Biografi Intelektual Christiaan Snouck Hurgronje (2)
Oleh: Yanwar Pribadi, Ph.D. Universitas Islam Internasional Indonesia
Snouck bukanlah orang yang religius (tetapi tidak lantas ia tidak beragama). Dari karyanya tentang Mekah, kita mengetahui bahwa ia hanya sedikit memiliki pandangan normatif tentang masalah religiusitas. Namun, ia memiliki ketertarikan yang sangat kuat terhadap agama sebagai sebuah fenomena sosial. Ia berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaan tentang bagaimana dan sampai sejauh mana orang mau membentuk kehidupan pribadi dan sosial mereka berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai perintah Tuhan.
Karyanya tentang Mekah juga menimbulkan ribuan pertanyaan tentang bagaimana seorang Barat di usianya yang muda dan dalam waktu yang relatif singkat mampu diterima oleh warga Mekah sebagai bagian dari mereka, dan kemudian menuliskan observasinya yang mendetil tersebut. Tetapi, untuk hal tersebut, Snouck lebih banyak diam, hingga akhirnya banyak rumor yang muncul dalam usahanya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Karyanya tentang Mekah (1888 – 1889, 2 volume + 1 portofolio) memang sudah menjadi karya klasik, tetapi dalam detil isi dan pendeskripsiannya, ia juga adalah sebuah buku yang modern. Volume pertama buku Mekah tersebut, yang aslinya diterbitkan dalam bahasa Jerman (Die Stadt und ihre Herren – Kota dan Tuannya), adalah sebuah karya sejarah tentang kota Mekah dan para penguasanya. Bagi para sejarawan agama yang kritis, buku tersebut tidak lantas dianggap sebagai anti-Islam, justru sebanding dengan bagaimana, misalnya, orang-orang Katolik menggambarkan rahasia Vatikan, yaitu ada bagian-bagian yang sakral, namun ada juga yang tidak sakral. Tetapi, memang dalam kesempatan yang lain, Snouck terbiasa sangat kritis dalam mempertanyakan tentang Islam, dan juga agama-agama lain yang ia amati.
Volume kedua buku tersebut (Aus dem heutigen Leben – Dari Kehidupan Hari Ini) menggambarkan tentang masyarakat Mekah pada tahun 1880an. Hingga sejauh ini, buku tersebut adalah satu-satunya monograf yang paling komprehensif tentang Mekah karena para sosiolog-antropolog Muslim tidak pernah benar-benar menjelajah Mekah untuk menggambarkan kota itu dengan pendekatan non-normatif. Sisi modern buku tersebut terletak dalam ide Snouck tentang bagaimana kehidupan bersama dengan orang-orang yang memiliki beragam budaya dan agama yang berbeda, dan menggambarkannya.
Volume kedua itu berisikan narasi Snouck tentang kehidupan publik dan privat warga Mekah, sistem pendidikan tradisional di al-Masjid al-Ḥarām, dan juga tentang koloni Jãwī (Jawah, moekimer) di sana, yaitu orang-orang Asia Tenggara (mayoritas dari Hindia Belanda) yang tinggal sementara atau permanen di sana untuk belajar, bekerja, atau berdagang.
Salah satu hal yang paling menarik bagi kita pembaca modern dalam melihat karya Snouck tersebut mungkin adalah suplemen dari kedua volume itu, yaitu sebuah portofolio (Bilder-Atlas zu Mekka – Gambar Atlas Mekah) dengan foto-foto Ka’bah, bangunan-bangunan lainnya, warga lokal, warga pendatang, dan benda-benda etnografis lainnya yang beberapa di antaranya diambil oleh Snouck sendiri dan juga oleh seorang tabib lokal yang akhirnya menjadi temannya, yaitu ‘Abd al- Ghaffār (secara kebetulan, nama Muslim Snouck ketika berada di Mekah juga adalah ‘Abd al- Ghaffār). Penggunaan kamera pada saat itu memperlihatkan bahwa Snouck memang terpengaruh oleh E.W. Lane yang menggambarkan Kairo tidak hanya melalui tulisan, tetapi juga foto.
Walaupun salah satu tujuan awal Snouck datang ke Mekah adalah untuk melihat prosesi ibadah haji sebagai sebuah fenomena keagamaan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, pada akhirnya ia tidak pernah menyaksikannya karena ia dipaksa untuk meninggalkan Mekah sebelum musim haji tiba. Ia melihat ibadah haji, walaupun hanya sekilas dibahas di bukunya, sebagai sebuah ritual yang penting hanya bagi warga lokal, tetapi tidak terlalu penting bagi Muslim umumnya dibandingkan dengan, misalnya, puasa di bulan Ramadan yang dilakukan oleh seluruh Muslim di dunia. Oleh karena itu, fokus utama Snouck adalah masyarakat Mekah, bukan ibadah haji. Hal inilah yang membedakan Snouck dengan para petualang Barat yang tertarik dengan Mekah karena di Eropa saat itu Mekah adalah sinonim dari ibadah haji.
Di Jedah dan Mekah, selain dengan sang tabib ‘Abd al- Ghaffār, Snouck juga berteman dengan P.N. van der Chijs (w. 1889), Wakil Konsul Belanda di Jedah. Van der Chijs adalah orang yang antara tahun 1885 – 1889 mengirimkan informasi, foto, dan benda-benda etnografis dari Mekah, via Jedah, ke Leiden untuk kepentingan penelitian Snouck. Sang tabib sendiri adalah orang yang mengambil foto-foto tersebut di Mekah. Ketika foto-foto tersebut terus dikirimkan oleh Van der Chijs, Snouck menerbitkannya sebagai sebuah buku bergambar, Bilder aus Mekka. Mit kurzem erläuterndem (1889) (Gambar dari Mekah. Dengan narasi penjelasan singkat).
Selain dengan keduanya, Snouck juga berteman dengan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat (1854 – 1914), seorang bangsawan dari Banten yang pada akhirnya banyak memberikan ‘informasi yang berguna’, selain bagi Snouck, juga bagi konsul Belanda di Jedah tentang kondisi Mekah. Di tanah Arab, Snouck tetap berhubungan melalui surat dengan, di antaranya, ibunya, teman-temannya seperti Pieter van Romburgh dan Jan Goedeljee, gurunya M.J. De Goeje, kolega akademiknya di Strasbourg Theodor Nöldeke (1836 – 1930) dan koleganya di Budapest Ignaz Goldziher (1850 – 1921). Episode Mekah ini di kemudian hari terbukti sebagai salah satu yang paling penting, jika tidak disebut sebagai yang paling penting, dari seluruh kehidupan Snouck.
Foto ini adalah buku Snouck tentang Mekka, volume I, Die Stadt und ihre Herren yang terbit tahun 1888 – 1889.
Foto berikut adalah Mekkanischer Arzt (Tabib Mekah), ‘Abd al- Ghaffār (1885).
Bersambung