Opini

Mengapa Filsafat itu Penting

Advertisements

Oleh: Ahmad Baiquni, Penulis dan Editor Mizan

Filsafat sering dikesankan rumit, aneh, tidak relevan, membosankan, mengada-ada, bahkan omong kosong. Kesan begitu sebetulnya tidak tepat, bahkan keliru sama sekali. Lalu, apa gunanya belajar filsafat?

Jawabannya sudah terkandung di dalam kata philosophia itu sendiri. Philosophia berasal dari philo yang berarti cinta dan sophia bermakna kebijaksanaan. Maka, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Apa itu bijaksana? Bijaksana secara sederhana berarti menjalani hidup dengan baik dan benar, serta indah. Dalam upaya itu, para filsuf membangun kecakapan berpikir yang rasional, radikal, canggih, dan menyeluruh.

Para filsuf menyelisik Pertanyan-Pertanyaan Besar dalam hidup. Misalnya: apa hakikat kenyataan ini? Apa makna hidup? Apakah kebenaran itu dan bagaimana mencapainya? Apa tujuan akhir dari semua ini? Mengapa manusia harus adil dan baik?

Pertanyaan-Pertanyaan Besar itu sebenarnya muncul di benak hampir semua orang, meskipun secara samar-samar dan muncul sekali-sekali. Biasanya dalam kondisi krisis dan kritis, orang terkondisi untuk memikirkan isu-isu besar tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dikatakan merupakan watak bawaan manusia sejak lahir. Pada anak-anak, sering pertanyaan-pertanyaan muncul secara spontan.

Anak: Mengapa Ayah kerja di kantor?

Ayah: Supaya Ayah dapat uang, Nak

Anak: Kenapa Ayah perlu uang?

Ayah: Biar kita bisa beli makan

Anak: Kenapa kita perlu makan?

Ayah: Biar kita bisa tetap hidup

Anak: Kenapa kita hidup?

Ayah: Supaya …..Ehmmm, Ayah harus berangkat…sudah siang.

Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, ketika si anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa, pertanyaan-pertanyaan semacam itu terkubur di bawah tumpukan tuntutan dan kebutuhan hidup yang lebih segera (immediate)—mulai dari urusan sekolah, makan, hobi, sampai pekerjaan. Nah, berbeda dengan orang kebanyakan, para filsuf secara sadar dan sengaja menggeluti Pertanyaan-pertanyaan Besar itu secara intens, serius dan mendalam.

Bagi para filsuf, tidak ada pertanyaan yang tabu atau terlarang untuk dijelajah. Selama berabad-abad, para filsuf telah menjelajah pertanyaan-pertanyaan yang paling dalam, paling jauh, paling besar, paling luas, paling sulit, dan paling radikal.

Opini publik atau pendapat umum (common sense) umumnya dipercaya sebagai benar dan tidak dipertanyakan lagi. Pendapat itu kita dengar dari teman, tetangga, kawan, guru, dll yang kita terima begitu saja. Tapi, pendapat umum itu tidak jarang keliru dan menyesatkan.

Nah, filsafat meletakkan pendapat umum itu di bawah meja pemeriksaan yang kritis. Filsafat mengajak kita berpikir secara mandiri, tanpa terbawa arus atau ikut-ikutan. Apakah yang orang-orang katakan tentang aneka hal—entah itu cinta, kerja, uang, anak, pekerjaan, dll – itu pasti benar? Di sinilah poin pentingnya: filsafat tertarik untuk mempertanyakan dan menelisik apakah suatu ide itu logis, masuk akal, dan beralasan. Suatu pendapat yang populer dan diterima banyak orang selama bertahun-tahun, tidak dengan sendiri membuktikan bahwa pendapat itu benar.

Orang biasanya tidak jeli dan cermat tentang pikiran dan pendapatnya sendiri. Orang sering menanggapi suatu pendapat secara impulsif, instan, dan reaktif sehingga sering kehilangan intisari atau argumen dari isu yang diperbincangkan. Orang sering terjebak dalam rasa puas diri atau dorongan emosi. Sebab itulah, kita perlu filsafat sebagai metode untuk membaca dan mengkritik pikiran kita sendiri.

Filsafat punya komitmen untuk mencapai pengetahuan tentang diri (self-knowledge). Dan hal itu diartikulasikan dengan sangat jelas oleh bapak filsafat, Socrates, dengan dua kata saja: Kenali dirimu (Gnoti Seauton).

Baiklah, barangkali orang tidak punya cukup perhatian terhadap Pertanyaan-pertanyaan Besar tadi. Orang barangkali hanya ingin bahagia. Nah, bahkan dalam soal ini pun tidak jarang terjadi kekeliruan. Kita sering salah definisi atau sasaran tentang apa itu kebahagiaan. Kita salah sangka terhadap kebahagiaan karena tergoda oleh pelbagai iklan dan citra. Kebahagiaan kita bayangkan sebagai plesiran ke luar negeri, memiliki rumah/mobil megah, atau segala kemewahan gaya hidup. Akibatnya, kita melupakan hal-hal lain yang lebih substantif dan sederhana.

Filsuf membantu kita menjadi lebih matang dan bijaksana ihwal sikap dan tindakan apa yang dapat membuat hidup kita lebih bahagia dan bermakna. Filsafat menjaga ketajaman kita untuk menyadari mana yang betul-betul penting dan mana yang tidak. Mana yang esensial dan mana yang aksidental. Dari filsafat Stoik, misalnya, kita belajar membedakan antara fakta kehidupan yang tidak bisa kita kontrol di satu segi, dan respons kita terhadapnya yang bisa kita kontrol di segi lain.

Dahulu di era Yunani kuno, ajaran-ajaran filsafat diperbincangkan di lapangan, pasar, gedung pemerintahan atau istana. Tapi di era sekarang filsafat bisa dijumpai di aneka media, utamanya buku. Jadi, filsafat sebetulnya kegiatan yang begitu lumrah dan jauh dari kesan eksentrik atau aneh.

Filsafat sebagai sebuah disiplin memang ditekuni di ruang-ruang kuliah di universitas. Tapi, filsafat sebagai jalan atau cara berpikir layak dijalani oleh siapa saja yang ingin memiliki cara berpikir dan bertindak yang autentik, mandiri, bernalar, dan tertata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *