Pemerintah Pusat Didesak Menyelesaikan Isu UKT
Kritik terhadap tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi menjadi sorotan terhadap kinerja pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Oktaria Saputra, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR), menyoroti bahwa kenaikan UKT dipengaruhi oleh otonomi perguruan tinggi yang semakin mandiri. Hal ini memberikan ruang bagi birokrasi kampus untuk menetapkan norma dan kebijakan operasional, tanpa memperhatikan sebandingnya fasilitas yang diberikan.
Menurut Oktaria, kenaikan UKT haruslah diiringi dengan peningkatan fasilitas dan pelayanan kepada mahasiswa, serta pembelajaran yang sistematis untuk meningkatkan kemampuan mereka. Namun, realitas saat ini tidak sejalan dengan amanat Konstitusi 1945, yang menetapkan proyeksi ideal pada masa depan mengenai kualitas SDM yang tinggi.
Oktaria mengungkapkan bahwa cita-cita Indonesia Emas 2045 mungkin hanyalah angan belaka, karena lemahnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan SDM. Dia menyatakan bahwa pendidikan hanya akan menjadi hak masyarakat ekonomi menengah dan atas, sementara mereka yang berada di lapisan bawah akan terus menderita.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat diminta untuk tetap campur tangan dalam mekanisme peraturan UKT, meskipun perguruan tinggi telah memiliki otonomi hukum untuk mengelola institusinya sendiri. Ini bertujuan untuk memastikan akses pendidikan yang adil bagi seluruh anak bangsa, tanpa terkekang oleh biaya yang tinggi.
Sementara itu, Komisi X DPR RI juga mendesak Kemendikbudristek untuk mengevaluasi tata kelola pembiayaan pendidikan tinggi. Abdul Fikri Faqih Fikri, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menegaskan bahwa pendidikan adalah hak semua anak bangsa, tanpa memandang status ekonomi dan sosial.
Fikri menekankan perlunya peningkatan kuota beasiswa dan perbaikan pengawasan kebijakan pendidikan tinggi untuk menjaga mutu pendidikan agar tetap berkualitas dan merata.