perdamaian yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bukan hanya perang nuklir yang berhasil dicegah, tetapi segala jenis perang juga menurun. Sejak tahun 1945, secara mengejutkan beberapa perbatasan telah digambar ulang melalui agresi terbuka, dan sebagian besar negara telah berhenti menggunakan perang sebagai alat politik standar. Pada tahun 2016, meski terjadi perang di Suriah, Ukraina, dan beberapa titik panas lainnya, lebih sedikit orang yang meninggal karena kekerasan manusia daripada yang meninggal karena obesitas, kecelakaan mobil, atau bunuh diri. Ini mungkin pencapaian politik dan moral terbesar di zaman kita.
Sayangnya, sekarang kita sudah terbiasa dengan pencapaian ini, sehingga kita menganggapnya sebagai hal yang wajar. Inilah mengapa sebagian orang membiarkan diri mereka bermain api. Rusia dan Amerika Serikat baru-baru ini memulai perlombaan senjata nukir baru, mengembangkan mesin-mesin kiamat baru yang mengancam untuk membatalkan kemajuan yang diperoleh dengan susah payah dalam beberapa dekade terakhir dan membawa kita kembali ke jurang kehancuran nuklir. Sementara itu, publik telah berhenti mengkhawatirkan bom, atau baru saja melupakan keberadaannya.
Mencegah Perang Nuklir
Sangat sulit membangun rezim internasionalis yang mencegah perang nuklir dan menjaga perdamaian global. Tidak diragukan kita perlu menyesuaikan rezim ini dengan kondisi dunia yang berubah, misalnya dengan tidak terlalu mengandalkan Amerika Serikat dan memberi peran lebih besar kepada kekuatan non-Barat seperti Tiongkok dan India.
Tetapi meninggalkan rezim ini sama sekali dan kembali ke politik kekuasaan nasionalis akan menjadi pertaruhan yang tidak bertanggung jawab. Benar, di abad ke-19, negara-negara memainkan permainan nasionalis tanpa menghancurkan peradaban manusia. Tapi itu di era pra-Hiroshima.
Setelah itu, senjata nuklir telah meningkatkan taruhannya dan mengubah sifat dasar perang dan politik. Selama manusia tahu bagaimana memperkaya uranium dan plutonium, kelangsungan hidup mereka tergantung pada hak istimewa pencegahan perang nuklir di atas kepentingan negara tertentu. Para nasionalis yang menggebu-gebu berteriak “Dahulukan negara kita!” harus bertanya pada diri sendiri apakah negara mereka dengan sendirinya, tanpa sistem kerjasama internasional yang kuat, dapat melindungi dunia–atau bahkan dirinya sendiri–dari kehancuran yang ditimbulkan nuklir.
Tantangan Ekologis
Di atas perang nuklir, dalam beberapa dekade mendatang manusia akan menghadapi ancaman eksistensial baru yang nyaris tidak terdaftar dalam radar politik pada tahun 1964: keruntuhan ekologis. Manusia mendestabilisasi biosfer global di berbagai bidang. Kita mengambil lebih banyak sumber daya dari lingkungan, sambil memompakan kembali sejumlah besar limbah dan racun, sehingga mengubah komposisi tanah, air dan atmosfer. Kita bahkan hampir tidak menyadari banyak sekali cara di mana kita mengganggu keseimbangan ekologis yang halus yang telah terbentuk selama jutaan tahun.
Ambil sebagai contoh, penggunaan fosfor sebagai pupuk. Dalam jumlah kecil, itu adalah nutrisi penting untuk pertumbuhan tanaman. Tetapi dalam jumlah yang berlebihan, itu menjadi beracun. Industri pertanian modern didasarkan pada pemupukan ladang secara artifisial dengan banyak fosfor, tetapi kemudian limbah pertanian dengan kadar fosfor tinggi itu meracuni sungai, danau dan lautan, dengan dampak yang menghancurkan kehidupan laut. Seorang petani yang menanam jagung di Iowa mungkin dengan demikian secara tidak sengaja membunuh ikan di Teluk Meksiko.
Punahnya Ekosistem
Sebagai hasil dari aktivitas tersebut, habitat terdegradasi, hewan dan tumbuhan menjadi punah, dan seluruh ekosistem seperti Great Barrier Reef Australia dan hutan Amazon mungkin hancur. Selama ribuan tahun, homo sapiens berperilaku sebagai pembunuh berantai ekologis; sekarang itu berubah menjadi pembantai massal ekologis. Jika kita melanjutkan apa yang kita lakukan sekarang, itu akan menyebabkan tidak hanya pemusnahan sebagian besar dari semua bentuk kehidupan, tetapi juga bisa melemahkan fondasi peradaban manusia. Yang paling mengancam adalah prospek perubahan iklim.
Manusia telah ada selama ratusan ribu tahun, dan telah melewati banyak zaman es dan sedikit periode hangat. Namun, pertanian, kota, dan masyarakat yang kompleks baru ada selama tidak lebih dari 10.000 tahun. Selama periode ini, yang dikenal sebagai Holosen, iklim bumi relatif stabil. Setiap penyimpangan dari standar Holosen akan menghadirkan masyarakat dengan tantangan besar yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Ini akan menjadi seperti melakukan percobaan terbuka pada miliaran babi-guinea-manusa. Bahkan jika peradaban manusia akhirnva beradaptasi dengan kondisi baru, siapa yang tahu berapa banyak korban yang mungkin binasa dalam proses adaptasi itu.
Percobaan menakutkan ini telah dimulai. Tidak seperti perang nuklir–yang potensial terjadi di masa depan–perubahan ikim adalah kenyataan saat ini. Ada konsensus ilmiah bahwa aktivitas manusia, khususnya emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, menyebabkan iklim bumi berubah pada tingkat yang menakutkan.
Pemanasan Global
Tidak ada yang tahu persis berapa banyak karbon dioksida yang dapat terus kita pompa ke atmosfir tanpa memicu bencana yang tak dapat dibalikkan. Tapi prediksi ilmiah terbaik kita menunjukkan bahwa kecuali kita secara dramatis mengurangi emisi gas rumah kaca dalam dua puluh tahun ke depan, suhu global rata-rata akan meningkat lebih dari 2°C, mengakibatkan meluasnya padang pasir, hilangnya lapisan es, naiknya air pasang, dan cuaca ekstrem seperti badai dan topan semakin sering terjadi.
Perubahan ini pada gilirannya akan mengganggu produksi pertanian, membanjiri kota, membuat sebagian besar dunia tidak bisa dihuni, dan mengirim ratusan juta pengungsi untuk mencari rumah baru.
Selain itu, kita dengan cepat mendekati sejumlah titik kritis, di mana bahkan penurunan dramatis dalam emisi gas rumah kaca tidak akan cukup untuk membalikkan tren dan menghindari tragedi di seluruh dunia. Misalnya, ketika pemanasan global melelehkan lapisan es kutub, lebih sedikit sinar matahari dipantulkan kembali dari planet bumi ke angkasa luar. Ini berarti bahwa planet menyerap lebih banyak panas, suhu meningkat lebih tinggi, dan es mencair lebih cepat. Setelah umpan balik ini melewati ambang kritis maka akan mengumpulkan momentum yang tak terelakkan, dan semua es di daerah kutub akan mencair bahkan jika manusia berhenti membakar batubara, minyak dan gas.
Oleh karena itu, tidak cukup bahwa kita mengenali bahaya yang kita hadapi. Sangat penting bahwa kita benar-benar melakukan sesuatu sekarang. Sayangnya, pada tahun 2018, alih-alih mengurangi emisi gas rumah kaca, tingkat emisi global masih meningkat. Kemanusiaan hanya memiliki sedikit waktu tersisa untuk menyapih diri dari bahan bakar fosil. Kita harus masuk rehab hari ini. Bukan tahun depan atau bulan depan, tapi hari ini.
Tantangan Teknologi
Ancaman eksistensial ketiga abad ke-21 adalah disrupsi teknologi. Penggabungan infotek dan biotek membuka pintu bagi banyaknya skenario kiamat, mulai dari kediktatoran digital hingga penciptaan kelas global yang tidak berguna. Apa jawaban nasionalis untuk ancaman ini? Tidak ada jawaban nasionalis.
Seperti dalam kasus perubahan iklim, begitu juga dengan disrupsi teknologi, negara bangsa hanyalah kerangka yang salah untuk mengatasi ancaman. Karena penelitian dan pengembangan bukanlah monopoli dari satu negara, bahkan negara dikuasa seperti Amerika Serikat tidak dapat membatasi mereka sendirian.
Jika pemerintah AS melarang rekayasa genetik pada embrio manusia, ini tidak mencegah para ilmuwan Tiongkok melakukan hal itu. Dan jika perkembangan yang dihasilkan menganugerahkan pada Tiongkok beberapa keuntungan ekonomi atau militer, AS akan tergoda untuk melanggar larangannya sendiri. Jika satu negara memilih untuk mengejar jalur teknologi tinggi yang berisiko tinggi, negara-negara lain akan dipaksa untuk melakukan hal yang sama, karena tidak ada yang mau tetap berada di belakang. Untuk menghindari situasi yang merugikan akibat dari tekanan persaingan seperti itu, manusia mungkin akan membutuhkan semacam identitas dan loyalitas global.
Selain itu, sementara perang nuklir dan perubahan iklim hanya mengancam kelangsungan hidup fisik manusia, disrupsi teknologi dapat mengubah sifat kemanusiaan, dan juga karena itu terkait erat dengan keyakinan etis dan religius manusia yang paling dalam.
Sementara semua orang setuju bahwa kita harus menghindari perang nuklir dan kehancuran ekologis, orang-orang memiliki pendapat yang sangat berbeda tentang penggunaan rekayasa biologis dan AI untuk meningkatkan manusia dan menciptakan bentuk kehidupan baru. Jika manusia gagal menyusun dan mengatur pedoman etika yang diterima secara global, itu akan menjadi epsode baru untuk Dr Frankenstein.
Punahnya Homo Sapiens
Ketika datang untuk merumuskan pedoman etis seperti itu, nasionalisme sangat menderita karena kegagalan imajinasi. Nasionalis berpikir dalam hal konflik teritorial yang berlangsung berabad-abad, sementara revolusi teknologi abad ke-21 harus benar-benar dipahami dalam skala kosmos. Setelah 4 miliar tahun kehidupan organik berevolusi oleh seleksi alam (natural selection), sains mengantarkan kita pada era kehidupan anorganik yang dibentuk oleh desain cerdas (intelligent design).
Dalam prosesnya, homo sapiens sendiri kemungkinan akan menghilang. Hari ini kita masih merupakan kera dari keluarga hominid. Kita masih memiliki kesamaan sebagian besar struktur tubuh, kemampuan fisik, dan kemampuan mental dengan Neanderthal dan simpanse. Bukan hanya tangan, mata, dan otak kita yang hominid, tetapi juga nafsu, cinta, kemarahan, dan ikatan sosial kita. Dalam satu atau dua abad, kombinasi bioteknologi dan AI dapat menghasilkan ciri-ciri tubuh, fisik dan mental yang benar-benar membebaskan diri dari cetakan hominid.
Beberapa percaya bahwa kesadaran mungkin terputus dari struktur organik apa pun, dan dapat menjelajahi dunia maya yang bebas dari semua kendala fisik dan biologis. Di sisi lain, kita mungkin menyaksikan pemisahan sepenuhnya kecerdasan dari kesadaran, dan perkembangan Al dapat menghasilkan dunia yang didominasi oleh entitas super cerdas tetapi sepenuhnya tidak sadar.
Apa yang dikatakan oleh nasionalisme tentang hal ini? Untuk membuat pilihan yang bijak tentang masa depan kehidupan, kita harus melampaui pandangan nasionalis dan melihat hal-hal dari perspektif global atau bahkan kosmik.
Menurut saya, dari tiga tantangan di atas, tantangan terakhir benar-benar paling mengerikan!