Tak Perlu Malu Berbicara Bahasa Inggris dengan Aksen Lokal
Berapa sering kita merasa canggung atau bahkan malu ketika berbicara bahasa Inggris dengan aksen atau logat khas Indonesia atau daerah kita sendiri? Anda tentu tidak sendirian.
Di sebuah turnamen tenis pada bulan Juni 2021, pemain tenis Perancis, Ugo Humbert, dengan tegas menyampaikan dalam bahasa Inggris dengan aksen Perancisnya yang kental, “Saya merasa bermain tenis lebih baik ketimbang berbicara bahasa Inggris.” Banyak di antara kita juga merasa perlu meminta maaf atas “bahasa Inggris yang rusak” saat berbicara di acara internasional atau konferensi. Meskipun terdengar sopan, sebenarnya ada beberapa alasan mengapa kita tidak perlu lagi meminta maaf atau merasa minder saat menggunakan aksen atau logat kita ketika berbicara bahasa Inggris.
Ragam Bahasa Inggris di Dunia
Kita seringkali terpaku pada aksen penutur asli seperti Amerika Utara, Inggris, atau Australia. Namun, bahasa Inggris tidak lagi terbatas pada penutur asli dari negara-negara itu. Globalisasi telah menyebarkan penggunaan bahasa Inggris ke berbagai belahan dunia yang sebelumnya tidak menggunakan bahasa itu sebagai bahasa utama mereka.
Pakar bahasa Inggris, David Crystal, memperkirakan ada sekitar 60-70 ragam baru bahasa Inggris di seluruh dunia sejak tahun 1960-an. Ini disebabkan oleh semakin meningkatnya interaksi dan pencampuran antara bahasa Inggris dan bahasa lokal di berbagai wilayah.
Contoh-contoh variasi bahasa Inggris ini termasuk Singlish (bahasa Inggris ala Singapura), Spanglish (campuran bahasa Inggris dan Spanyol), Chinglish (bahasa Inggris dan Mandarin atau Kanton), dan Taglish (bahasa Inggris dan Tagalog di Filipina).
Jumlah penutur asli bahasa Inggris (sekitar 400 juta) jauh lebih sedikit daripada jumlah orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (sekitar 800 juta) atau bahasa asing (lebih dari 1 miliar). Ini berarti bahwa aksen penutur asli tidak lagi menjadi satu-satunya acuan yang relevan.
Penjajahan Bahasa dan Identitas
Dengan merasa minder saat berbicara bahasa Inggris dengan aksen kita sendiri, kita secara tidak langsung mendukung praktik penjajahan bahasa. Linguistic imperialism, seperti yang dijelaskan oleh Profesor Robert Phillipson, adalah eksploitasi kekuatan ideologi dan budaya bahasa Inggris untuk kepentingan politik dan ekonomi negara-negara penutur asli bahasa Inggris.
Dalam praktik ini, variasi bahasa Inggris dari Amerika Utara, Inggris, dan negara penutur asli lainnya dianggap sebagai standar. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan di mana variasi bahasa Inggris lain dianggap rendah, pasif, dan mudah dikuasai.
Baca juga : Peran Sekolah dalam Mengatasi Hukum Pidana Anak
Pentingnya bahasa dalam mengungkapkan identitas kita juga perlu diperhatikan. Setiap kali kita berbicara, kita tidak hanya bertukar informasi, tetapi juga terus-menerus mengatur dan mengekspresikan siapa sebenarnya kita. Identitas ini sangat terkait dengan afiliasi kita dengan komunitas tertentu.
Bahasa Inggris sebagai Lingua Franca
Meskipun bahasa Inggris sangat penting untuk bersaing dalam lingkup global saat ini, masih banyak orang yang merasa malu ketika menggunakan aksen atau logat lokal ketika berbicara bahasa Inggris.
Berdasarkan refleksi ini, kita seharusnya tidak lagi merasa canggung ketika menggunakan aksen atau variasi logat kita dalam berkomunikasi bahasa Inggris. Berbagai variasi bahasa Inggris lain sudah umum digunakan, sehingga kita tidak perlu khawatir menggunakan “Indoglish” atau variasi bahasa Inggris dengan rasa lokal lainnya di Indonesia.
Guru bahasa Inggris juga tidak perlu memaksa murid untuk mengikuti standar penutur asli, karena hal itu dapat merusak identitas mereka. Di luar kelas, bahasa Inggris bukan hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan penutur asli, tetapi juga sebagai bahasa penghubung dengan masyarakat dunia yang beragam.
Pingback: Daya Tarik Fisik & Penilaian Akademik: Diskriminasi di Perkuliahan - DUNIA PENDIDIK