DosenPenelitian

Biografi Intelektual Christiaan Snouck Hurgronje (3)

Advertisements

Oleh: Yanwar Pribadi, Ph.D. Universitas Islam Internasional Indonesia

Sebagai pelopor studi Islam modern—bersama Ignaz Goldziher (1850 – 1921)—Snouck memiliki pendapat yang berbeda dengan kebanyakan Orientalis pada masa itu dalam memandang ibadah haji (Snouck menyimpulkan bahwa ibadah haji adalah kelanjutan dari tradisi Arab sejak zaman Nabi Ibrahim, sedangkan para Orientalis berpendapat bahwa ibadah haji adalah pengaruh dari agama Kristen dan Yahudi yang dilanjutkan oleh Nabi Muhammad).

Snouck tertarik pada tiga masalah utama dalam Islam, yaitu 1. Bagaimanakah Islam terbentuk? 2. Apakah signifikansi Islam bagi para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari? 3. Bagaimanakah Islam berinteraksi dengan dunia modern?

Untuk mencari jawabannya, Snouck mengunjungi tanah Arab sebagai tempat Islam berasal di mana akhirnya, selain menghasilkan karyanya yang paling terkemuka tentang Islam, ia juga memperoleh sudut pandang lain tentang Islam melalui pertemuannya dengan beragam Muslim dari seluruh dunia, dan terutama dari Hindia Belanda, tempat yang akan menjadi lokasi di mana ia bertransformasi dari seorang akademikus menjadi seorang intellectual mastermind di balik kebijakan pemerintah kolonial Belanda tentang Islam.

Snouck tiba di Jedah pada tanggal 28 Agustus 1884. Dalam karyanya tentang Mekah, kita bisa melihat bahwa ia adalah individu yang antusias dan juga kadang sinis, sekaligus pengamat tingkah laku manusia yang kritis. Mempelajari Islam melalui praktik keagamaan Muslim di Mekah dalam kehidupan sehari-hari adalah tujuan utamanya. Namun, ia juga datang ke tanah Arab dengan misi untuk memahami bagaimana Mekah menjadi pusat penyebarluasan aktivitas “Muslim fanatik”, sebagaimana mereka disebut pada akhir abad ke-19, yang mendorong ide Pan-Islamisme di seluruh dunia Muslim.

Adalah J.A. Kruijt, Konsul Belanda di Jedah yang menominasikan Snouck untuk mengkaji tentang aktivitas haji orang-orang Hindia Belanda dan menemani Snouck selama di Jedah. J.P. Sprenger van Eyck, Menteri Urusan Kolonial, menyetujui usulan tersebut, dan berangkatlah Snouck ke dunia timur dengan sponsor pemerintah Belanda. Dengan bantuan dan sekaligus pertemanannya dengan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat (1854 – 1914) dari Banten, Snouck mulai belajar memahami kehidupan sosial-keagamaan dan intelektual komunitas Jãwī.

Jedah berfungsi sebagai titik masuk Snouck menuju Mekah. Di sana ia mengumpulkan informasi tentang Mekah sebanyak mungkin, dan ia pun menciptakan lingkaran pertemanannya dengan orang-orang Muslim. Ia berbicara dengan jemaah haji yang baru pulang dari Mekah (yang saat itu jatuh pada tanggal 1 Oktober 1884), dengan orang-orang yang terlibat dalam bisnis yang menunjang ibadah haji, dan dengan warga Mekah dan Jedah. Bagi mereka, ia dianggap sebagai sarjana Kristen yang memiliki pengetahuan yang luas tentang Arab dan hukum Islam. Dengan warga lokal, ia berbicara dalam bahasa Arab, dengan komunitas Jãwī, ia berbicara dalam bahasa Melayu, yang ia pelajari terutama dari Aboe Bakar.

Tidak seperti kebanyakan Orientalis, Snouck lebih memposisikan dirinya sebagai seorang partisipan, daripada seorang pengamat. Ia masuk Islam setelah terlebih dahulu dikhitan seperti yang tercatat dalam buku hariannya pada tanggal 5 Januari 1885. Kepindahannya ke rumah Aboe Bakar pada tanggal 1 Januari 1885 menandai keseriusannya untuk meninggalkan agama Kristennya untuk berubah menjadi pemeluk agama Islam setelah sebelumnya ia tinggal di Konsulat Belanda bersama dengan Kruijt. Ia akhirnya memeluk agama Islam pada tanggal 16 Januari 1885 dengan disaksikan oleh otoritas Turki saat itu yang berkuasa di Jedah.

Konversi Snouck ke Islam menimbulkan banyak kontroversi. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah kepura-puraan, tetapi ada pula yang menyebutkan bahwa itu adalah sebuah keaslian. Namun, Snouck tidak pernah secara eksplisit mengatakan tentang hal tersebut kepada orang-orang terdekatnya, seperti ibunya, gurunya De Goeje, kolega akademiknya Nöldeke dan Goldziher, atau temannya Van der Chijs.

Bagi seorang agnostik yang ahli dalam bidang hukum Islam seperti Snouck, Islam adalah serangkaian tindakan lahiriah yang harus dilaksanakan tanpa pertanyaan rasional di bawah kondisi-kondisi tertentu di mana mereka menjadi valid secara hukum. Dalam hal ini, ia telah menjadi Muslim, yaitu, secara literal, menjadi seseorang yang mempraktikkan penyerahan diri. Apakah ia juga menjadi seorang mukmin (orang yang beriman/percaya kepada Allah), itu adalah sesuatu yang dianggap oleh Snouck tidak relevan bagi siapapun kecuali dirinya dan Allah. Yang jelas, walaupun hal tersebut dianggap tidak relevan oleh Snouck, ketulusan hati Snouck dalam konversinya tetap menjadi permasalahan serius bagi umat Muslim.

Kesaksian otoritas Turki sebagai penguasa Hijaz saat itu sangat penting bagi tujuan Snouck mengunjungi Mekah. Pada saat yang bersamaan, Snouck juga bertemu dengan Ismā‘īl Efendi, qāḍī Jedah saat itu untuk mendapat dukungan atas niatnya mengunjungi Mekah dan sebagai jalan pembuka untuk mendapat restu dari ʿUthmān (Osman) Pasha, gubernur Hijaz saat itu. Sang gubernur tentu saja menyadari tentang rencana Snouck tersebut. Ia bahkan memerintahkan dua orang prajurit untuk menemani Snouck dan Aboe Bakar dalam perjalanan dari Jedah ke Mekah.

Setelah melalui perjalanan sehari penuh, pada tanggal 22 Februari 1885, Snouck memasuki Mekah dan melakukan ritual mengelilingi Ka’bah. Ia mencium Hajar Aswad dan meminum air Zamzam. Dalam diarinya, Snouck mengungkapkan bahwa itu adalah momen yang sangat emosional, dan bahwa ia tidak akan pernah melupakannya seumur hidupnya.

Biografi Intelektual Christiaan Snouck Hurgronje (Bagian 3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *