Kontroversi pengangkatan Gelar Guru Besar
Kontroversi seputar pengangkatan gelar Guru Besar belakangan ini menjadi sorotan publik yang signifikan. Prof. Eddy Pratomo, seorang Guru Besar di bidang Hukum Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FH UP) Jakarta, mengungkapkan pandangannya terkait fenomena ini dalam sebuah wawancara setelah seminar internasional “Cross Cultural Religion & Law”.
Perbedaan Gelar Guru Besar dan Profesor
Prof. Eddy menjelaskan perbedaan yang mendasar antara gelar Guru Besar dan Profesor. “Guru Besar adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih aktif mengajar di perguruan tinggi,” ujar Prof. Eddy. “Sementara Profesor adalah jabatan akademik yang bukan merupakan gelar akademik tetapi merupakan prestasi dan pengakuan atas kontribusi yang luar biasa dalam bidang ilmu tertentu.”
Proses untuk mencapai gelar Guru Besar tidaklah mudah, menurut Prof. Eddy. Dosen yang ingin mencapai gelar ini harus memiliki prestasi akademik yang signifikan, yang terbukti melalui karya ilmiah yang dipublikasikan dan diakui di bidang keahliannya. Proses seleksi dan evaluasi untuk mencapai jabatan ini sangat ketat dan melibatkan berbagai tahap serta persyaratan yang harus dipenuhi dengan cermat.
Sebagai seorang yang juga menjabat sebagai Dekan FH UP, Prof. Eddy menegaskan bahwa setiap pengajuan gelar Guru Besar di FH UP melalui prosedur yang ketat. Ini melibatkan review dari sesama Guru Besar dan Senat Akademik fakultas, serta penilaian lanjutan dari Senat Akademik Universitas sebelum diajukan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Contoh konkret yang disebutkan oleh Prof. Eddy adalah kasus Prof. Reda Manthovani, seorang Guru Besar di FH UP yang namanya belakangan menjadi perbincangan di media. Prof. Reda telah aktif menjalankan tugas Tri Dharma perguruan tinggi sejak tahun 2007 di FH UP, dengan kontribusi yang signifikan di bidang hukum, terutama terkait penelitian tentang rezim anti pencucian uang.
“Proses untuk mencapai gelar Guru Besar membutuhkan dedikasi dan waktu bertahun-tahun,” jelas Prof. Eddy. “Ini termasuk tantangan besar seperti diterimanya artikel ilmiah di jurnal internasional yang terindeks, sebuah pencapaian yang mencerminkan kualitas dan ketahanan ilmiah seseorang.”
Pentingnya Kehati-hatian dala Menetapkan Status Akademik Dosen
Lebih lanjut, Prof. Eddy menyoroti pentingnya transparansi dan kehati-hatian dalam menetapkan status akademik seorang dosen. Pihak universitas selalu memastikan bahwa setiap kenaikan jabatan akademik didasarkan pada prestasi yang nyata dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. “Kami memperhatikan bahwa penelitian yang dipublikasikan oleh Prof. Reda telah memenuhi standar yang diperlukan, termasuk publikasi di jurnal internasional terindeks Scopus yang relevan dan tidak terkena status discontinued,” tambahnya.
Baca juga : Membenahi Akses Pendidikan Kedokteran
Sebagai penutup, Prof. Eddy menekankan bahwa FH UP selalu berkomitmen untuk menjaga kualitas pendidikan dan reputasi akademik dosen-dosennya. “Prof. Reda Manthovani tidak hanya merupakan seorang praktisi hukum yang berpengalaman, tetapi juga seorang akademisi yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi institusi kami dan diakui secara internasional,” tutupnya dengan penuh keyakinan.