Sekolah

Sejarah Perbankan di Indonesia

Advertisements

Sejarah perbankan di Indonesia bermula pada masa Hindia Belanda, dengan berdirinya bank pertama di wilayah ini, Bank van Lening en Courant. Didirikan di Jakarta pada tahun 1746, bank ini merupakan institusi pertama di Asia. Tujuan pendirian bank ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada kalangan kaya dalam memperoleh pinjaman tanpa harus menjual aset mereka.

Namun, Bank van Lening en Courant tidak bertahan lama dan akhirnya ditutup pada tahun 1818. Terbatasnya skala operasional dan eksklusifnya layanan yang hanya dapat diakses oleh kalangan sangat kaya menyebabkan bank ini gagal mencapai tujuan awalnya. Selain itu, uang kertas yang diterbitkan bank ini tidak dapat ditukar dan hanya bisa digunakan untuk membayar pajak atau pinjaman paksa, sehingga jarang diterima dan tidak digunakan secara luas.

Kemunculan De Javasche Bank

Sejarah perbankan di Indonesia berlanjut dengan berdirinya bank-bank baru setelah penutupan Bank van Lening en Courant. Terinspirasi oleh tradisi lembaga keuangan Belanda di Amsterdam, bank-bank ini mulai berkembang pada pertengahan abad ke-19. Beberapa lembaga keuangan baru yang muncul antara lain de Nederlandse Handels Maatschappij (NHM) pada tahun 1824, De Javasche Bank (DJB) pada tahun 1828, dan de Nederlandsch Indische Handels Bank (NIHB) pada tahun 1863.

De Javasche Bank didirikan pada 25 Maret 1828 oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) sebagai bank sentral. Pada masa itu, De Javasche Bank adalah satu-satunya bank swasta di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dan menjadi pelopor sistem perbankan modern di wilayah tersebut.

Awalnya, De Javasche Bank beroperasi dari kantor pusatnya di Jakarta dan memiliki dua kantor cabang di Semarang dan Surabaya. Kantor cabang Semarang dibuka pada 1 Maret 1829 di bawah pimpinan P.C.W. Hipp, sedangkan kantor cabang Surabaya dibuka pada 14 September 1829 di bawah pimpinan F.H. Preyer.

Perkembangan dan Reorganisasi De Javasche Bank

De Javasche Bank mengalami perkembangan signifikan dan reorganisasi berdasarkan Oktroi ke-4 (1860-1870). Dengan hak istimewa ini, bank tersebut diberi wewenang untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda. Bank ini kemudian membuka lima kantor cabang tambahan:

  1. Padang – 20 Agustus 1864
  2. Makassar – 20 Desember 1864
  3. Cirebon – 31 Juli 1866
  4. Solo – 25 November 1867
  5. Pasuruan – 27 November 1867 (beroperasi hingga 31 Maret 1890)

Di Padang, perkembangan De Javasche Bank terkait erat dengan sistem tanam paksa kopi yang diterapkan oleh Belanda, memaksa rakyat Minangkabau menanam kopi di tanah mereka untuk kepentingan negara. Bank ini mendukung kebijakan finansial Belanda terkait tanam paksa.

Baca juga : Murid-murid Finlandia Kembali Memanfaatkan Buku dan Pena

Proses Pembentukan Bank Indonesia

Antara tahun 1870 dan 1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang tambahan di berbagai kota di Indonesia. Namun, selama pendudukan Jepang, bank ini dilikuidasi pada tahun 1942 dan digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) sebagai bank sirkulasi.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha untuk kembali menguasai Indonesia, yang berdampak pada kekacauan ekonomi. Dalam rangka menegakkan kedaulatan ekonomi dan menerbitkan uang negara, pemerintah Republik Indonesia membentuk Bank Negara Indonesia sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23.

Pada tahun 1951, pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan nasionalisasi De Javasche Bank. Pembentukan Panitia Nasionalisasi DJB pada tahun tersebut memicu perubahan besar dalam sistem perbankan. Pada 1 Juli 1953, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia. Sejak saat itu, Bank Indonesia resmi berdiri sebagai bank sentral Republik Indonesia, mengawali era baru dalam sejarah perbankan nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *